Sabtu, 16 April 2016

Sejarah Baitul Maal



BAB 1
PENDAHULUAN
A.    Latar belakang masalah
Dewasa ini suatu negara di dunia pasti membutuhkan suatu institusi yang mampu memperlancar aktivitas perekonomianya. Dan tentunya institusi tersebut harus mempunyai peran yang sangat signifikan untuk kelancaran aktivitas perekonomianya.
Dan institusi tersebut sudah ada sejak zaman dulu dan Madinah merupakan kota pertama yang memperkenalkannya, yang pada saat itu di pimpin dan dicetuskan oleh Rasulullah saw, institusi terebut di sebut Baitul Mal.
Pada waktu itu Baitul Mal memegang peranan yang sangat vital karena bukan hanya aspek ekonomi tapi semua aspek kehidupan negara.
Pada zaman modern ini Baitul Mal disebut dengan Departemen Keuangan. Tidak bisa dibayangkan seandainya Rasulullah saw tidak mencetuskan konsep tentang Baitul Maal, apakah mungkin pada saat ini kita mempunyai Departemen Keuangan? Begitu besarnya peranan Baitul Maal, maka dalam makalah ini kami akan mengulas hal-hal yang berkaitan dengan Baitul Maal, baik itu dari segi sejarah, fungsi dan perananya hingga dimana pajak mendominasi yang sebagai sumber pendapatan negara.
A.    Rumusan masalah
1.      Bagaimana sejarah pemikuran adanya Baitul Maal pada awal Islam?
2.      Bagaimana aplikasi Baitul Maal di era modern?

B.     Tujuan
1.      Mengetahui sejarah baitul maal
2.      Mengetahui aplikasi baitul maal di era modern
BAB II
PEMBAHASAN
A.    Pengertian Baitul Maal
Baitul maal berasal dari bahasa Arab (bayt al-mal) yang bermaksud “rumah harta”. Dalam sejarah Islam, baitul maal merupakan institusi keuangan yang bertanggungjawab mentadbir cukai. Baitul maal berfungsi sebagai perbendaharaan khalifah dan sultan yang mengurus kewenangan pribadi dan perbelanjaan kerajaan. Ia juga mengurus pengagihan zakat untuk rakyat awam. Pakar ekonomi Islam modern menganggap rangka institusi baitul maal merupakan cara yang sesuai untuk masyarakat Islam sekarang.
Pengertian Baitul Maal menurut para Ulama ialah “Pihak yang mengelola keuangan Negara, mulai dari menghimpun, memungut, mengembangkan, memelihara hingga menyalurkannya”. Definisi tersebut ditegaskan oleh Imam Mawardi dalam kitab Ahkam Sulthoniyyah dengan mendefinisikannya sebagai “Tempat/wadah untuk memelihara/ menjaga hak-hak keuangan Negara. Baitul Maal juga diartikan petugas yang berwenang dalam mengatur keuangan Negara tersebut.”
B.     Sejarah Baitul Maal
Sebelum Islam hadir di tengah-tengah umat manusia, pemerintahan suatu negara di pandang sebagai satu-satunya penguasa kekayaan dan perbendaharaan negara. Dengan demikian, pemerintah bebas mengambil harta kekayaan rakyatnya sebanyak mungkin serta membelanjakannya sesuka hati. Hal ini berarti, sebelum Islam datang, tidak ada konsep tentang keuangan publik dan perbendaharaan negara di dunia.

Hingga kini, sudah menjadi asumsi umum bahwa kekayaan yang berlimpah merupakan kunci kesuksesan dan puncak kebesaran dari sebuah pemerintahan di dunia. Oleh karena itu, adalah hal yang lumrah bila pemerintahan dibelahan dunia manapun selalu memberikan perhatian terbesar terhadap masalah pengumpulan dan administrasi penerimaan negara.

Dalam negara Islam, tampak kekuasaan dipandang sebagai sebuah amanah yang harus dilaksanakan sesuai dengan perintah Al-Quran. Hal ini telah dipraktikan oleh Rasulullah saw. Sebagai seorang kepala negara secara baik dan benar. Ia tidak menganggap dirinya sebagai seorang raja atau pemerintah dari suatu negara, tetapi sebagai orang yang diberikan amanah untuk mengatur urusan negara.

