BAB 1
PENDAHULUAN
A.
Latar belakang
masalah
Dewasa ini suatu negara di dunia
pasti membutuhkan suatu institusi yang mampu memperlancar aktivitas
perekonomianya. Dan tentunya institusi tersebut harus mempunyai peran yang
sangat signifikan untuk kelancaran aktivitas perekonomianya.
Dan institusi tersebut sudah ada
sejak zaman dulu dan Madinah merupakan kota pertama yang memperkenalkannya,
yang pada saat itu di pimpin dan dicetuskan oleh Rasulullah saw, institusi
terebut di sebut Baitul Mal.
Pada waktu itu Baitul Mal
memegang peranan yang sangat vital karena bukan hanya aspek ekonomi tapi semua
aspek kehidupan negara.
Pada zaman modern ini Baitul Mal
disebut dengan Departemen Keuangan. Tidak bisa dibayangkan seandainya
Rasulullah saw tidak mencetuskan konsep tentang Baitul Maal, apakah mungkin
pada saat ini kita mempunyai Departemen Keuangan? Begitu besarnya peranan
Baitul Maal, maka dalam makalah ini kami akan mengulas hal-hal yang berkaitan
dengan Baitul Maal, baik itu dari segi sejarah, fungsi dan perananya hingga
dimana pajak mendominasi yang sebagai sumber pendapatan negara.
A.
Rumusan masalah
1.
Bagaimana sejarah
pemikuran adanya Baitul Maal pada awal Islam?
2.
Bagaimana aplikasi Baitul
Maal di era modern?
B.
Tujuan
1.
Mengetahui sejarah
baitul maal
2.
Mengetahui aplikasi
baitul maal di era modern
BAB II
PEMBAHASAN
A.
Pengertian Baitul
Maal
Baitul maal berasal dari bahasa
Arab (bayt al-mal) yang bermaksud “rumah harta”. Dalam sejarah Islam,
baitul maal merupakan institusi keuangan yang bertanggungjawab mentadbir cukai.
Baitul maal berfungsi sebagai perbendaharaan khalifah dan sultan yang mengurus
kewenangan pribadi dan perbelanjaan kerajaan. Ia juga mengurus pengagihan zakat
untuk rakyat awam. Pakar ekonomi Islam modern menganggap rangka institusi
baitul maal merupakan cara yang sesuai untuk masyarakat Islam sekarang.
Pengertian Baitul Maal menurut
para Ulama ialah “Pihak yang mengelola keuangan Negara, mulai dari menghimpun,
memungut, mengembangkan, memelihara hingga menyalurkannya”. Definisi tersebut
ditegaskan oleh Imam Mawardi dalam kitab Ahkam Sulthoniyyah dengan
mendefinisikannya sebagai “Tempat/wadah untuk memelihara/ menjaga hak-hak
keuangan Negara. Baitul Maal juga diartikan petugas yang berwenang dalam
mengatur keuangan Negara tersebut.”
B.
Sejarah Baitul Maal
Sebelum Islam hadir di
tengah-tengah umat manusia, pemerintahan suatu negara di pandang sebagai
satu-satunya penguasa kekayaan dan perbendaharaan negara. Dengan demikian,
pemerintah bebas mengambil harta kekayaan rakyatnya sebanyak mungkin serta
membelanjakannya sesuka hati. Hal ini berarti, sebelum Islam datang, tidak ada
konsep tentang keuangan publik dan perbendaharaan negara di dunia.
Hingga kini, sudah menjadi asumsi
umum bahwa kekayaan yang berlimpah merupakan kunci kesuksesan dan puncak
kebesaran dari sebuah pemerintahan di dunia. Oleh karena itu, adalah hal yang
lumrah bila pemerintahan dibelahan dunia manapun selalu memberikan perhatian
terbesar terhadap masalah pengumpulan dan administrasi penerimaan negara.
Dalam negara Islam, tampak
kekuasaan dipandang sebagai sebuah amanah yang harus dilaksanakan sesuai dengan
perintah Al-Quran. Hal ini telah dipraktikan oleh Rasulullah saw. Sebagai
seorang kepala negara secara baik dan benar. Ia tidak menganggap dirinya
sebagai seorang raja atau pemerintah dari suatu negara, tetapi sebagai orang
yang diberikan amanah untuk mengatur urusan negara.