Berkaitan dengan ini, Rasulullah merupakan kepala negara pertama yang memperkenalkan konsep baru di bidang keuangan negara pada abad ketujuh, yakni semua hasil pengumpulan negara harus dikumpulkan terlebih dahulu dan kemudian dibelanjakan sesuai dengan kebutuhan negara. Status harta hasil pengumpulan itu adalah milik negara dan bukan milik individu. Meskipun demikian, dalam batas-batas tertentu, pemimpin negara dan para pejabat lainnya dapat menggunakan harta tersebut untuk mencukupi kebutuhan pribadinya. Tempat pengumpulan itu disebut sebagai Baitul Mal (rumah harta) atau bendahara negara. Pada masa pemerintahan Rasulullah, Baitul Mal terletak di Masjid Nabawi yang ketika itu digunakan sebagai kantor pusat negara yang sekaligus berfungsi sebagai tempat tinggal Rasulullah. Binatang-binatang yang merupakan harta perbendaharaan negara tidak di simpan di Baitul Mal. Sesuai dengan alamnya, binatang-binatang tersebut ditempatkan di padang terbuka.[1]

Baitul Mal merupakan lembaga keuangan pertama yang ada pada zaman Rasulullah. Lembaga ini pertama kali hanya berfungsi untuk menyimpan harta kekayaan negara dari zakat, infak, sedekah, pajak dan harta rampasan perang. Dan acuan dari perbankan Islam bukanlah perbankan konvesional tetapi dari Baitul tamwil.[2] baitul tamwil dan baitul mal sendiri merupakan fungsi utama dari baitul mal wa tamwil.[3]

Harta yang merupakan sumber pendapatan negara di simpan di masjid dalam waktu singkat untuk kemudian di distribusikan kepada masyarakat hingga tidak tersisa sedikit pun. Dalam berbagai kitab hadis dan sejarah, terdapat empat puluh nama sahabat yang jika digunakan istilah modern disebut sebagai pegawai sekretariat Rasulullah. Namun, tidak disebutkan adanya seorang bendaharawan negara. Kondisi yang seperti ini hanya mungkin terjadi di lingkungan yang mempunyai sistem pengawasan yang sangat ketat. Pada perkembangan berikutnya, institusi ini memainkan peran yang sangat penting dalam bidang keuangan dan administrasi negara, terutama pada masa pemerintahan al-Khulafa al-Rasyidun.[4]

Seiring dengan semakin meluasnya wilayah kekuasaan Islam pada masa pemerintahann Umar Ibn Khattab, pendapatan negara mengalami peningkatan yang sangat signifikan. Hal ini memerlukan perhatiann khusus untuk mengelolanya agar dapat dimanfaatkan secara benar, efektif dan efisien.
Setelah melakukan musyawarah dengan para pemuka sahabat, khalifah Umar Ibnu Khattab mengambil keputusan untuk tidak menghabiskan harta baitul mal sekaligus, tetapi dikeluarkannya secara bertahap sesuai dengan kebutuhan yang ada, bahkan di antaranya disediakan dana cadangan. Cikal bakal lembaga Baitul Mal yang teah dicetuskan dan difungsikan oleh Rasulullah Saw. Dan diteruskan oleh Abu Bakar As-Shiddiq, semakin dikembangkan fungsinya pada masa pemerintahan Khalifah Umar Ibn Khattab sehingga menjadi lembaga yang reguler dan permanen. Pembangunan institusi Baitul mal yang dilengkapi dengan sistem adminitrasi yang tertata baik dan rapih merupakan kontribusi terbesar yang diberikan oleh khalifah Umar Ibn Khattab kepada dunia islam dan kaum muslimin.

Dalam catatan sejarah, pembangunan institusi Baitul Mal dilatarbelakangi oleh kedatangan Abu Hurairah yang ketika itu menjabat sebagai Gubernur Bahrain dengan membawa harta hasil pengumpulan pajak al-kharaj sebesar  500.000 dirham. Hal ini terjadi pada tahun 16 H. Oleh karena jumlah tersebut sangat besar, Khalifah Umar mengambil inisiatif memanggil dan mengajak bermusyawarah para sahabat terkemuka tentang penggunaan dana Baitul Mal tersebut. Setelah melalui diskusi yang cukup panjang, khalifah Umar memutuskan untuk tidak mendistribusikan harta Baitul mal, tetapi disimpan sebagai cadangan, baik untuk keperluan darurat, pembayaran gaji para tentara maupun berbagai kebutuhan umat lainnya.

Secara tidak langsung Baitul mal berfungsi sebagai pelaksana kebijakan fiskal negara Islam dan khalifah merupakan pihak yang berkuasa penuh terhadap harta Baitul Mal. Namun demikian, Khalifah diperbolehkan menggunakan harta Baitu mal untuk kepentingan pribadi. Dalam hal ini, tunjangan Umar sebagai khalifah untuk setiap tahunnya adalah tetap yakni  sebesar 5000 dirham, dua stel pakaian yang masing-masing untuk musim panas dan musim dingin serta seekor binatang tunggangan untuk menunaikan ibadah haji.

Dalam hal penditribusian harta Baitul Mal, sekalipun berada dalam kendali dan tanggung jawab, para pejabat Baitul Mal tidak mempunyai wewenang dalam membuat suatu keputusan terhadap harta baitul mal yang berupa zakat dan Ushr. Kekayaan negara tersebut ditujukann untuk berbagai golongan tertentu dalam masyarakat dan harus dibelanjakan sesuai dengan prinsip-prinsip Al-Qur’an.

Harta Baitul Mal dianggap sebagai harta kaum muslimin, sedangkan Khalifah dan para amil hanya berperan sebagai pemegang amanah. Dengan demikian, negara bertanggung jawab untuk menyediakan makanan bagi para janda, anak-anak yatim, serta anak-anak terlantar, membiayai penguburan orang-orang miskin, membayar utang orang-orang yang bangkrut; membayar uang diyat untuk kasus-kasus tertentu.

Khalifah umar ibn khattab menerapkan prinsip keutamaan dalam mendistribusikan harta Baitul Mal. Ia berpendapat bahwa kesulitan yang dihadapi umat islam harus diperhitungkan dalam menetapkan bagian seseorang dari harta negara dan karenanya, keadilan menghendaki usaha seseorang serta tenaga yang telah dicurahkan dalam memperjuangkan Islam harus dipertahankan dan dibalas dengan sebaik-baiknya.[5]



1.      Masa Rasulullah shalallahu ‘alaihi wa salam (1-11 H/622-632 M)
Baitul Mal dalam arti terminologisnya seperti diuraikan di atas, sesungguhnya sudah ada sejak masa Rasulullah shalallahu ‘alaihi wa salam, yaitu ketika kaum muslimin mendapatkan ghanimah (harta rampasan perang) pada Perang Badar. Saat itu para shahabat berselisih paham mengenai cara pembagian ghanimah tersebut sehingga turun firman Allah SWT yang menjelaskan hal tersebut:
‘‘Mereka bertanya kepadamu (Muhammad) tentang (pembagian) harta rampasan perang. Katakanlah, Harta rampasan perang itu adalah milik Allah dan Rasul, oleh sebab itu bertaqwalah kepada Allah dan perbaikilah hubungan di antara sesama kalian, dan taatlah kepada Allah dan Rasul-Nya jika kalian benar-benar orang-orang yang beriman.‘ (QS Al Anfaal : 1)
Dengan ayat ini, Allah menjelaskan hukum tentang pembagian harta rampasan perang dan menetapkannya sebagai hak bagi seluruh kaum muslimin. Selain itu, Allah juga memberikan wewenang kepada Rasulullah shalallahu ‘alaihi wa salam untuk membagikannya sesuai pertimbangan beliau mengenai kemaslahatan kaum muslimin. Dengan demikian, ghanimah Perang Badar ini menjadi hak bagi Baitul Maal, di mana pengelolaannya dilakukan oleh Waliyyul Amri kaum muslimin yang pada saat itu adalah Rasulullah shalallahu ‘alaihi wa salam sendiri sesuai dengan pendapatnya untuk merealisasikan kemaslahatan kaum muslimin.
Pada masa Rasulullah shalallahu ‘alaihi wa salam ini, Zallum (1983 ) menjelaskan bahwa, Baitul Maal lebih mempunyai pengertian sebagai pihak (al-jihat) yang menangani setiap harta benda kaum muslimin, baik berupa pendapatan maupun pengeluaran. Saat itu Baitul Maal belum mempunyai tempat khusus untuk menyimpan harta, karena saat itu harta yang diperoleh belum begitu banyak. Kalaupun ada, harta yang diperoleh hampir selalu habis dibagi-bagikan kepada kaum muslimin serta dibelanjakan untuk pemeliharaan urusan mereka. Rasulullah shalallahu ‘alaihi wa salam senantiasa membagikan ghanimah dan seperlima bagian darinya (al-akhmas) setelah usainya peperangan, tanpa menunda-nundanya lagi. Dengan kata lain, beliau segera menginfakkannya sesuai peruntukannya masing-masing.
Seorang shahabat bernama Hanzhalah bin Shaifi yang menjadi penulis (katib) Rasulullah shalallahu ‘alaihi wa salam menyatakan : ‘Rasulullah shalallahu ‘alaihi wa salam menugaskan aku dan mengingatkan aku (untuk membagi-bagikan harta) atas segala sesuatu (harta yang diperoleh) pada hari ketiganya : Tidaklah datang harta atau makanan kepadaku selama tiga hari, kecuali Rasulullah shalallahu ‘alaihi wa salamselalu mengingatkannya (agar segera didistribusikan). Rasulullah shalallahu ‘alaihi wa salam tidak suka melalui suatu malam sementara ada harta (umat) di sisi beliau.
Pada umumnya Rasulullah shalallahu ‘alaihi wa salam membagi-bagikan harta pada hari diperolehnya harta itu. Hasan bin Muhammad menyatakan :‘Rasulullah shalallahu ‘alaihi wa salam tidak pernah menyimpan harta baik siang maupun malamnya…‘