Berkaitan dengan ini, Rasulullah
merupakan kepala negara pertama yang memperkenalkan konsep baru di bidang
keuangan negara pada abad ketujuh, yakni semua hasil pengumpulan negara harus
dikumpulkan terlebih dahulu dan kemudian dibelanjakan sesuai dengan kebutuhan
negara. Status harta hasil pengumpulan itu adalah milik negara dan bukan milik
individu. Meskipun demikian, dalam batas-batas tertentu, pemimpin negara dan
para pejabat lainnya dapat menggunakan harta tersebut untuk mencukupi kebutuhan
pribadinya. Tempat pengumpulan itu disebut sebagai Baitul Mal (rumah harta)
atau bendahara negara. Pada masa pemerintahan Rasulullah, Baitul Mal terletak
di Masjid Nabawi yang ketika itu digunakan sebagai kantor pusat negara yang
sekaligus berfungsi sebagai tempat tinggal Rasulullah. Binatang-binatang yang
merupakan harta perbendaharaan negara tidak di simpan di Baitul Mal. Sesuai
dengan alamnya, binatang-binatang tersebut ditempatkan di padang terbuka.[1]
Baitul Mal merupakan lembaga
keuangan pertama yang ada pada zaman Rasulullah. Lembaga ini pertama kali hanya
berfungsi untuk menyimpan harta kekayaan negara dari zakat, infak, sedekah,
pajak dan harta rampasan perang. Dan acuan dari perbankan Islam bukanlah
perbankan konvesional tetapi dari Baitul tamwil.[2] baitul
tamwil dan baitul mal sendiri merupakan fungsi utama dari baitul mal wa tamwil.[3]
Harta yang merupakan sumber
pendapatan negara di simpan di masjid dalam waktu singkat untuk kemudian di
distribusikan kepada masyarakat hingga tidak tersisa sedikit pun. Dalam
berbagai kitab hadis dan sejarah, terdapat empat puluh nama sahabat yang jika
digunakan istilah modern disebut sebagai pegawai sekretariat Rasulullah. Namun,
tidak disebutkan adanya seorang bendaharawan negara. Kondisi yang seperti ini
hanya mungkin terjadi di lingkungan yang mempunyai sistem pengawasan yang
sangat ketat. Pada perkembangan berikutnya, institusi ini memainkan peran yang
sangat penting dalam bidang keuangan dan administrasi negara, terutama pada
masa pemerintahan al-Khulafa al-Rasyidun.[4]
Seiring dengan semakin meluasnya
wilayah kekuasaan Islam pada masa pemerintahann Umar Ibn Khattab, pendapatan
negara mengalami peningkatan yang sangat signifikan. Hal ini memerlukan perhatiann
khusus untuk mengelolanya agar dapat dimanfaatkan secara benar, efektif dan
efisien.
Setelah melakukan musyawarah
dengan para pemuka sahabat, khalifah Umar Ibnu Khattab mengambil keputusan
untuk tidak menghabiskan harta baitul mal sekaligus, tetapi dikeluarkannya
secara bertahap sesuai dengan kebutuhan yang ada, bahkan di antaranya
disediakan dana cadangan. Cikal bakal lembaga Baitul Mal yang teah dicetuskan
dan difungsikan oleh Rasulullah Saw. Dan diteruskan oleh Abu Bakar As-Shiddiq,
semakin dikembangkan fungsinya pada masa pemerintahan Khalifah Umar Ibn Khattab
sehingga menjadi lembaga yang reguler dan permanen. Pembangunan institusi
Baitul mal yang dilengkapi dengan sistem adminitrasi yang tertata baik dan
rapih merupakan kontribusi terbesar yang diberikan oleh khalifah Umar Ibn
Khattab kepada dunia islam dan kaum muslimin.
Dalam catatan sejarah,
pembangunan institusi Baitul Mal dilatarbelakangi oleh kedatangan Abu Hurairah
yang ketika itu menjabat sebagai Gubernur Bahrain dengan membawa harta hasil
pengumpulan pajak al-kharaj sebesar
500.000 dirham. Hal ini terjadi pada tahun 16 H. Oleh karena jumlah
tersebut sangat besar, Khalifah Umar mengambil inisiatif memanggil dan mengajak
bermusyawarah para sahabat terkemuka tentang penggunaan dana Baitul Mal
tersebut. Setelah melalui diskusi yang cukup panjang, khalifah Umar memutuskan
untuk tidak mendistribusikan harta Baitul mal, tetapi disimpan sebagai
cadangan, baik untuk keperluan darurat, pembayaran gaji para tentara maupun
berbagai kebutuhan umat lainnya.