Dengan kata lain, bila harta itu datang pagi-pagi, akan segera dibagi sebelum tengah hari tiba. Demikian juga jika harta itu datang siang hari, akan segera dibagi sebelum malam hari tiba. Oleh karena itu, saat itu belum ada atau belum banyak harta tersimpan yang mengharuskan adanya tempat atau arsip tertentu bagi pengelolaannya.
2.      Masa Khalifah Abu Bakar Ash Shiddiq (11-13 H/632-634 M)
Keadaan seperti di atas terus berlangsung sepanjang masa Rasulullah shalallahu ‘alaihi wa salam. Ketika Abu Bakar menjadi Khalifah, keadaan Baitul Maal masih berlangsung seperti itu di tahun pertama kekhilafahannya (11 H/632 M). Jika datang harta kepadanya dari wilayah-wilayah kekuasaan Khilafah Islamiyah, Abu Bakar membawa harta itu ke Masjid Nabawi dan membagi-bagikannya kepada orang-orang yang berhak menerimanya. Untuk urusan ini, Khalifah Abu Bakar telah mewakilkan kepada Abu Ubaidah bin Al Jarrah. Hal ini diketahui dari pernyataan Abu Ubaidah bin Al Jarrah saat Abu Bakar dibaiat sebagai Khalifah. Abu Ubaidah saat itu berkata kepadanya, ‘Saya akan membantumu dalam urusan pengelolaan harta umat.’
Kemudian pada tahun kedua kekhilafahannya (12 H/633 M), Abu Bakar merintis embrio Baitul Maal dalam arti yang lebih luas. Baitul Maal bukan sekedar berarti pihak (al- jihat) yang menangani harta umat, namun juga berarti suatu tempat (al-makan) untuk menyimpan harta negara. Abu Bakar menyiapkan tempat khusus di rumahnya berupa karung atau kantung (ghirarah) untuk menyimpan harta yang dikirimkan ke Madinah. Hal ini berlangsung sampai kewafatan beliau pada tahun 13 H/634 M.
Abu Bakar dikenal sebagai Khalifah yang sangat wara (hati-hati) dalam masalah harta. Bahkan pada hari kedua setelah beliau dibaiat sebagai Khalifah, beliau tetap berdagang dan tidak mau mengambil harta umat dari Baitul Maal untuk keperluan diri dan keluarganya. Diriwayatkan oleh lbnu Saad (w. 230 H/844 M), penulis biografi para tokoh muslim, bahwa Abu Bakar yang sebelumnya berprofesi sebagai pedagang, membawa barang-barang dagangannya yang berupa bahan pakaian di pundaknya dan pergi ke pasar untuk menjualnya. Di tengah jalan, ia bertemu dengan Umar bin Khaththab. Umar bertanya, “Anda mau kemana, hai Khalifah?” Abu Bakar menjawab, “Ke pasar.” Umar berkata, “Bagaimana mungkin Anda melakukannya, padahal Anda telah memegang jabatan sebagai pemimpin kaum muslimin?” Abu Bakar menjawab, “Lalu dari mana aku akan memberikan nafkah untuk keluargaku?” Umar berkata, “Pergilah kepada Abu Ubaidah (pengelola Baitul Maal), agar ia menetapkan sesuatu untukmu.” Keduanya pun pergi menemui Abu Ubaidah, yang segera menetapkan santunan (tawidh) yang cukup untuk Khalifah Abu Bakar, sesuai dengan kebutuhan seseorang secara sederhana, yakni 4000 dirham setahun yang diambil dan Baitul Maal.
Menjelang ajalnya tiba, Dahlan (1999) menjelaskan bahwa, karena khawatir terhadap santunan yang diterimanya dari Baitul Maal, Abu Bakar berpesan kepada keluarganya untuk mengembalikan santunan yang pernah diterimanya dari Baitul Mal sejumlah 8000 dirham. Ketika keluarga Abu Bakar mengembalikan uang tersebut setelah beliau meninggal, Umar berkomentar, “Semoga Allah merahmati Abu Bakar. Ia telah benar-benar membuat payah orang-orang yang datang setelahnya.” Artinya, sikap Abu Bakar yang mengembalikan uang tersebut merupakan sikap yang berat untuk diikuti dan dilaksanakan oleh para Khalifah generasi sesudahnya.
3.      Masa Khalifah Umar bin Khatthab (13-23 H/634-644 M)
Setelah Abu Bakar wafat dan Umar bin Khatthab menjadi Khalifah, beliau mengumpulkan para bendaharawan kemudian masuk ke rumah Abu Bakar dan membuka Baitul Maal. Ternyata Umar hanya mendapatkan satu dinar saja, yang terjatuh dari kantungnya.
Akan tetapi setelah penaklukanpenaklukan (futuhat) terhadap negara lain semakin banyak terjadi pada masa Umar dan kaum muslimin berhasil menaklukan negeri Kisra (Persia) dan Qaishar (Romawi), semakin banyaklah harta yang mengalir ke kota Madinah. Oleh karena itu, Umar lalu membangun sebuah rumah khusus untuk menyimpan harta, membentuk diwan-diwannya (kantor-kantornya), mengangkat para penulisnya, menetapkan gaji-gaji dari harta Baitul Mal, serta membangun angkatan perang. Kadangkadang ia menyimpan seperlima bagian dari harta ghanimah di masjid dan segera membagibagikannya. Mengenai mulai banyaknya harta umat ini, Ibnu Abbas pernah mengisahkan :
‘Umar pernah memanggilku, ternyata di hadapannya ada setumpuk emas terhampar di hadapannya. Umar lalu berkata : ‘Kemarilah kalian, aku akan membagikan ini kepada kaum muslimin. Sesungguhnya Allah lebih mengetahui mengapa emas ini ditahan-Nya dari Nabi-Nya dan Abu Bakar, lalu diberikannya kepadaku. Allah pula yang lebih mengetahui apakah dengan emas ini Allah menghendaki kebaikan atau keburukan’
Selama memerintah, Umar bin Khatthab tetap memelihara Baitul Maal secara hati-hati, menerima pemasukan dan sesuatu yang halal sesuai dengan aturan syariat dan mendistribusikannya kepada yang berhak menerimanya. Dalam salah satu pidatonya, yang dicatat oleh lbnu Kasir (700-774 H/1300-1373 M), penulis sejarah dan mufasir, tentang hak seorang Khalifah dalam Baitul Mal, Umar berkata, “Tidak dihalalkan bagiku dari harta milik Allah ini melainkan dua potong pakaian musim panas dan sepotong pakaian musim dingin serta uang yang cukup untuk kehidupan sehari-hari seseorang di antara orang-orang Quraisy biasa, dan aku adalah seorang biasa seperti kebanyakan kaum muslimin.” (Dahlan, 1999).
4.      Masa Khalifah Utsman bin Affan (23-35 H/644-656 M)
Kondisi yang sama juga berlaku pada masa Utsman bin Affan. Namun, karena pengaruh yang besar dan keluarganya, tindakan Usman banyak mendapatkan protes dari umat dalam pengelolaan Baitul Mal. Dalam hal ini, lbnu Saad menukilkan ucapan Ibnu Syihab Az Zuhri (51-123 H/670-742 M), seorang yang sangat besar jasanya dalam mengumpulkan hadis, yang menyatakan, “Usman telah mengangkat sanak kerabat dan keluarganya dalam jabatan-jabatan tertentu pada enam tahun terakhir dari masa pemerintahannya. Ia memberikan khumus (seperlima ghanimah) kepada Marwan yang kelak menjadi Khalifah ke-4 Bani Umayyah, memerintah antara 684-685 M dari penghasilan Mesir serta memberikan harta yang banyak sekali kepada kerabatnya dan ia (Usman) menafsirkan tindakannya itu sebagai suatu bentuk silaturahmi yang diperintahkan oleh Allah SWT. Ia juga menggunakan harta dan meminjamnya dari Baitul Maal sambil berkata, “Abu Bakar dan Umar tidak mengambil hak mereka dari Baitul Maal, sedangkan aku telah mengambilnya dan membagi-bagikannya kepada sementara sanak kerabatku.” Itulah sebab rakyat memprotesnya. (Dahlan, 1999).
5.      Masa Khalifah Ali bin Abi Thalib (35-40 H/656-661 M)
Pada masa pemerintahan Ali bin Abi Talib, kondisi Baitul Maal ditempatkan kembali pada posisi yang sebelumnya. Ali, yang juga mendapat santunan dari Baitul Maal, seperti disebutkan oleh lbnu Kasir, mendapatkan jatah pakaian yang hanya bisa menutupi tubuh sampai separuh kakinya, dan sering bajunya itu penuh dengan tambalan.
Ketika berkobar peperangan antara Ali bin Abi Talib dan Muawiyah bin Abu Sufyan (khalifah pertama Bani Umayyah), orang-orang yang dekat di sekitar Ali menyarankan Ali agar mengambil dana dari Baitul Mal sebagai hadiah bagi orang-orang yang membantunya. Tujuannya untuk mempertahankan diri Ali sendiri dan kaum muslimin. Mendengar ucapan itu, Ali sangat marah dan berkata, “Apakah kalian memerintahkan aku untuk mencari kemenangan dengan kezaliman. Demi Allah, aku tidak akan melakukannya selama matahari masih terbit dan selama masih ada bintang di langit.”(Dahlan, 1999)
6.      Masa Khalifah-Khalifah Sesudahnya