Secara tidak langsung Baitul mal
berfungsi sebagai pelaksana kebijakan fiskal negara Islam dan khalifah
merupakan pihak yang berkuasa penuh terhadap harta Baitul Mal. Namun demikian,
Khalifah diperbolehkan menggunakan harta Baitu mal untuk kepentingan pribadi.
Dalam hal ini, tunjangan Umar sebagai khalifah untuk setiap tahunnya adalah
tetap yakni sebesar 5000 dirham, dua
stel pakaian yang masing-masing untuk musim panas dan musim dingin serta seekor
binatang tunggangan untuk menunaikan ibadah haji.
Dalam hal penditribusian harta
Baitul Mal, sekalipun berada dalam kendali dan tanggung jawab, para pejabat
Baitul Mal tidak mempunyai wewenang dalam membuat suatu keputusan terhadap
harta baitul mal yang berupa zakat dan Ushr. Kekayaan negara tersebut
ditujukann untuk berbagai golongan tertentu dalam masyarakat dan harus
dibelanjakan sesuai dengan prinsip-prinsip Al-Qur’an.
Harta Baitul Mal dianggap sebagai
harta kaum muslimin, sedangkan Khalifah dan para amil hanya berperan sebagai
pemegang amanah. Dengan demikian, negara bertanggung jawab untuk menyediakan
makanan bagi para janda, anak-anak yatim, serta anak-anak terlantar, membiayai
penguburan orang-orang miskin, membayar utang orang-orang yang bangkrut;
membayar uang diyat untuk kasus-kasus tertentu.
Khalifah umar ibn khattab
menerapkan prinsip keutamaan dalam mendistribusikan harta Baitul Mal. Ia
berpendapat bahwa kesulitan yang dihadapi umat islam harus diperhitungkan dalam
menetapkan bagian seseorang dari harta negara dan karenanya, keadilan menghendaki
usaha seseorang serta tenaga yang telah dicurahkan dalam memperjuangkan Islam
harus dipertahankan dan dibalas dengan sebaik-baiknya.[5]
1.
Masa Rasulullah
shalallahu ‘alaihi wa salam (1-11 H/622-632 M)
Baitul Mal dalam arti
terminologisnya seperti diuraikan di atas, sesungguhnya sudah ada sejak masa
Rasulullah shalallahu ‘alaihi wa salam, yaitu ketika kaum muslimin mendapatkan
ghanimah (harta rampasan perang) pada Perang Badar. Saat itu para shahabat berselisih
paham mengenai cara pembagian ghanimah tersebut sehingga turun firman Allah SWT
yang menjelaskan hal tersebut:
‘‘Mereka bertanya kepadamu (Muhammad) tentang (pembagian)
harta rampasan perang. Katakanlah, Harta rampasan perang itu adalah milik Allah
dan Rasul, oleh sebab itu bertaqwalah kepada Allah dan perbaikilah hubungan di
antara sesama kalian, dan taatlah kepada Allah dan Rasul-Nya jika kalian
benar-benar orang-orang yang beriman.‘ (QS Al Anfaal : 1)
Dengan ayat ini, Allah
menjelaskan hukum tentang pembagian harta rampasan perang dan menetapkannya
sebagai hak bagi seluruh kaum muslimin. Selain itu, Allah juga memberikan
wewenang kepada Rasulullah shalallahu ‘alaihi wa salam untuk membagikannya
sesuai pertimbangan beliau mengenai kemaslahatan kaum muslimin. Dengan
demikian, ghanimah Perang Badar ini menjadi hak bagi Baitul Maal, di mana
pengelolaannya dilakukan oleh Waliyyul Amri kaum muslimin yang pada saat itu
adalah Rasulullah shalallahu ‘alaihi wa salam sendiri sesuai dengan pendapatnya
untuk merealisasikan kemaslahatan kaum muslimin.
Pada masa Rasulullah shalallahu
‘alaihi wa salam ini, Zallum (1983 ) menjelaskan bahwa, Baitul Maal lebih
mempunyai pengertian sebagai pihak (al-jihat) yang menangani setiap harta benda
kaum muslimin, baik berupa pendapatan maupun pengeluaran. Saat itu Baitul Maal
belum mempunyai tempat khusus untuk menyimpan harta, karena saat itu harta yang
diperoleh belum begitu banyak. Kalaupun ada, harta yang diperoleh hampir selalu
habis dibagi-bagikan kepada kaum muslimin serta dibelanjakan untuk pemeliharaan
urusan mereka. Rasulullah shalallahu ‘alaihi wa salam senantiasa membagikan
ghanimah dan seperlima bagian darinya (al-akhmas) setelah usainya peperangan,
tanpa menunda-nundanya lagi. Dengan kata lain, beliau segera menginfakkannya
sesuai peruntukannya masing-masing.