Ketika Dunia Islam berada di bawah kepemimpinan Khilafah Bani Umayyah, kondisi Baitul Maal berubah. Al Maududi menyebutkan, jika pada masa sebelumnya Baitul Maal dikelola dengan penuh kehati-hatian sebagai amanat Allah SWT dan amanat rakyat, maka pada masa pemerintahan Bani Umayyah Baitul Maal berada sepenuhnya di bawah kekuasaan Khalifah tanpa dapat dipertanyakan atau dikritik oleh rakyat (Dahlan, 1999).
Keadaan di atas berlangsung sampai datangnya Khalifah ke-8 Bani Umayyah, yakni Umar bin Abdul Aziz (memerintah 717-720 M). Umar berupaya untuk membersihkan Baitul Maal dari pemasukan harta yang tidak halal dan berusaha mendistribusikannya kepada yang berhak menerimanya. Umar membuat perhitungan dengan para Amir bawahannya agar mereka mengembalikan harta yang sebelumnya bersumber dari sesuatu yang tidak sah. Di samping itu, Umar sendiri mengembalikan milik pribadinya sendiri, yang waktu itu berjumlah sekitar 40.000 dinar setahun, ke Baitul Maal. Harta tersebut diperoleh dan warisan ayahnya, Abdul Aziz bin Marwan. Di antara harta itu terdapat perkampungan Fadak, desa di sebelah utara Mekah, yang sejak Nabi shalallahu ‘alaihi wa salam wafat dijadikan rnilik negara. Namun, Marwan bin Hakam (khalifah ke-4 Bani Umayah, memerintah 684-685 M) telah memasukkan harta tersebut sebagai milik pribadinya dan mewariskannya kepada anak-anaknya. (Dahlan, 1999)
Akan tetapi, kondisi Baitul Maal yang telah dikembalikan oleh Umar bin Abdul Aziz kepada posisi yang sebenarnya itu tidak dapat bertahan lama. Keserakahan para penguasa telah meruntuhkan sendi-sendi Baitul Maal, dan keadaan demikian berkepanjangan sampai masa Kekhilafahan Bani Abbasiyah. Dalam keadaan demikian, tidak sedikit kritik yang datang dan ulama, namun semuanya diabaikan, atau ulama itu sendiri yang diintimidasi agar tutup mulut. lmam Abu Hanifah, pendiri Madzhab Hanafi, mengecam tindakan Abu Jafar Al Mansur (khalifah ke-2 Bani Abbasiyah, memerintah 754-775 M), yang dipandangnya berbuat zalim dalam pemerintahannya dan berlaku curang dalam pengelolaan Baitul Maal dengan memberikan hadiah kepada banyak orang yang dekat dengannya.
lmam Abu Hanifah menolak bingkisan dan Khalifah Al Mansur. Tentang sikapnya itu Imam Abu Hanifah menjelaskan, “Amirul Mukminin tidak memberiku dari hartanya sendiri. Ia memberiku dari Baitul Maal, milik kaum muslimin, sedangkan aku tidak memiliki hak darinya. Oleh sebab itu, aku menolaknya. Sekiranya Ia memberiku dari hartanya sendiri, niscaya aku akan menerimanya.”
Keadaan tersebut berlangsung sampai khalifah ke-8 bani umayah yakni umar bin abdul aziz (memerintah 717-720M). umar berupaya untuk membersihkan baitul mal dari pemasukan harta yang tidak halal dan berusaha mendistribusikannya kepadda yang berhak menerimanya. Umar membuat perhitungan dengan para bawahannya agar nereka mengembalikan harta yang sebelumnya bersumber dari sesuatu yang tidak sah.
Baitul mal merupakan institusi dalam perekonomian Islam. Institusi baitul mal merupakan institusi yang menjalankan fungsi-fungsi ekonomi dan social dari sebuah Negara Islam, literature sejarah peradaban dan ekonomi islam, lembaga-lembaga baitul mal selalu tidak dilepaskan dari fungsi khalifah sebagai kepala Negara. Fungsi baitul Mal pada hakikatnya mengola keuangan Negara menggunakan akumulasi dana yang berasal dari penerimaan zakat dan lain-lain, serta dimanfaatkan untuk melaksanakan kegiatan pembangunan ekonomi, social, dan semua kegiatan pembangunan yang menjadi kebutuhan Negara.
Yusuf Qardhawy (1988) membagi baitul mal menjadi empat bagian  kerja berdasarkan tempat penerimaannya, merujuk pada aplikasi masa Islam klasik :[6]
1.      Departemen khusus untuk sedekah (zakat).
2.      Departemen khusus untuk menyimpan pajak dan upeti.
3.      Departemen khusus untuk ghanimah dan rikaz.
4.      Departemen khusus untuk harta yang tidak diketahui warisnya atau yang terputus hak warisnya (misalnya karena pembunuhan).
Hal ini sebenarnya juga telah diungkapkan pula oleh Ibnu Taimiyah, beliau mengungkapkan bahwa dalam adminstrasi keuangan Negara, dalam Baitul Mal telah dibentuk beberapa departemen yang dikenal dengan Diwan (dewan). Dewan-dewan tersebut diantaranya:
1.      Diwan al Rawatib yang berfungsi mengadministrasikan gaji dan honor bagi pegawai negeri dan tentara.
2.      Diwan al Jawali wal Mawarits al Hasyriyah yang berfungsi mengelola poll taxes (jizyah) dan harta tanpa ahli waris.
3.      Diwan al Kharaj yang berfungsi untuk memungut kharaj.
4.      Diwan al Hilali yang berfungsi mengkoleksi pajak bulanan.
Pada hakikatnya pengembangan institusi dan kebijakan dalam ekonomi Islam tidak memiliki ketentuan tetap kecuali apa yang telah di syariat. Khususnya dalam pembentukan departemen dan penggunaan pendapatan Negara, sebenarnya juga tergantung pada perkembangan atau kondisi perekonomian Negara pada satu waktu tertentu. Artinya pengembangan institusi dan kebijakan ekonomi tidaklah terikat pada apa yang telah dilakukan oleh para pemimpin-pemimpin terdahulu, peran ijtihad dengan mempertimbangkan keadaan kontemporer menjadi sangat menentukan arah dan bentuk institusi dan kebijakan ekonomi.
Merujuk pada apa yang telah dijelaskan oleh Qardhawi tentang institusi Baitul Mal, dalam operasionalnya, salah satu kebijakan pengelolaan pendapatan Negara adalah ketika dana yang dimiliki departemen sedekah (zakat) yang fungsinya memenuhi kebutuhan dasar warga negara kurang, maka dapat menggunakan dana dari departemen lain yaitu departemen pajak dan upeti. Namun pada masa klasik Islam hal ini dilakukan dengan skema hutang, artinya jika suatu saat departemen sedekah sudah memiliki kecukupan dana, maka hutang tadi harus dilunasi pada departemen pajak dan upeti. Tahapan penggunaan keuangan negara ini sesuai dengan yang dijelaskan sebelumnya, dimana sumber keuangan negara utama adalah zakat, kemudian fay’ dan pajak. Jika masih juga kekurangan maka negara akan melakukan skema takaful, dimana semua harta dikumpulkan negara dan dibagikan sama rata.
C.    Sumber Penerimaan Dana Baitul Maal
Pada umumnya sumber pendapatan baitul maal dapat dibagi kepada dua bagian[7]:
1.      Sumber dauriyyah yaitu sumber keuangan yang dikumpulkan dalam waktu-waktu  tertentu dalam satu tahun berjalan. Diantaranya :
a.       Zakat
Adalah mengeluarkan bagian tertentu dalam harta yang diwajibkan oleh allah untuk orang yang berhak.
b.       Kharaj (pajak tanah)
Adalah suatu pajak yang dibayar oleh seseorang karena adanya jaminan kepada “al-kharaj bi al-dhiman”.
c.        Jizyah
Adalah pajak individu yang dikenakan kepada kafir zummi dari ahli kitab dan orang-orang yang digolongkan ke dalam hukum zummi tersebut.
d.       Al-‘Usyur (bea cukai)
adalah cukai yang di kenakan kepada orang islam dan bukan islam yang berdagang keluar masuk negara islam. 
2.      Sumber ghair dauriyyah  artinya sumber keuangan yang dimasukkan kedalam baitul maal tanpa priode tertentu dalam tahun berjalan. Diantaranya :
a.       Ghanimah dan fai’
Ganimah adalah harta orang kafir yang diperoleh gengan cara susah payah oleh orang islam, seperti peperangan. Fai’ adalah harta yang di peroleh umat islam dengan jalan damai.
b.       Barang Tambang (ma’din) dan Harta Terpendam (rikaz)
Ma’din adalah hasil tambang yang terdapat dalam kawaasan tanah Negara. Rikaz adalah harta yang di dapat dari hasil temuan peninggalan masa lampau.
c.       Harta Warisan dan Wasiat
Harta ini merupakan herta dari warisan orang yang sudah meninggal dan tidak memiliki ahli waris.
d.       Shadaqah Tatawwu’
e.       Harta yang diperoleh dari orang islam yang ingin membantu orang yang lemah dengan niat mendapat pahala di sisi allah.
f.        Nazar dan Kafara
Nazar adalah harta yang diperoleh dari seseorang yang berniat utk memberikanya apa bila ke inginanya terwujud. Kafarat adalah harta yang di peroleh seseorang dari denda karena telah melanggaraturan Allah.

D.    Pengeluaran Dana baitul Maal

Berdasarkan analisis ekonomi dan sejarah pada masa pemerintahan Rasulullah Saw dan masa Khulafaurrasyidin secara umum, belanja Negara dapat dikategorikan menjadi empat:[8]
a.       Zakat dan ushur sebagai pemberdayaan fakir miskin dan muallaf.
b.      Kharraj, fai, jizya dan ushur sebagai biaya rutin pemerintahan.
c.       Khums dan sedekah pada umumnya sebagai baiaya pembangunan dan kesejahteraan social.
d.      Biaya lainnya, seperti biaya darurat, pengurusan anak terlantar dan sebagainya. Dana tersebut diambil dari wakaf, utang public dan sebagainya.















BAB III
PENUTUP
A.    Kesimpulan
Baitul Maal pertama sekali dirumuskan dan didirikan oleh Rasulullah. saw, Baitul Maal memegang peranan yang sangat vital karena bukan hanya aspek ekonomi akan tetapi semua aspek kehidupan negara. Baitul Maal adalah lembaga keuangan berorientasi sosial keagamaan yang kegiatan utamanya menampung harta serta menyalurkan harta masyarakat berupa zakat, infaq dan shadaqah (ZIS) berdasarkan ketentuan yang telah ditetapkan Al-Qur’an dan Sunnah Rasul-Nya.
Dalam operasionalnya, salah satu kebijakan pengelolaan pendapatan Negara adalah ketika dana yang dimiliki departemen sedekah (zakat) yang fungsinya memenuhi kebutuhan dasar warga negara kurang, maka dapat menggunakan dana dari departemen lain yaitu departemen pajak atau upeti.
Struktur organisasi Baitul Maal mengikuti kompleksitas perekonomian modern dapat mempertimbangkan peran Baitul Maal dalam membuat kebijakan-kebijakan ekonomi di sektor riil, sektor moneter dan sektor sosial.
Sumber pendapatan Baitul Maal dapat dibagi kepada dua bagian, yakni dhauriyah (zakat, jizyah, kharaj dan al-uhsr) dan ghair dhauriyah (ghanimah, fa’i, ma’din, rikaz, harta warisan, wasiat, shadaqah tatawwu’, nazar dan kafarat).
Pendistribusian dana Baitul Maal diantaranya digunakan untuk penyebaran Islam, pembangunan infrastruktur dan untuk layanan kesejahteraan sosial. Pemerintahan Islam sendiri menggunakan dana Baitul Maal untuk kepentingan-kepentingan kesejahteraan kaum muslim dan non muslim.


B.     Saran
Pembahasan dan penjelasan pada makalah ini dapat memberikan sedikit wawasan, syukur bila dapat diperluas.  Pembahas sadar masih banyak kekeurangan dan jauh dari kesempurnaan dalam penulisan makalah ini, kritik dan saran membangun diharapakan dari penulisan makalah ini.

DAFTAR PUSTAKA
Huda, Nurul dan Haykal, Mohamad, Lembaga Keuangan Islam, Edisi 1 (cet. 1; Jakarta: Kencana Prenada Media Group, 2010), h.25.
Karim, Adiwarman Azhar. 2010. Sejarah Pemikiran Ekonomi Islam, Edisi 3 cet. 4. Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada.
Pusat Pengkajian dan Pengembangan Ekonomi Islam P3EI, Ekonomi Islam, Jakarta, Rajawali Press, hal.509
Qardhawi, Yusuf. 1995. Kiat Islam Mengentaskan Kemiskinan, Alih Bahasa Syafril Halim. Jakarta: Gema Insani Press.
Qardhawy,Yusuf,  Hukum Zakat, Pustaka Litera Antar Nusa, Jakarta, 1988.
Soemitra,Andri,  Bank & Lembaga Keuangan Syariah, (cet. 1; Jakarta: Kencana Prenada Media Group, 2009), h.451.


[1] Adiwarman Azhar Karim, Sejarah Pemikiran Ekonomi Islam, Edisi 3 (cet.  4; Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada, 2010), h. 51-53.
[2] Nurul Huda dan mohamad Heykal, Lembaga Keuangan Islam, Edisi 1 (cet. 1; Jakarta: Kencana Prenada Media Group, 2010), h.25.
[3] Andri Soemitra, Bank & Lembaga Keuangan Syariah, (cet. 1; Jakarta: Kencana Prenada Media Group, 2009), h.451.
[4] Adiwarman Azhar Karim, Sejarah Pemikiran Ekonomi Islam, Edisi 3 (cet.  4; Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada, 2010), h. 51-53.

[5] Adiwarman Azhar Karim,Op.Cit

[6] Yusuf Qardhawy, Hukum Zakat, Pustaka Litera Antar Nusa, Jakarta, 1988.
[7] Huda, Nurul dan Mohamad Heykal. 2010. Lembaga Keuangan Islam. Jakarta: Kencana Prenada Media Group
[8] Pusat Pengkajian dan Pengembangan Ekonomi Islam P3EI, Ekonomi Islam, Jakarta, Rajawali Press, hal.509

SOAL BAHASA ARAB SAT KELAS 10 DAN 11 ( SUSULAN/ REMEDIAL/PERBAIKAN NILAI)

 ASSALAMULAIKUM WRWB BAGI SISWA-SISWI YANG BELUM SEMPAT MENGIKUTI UJIAN BAHASA ARAB KELAS 10 DAN 11 DAPAT MENDOWNLOAD SOAL PADA LINK BERIKUT...