Seorang shahabat bernama
Hanzhalah bin Shaifi yang menjadi penulis (katib) Rasulullah shalallahu ‘alaihi
wa salam menyatakan : ‘Rasulullah shalallahu ‘alaihi wa salam menugaskan aku
dan mengingatkan aku (untuk membagi-bagikan harta) atas segala sesuatu (harta
yang diperoleh) pada hari ketiganya : Tidaklah datang harta atau makanan
kepadaku selama tiga hari, kecuali Rasulullah shalallahu ‘alaihi wa salamselalu
mengingatkannya (agar segera didistribusikan). Rasulullah shalallahu ‘alaihi wa
salam tidak suka melalui suatu malam sementara ada harta (umat) di sisi beliau.
Pada umumnya Rasulullah
shalallahu ‘alaihi wa salam membagi-bagikan harta pada hari diperolehnya harta
itu. Hasan bin Muhammad menyatakan :‘Rasulullah shalallahu ‘alaihi wa salam
tidak pernah menyimpan harta baik siang maupun malamnya…‘
Dengan kata lain, bila harta itu
datang pagi-pagi, akan segera dibagi sebelum tengah hari tiba. Demikian juga
jika harta itu datang siang hari, akan segera dibagi sebelum malam hari tiba.
Oleh karena itu, saat itu belum ada atau belum banyak harta tersimpan yang
mengharuskan adanya tempat atau arsip tertentu bagi pengelolaannya.
2.
Masa Khalifah Abu
Bakar Ash Shiddiq (11-13 H/632-634 M)
Keadaan seperti di atas terus
berlangsung sepanjang masa Rasulullah shalallahu ‘alaihi wa salam. Ketika Abu
Bakar menjadi Khalifah, keadaan Baitul Maal masih berlangsung seperti itu di
tahun pertama kekhilafahannya (11 H/632 M). Jika datang harta kepadanya dari
wilayah-wilayah kekuasaan Khilafah Islamiyah, Abu Bakar membawa harta itu ke
Masjid Nabawi dan membagi-bagikannya kepada orang-orang yang berhak
menerimanya. Untuk urusan ini, Khalifah Abu Bakar telah mewakilkan kepada Abu
Ubaidah bin Al Jarrah. Hal ini diketahui dari pernyataan Abu Ubaidah bin Al
Jarrah saat Abu Bakar dibaiat sebagai Khalifah. Abu Ubaidah saat itu berkata
kepadanya, ‘Saya akan membantumu dalam urusan pengelolaan harta umat.’
Kemudian pada tahun kedua
kekhilafahannya (12 H/633 M), Abu Bakar merintis embrio Baitul Maal dalam arti
yang lebih luas. Baitul Maal bukan sekedar berarti pihak (al- jihat) yang
menangani harta umat, namun juga berarti suatu tempat (al-makan) untuk
menyimpan harta negara. Abu Bakar menyiapkan tempat khusus di rumahnya berupa
karung atau kantung (ghirarah) untuk menyimpan harta yang dikirimkan ke
Madinah. Hal ini berlangsung sampai kewafatan beliau pada tahun 13 H/634 M.
Abu Bakar dikenal sebagai
Khalifah yang sangat wara (hati-hati) dalam masalah harta. Bahkan pada hari
kedua setelah beliau dibaiat sebagai Khalifah, beliau tetap berdagang dan tidak
mau mengambil harta umat dari Baitul Maal untuk keperluan diri dan keluarganya.
Diriwayatkan oleh lbnu Saad (w. 230 H/844 M), penulis biografi para tokoh
muslim, bahwa Abu Bakar yang sebelumnya berprofesi sebagai pedagang, membawa
barang-barang dagangannya yang berupa bahan pakaian di pundaknya dan pergi ke
pasar untuk menjualnya. Di tengah jalan, ia bertemu dengan Umar bin Khaththab.
Umar bertanya, “Anda mau kemana, hai Khalifah?” Abu Bakar menjawab, “Ke pasar.”
Umar berkata, “Bagaimana mungkin Anda melakukannya, padahal Anda telah memegang
jabatan sebagai pemimpin kaum muslimin?” Abu Bakar menjawab, “Lalu dari mana
aku akan memberikan nafkah untuk keluargaku?” Umar berkata, “Pergilah kepada
Abu Ubaidah (pengelola Baitul Maal), agar ia menetapkan sesuatu untukmu.”
Keduanya pun pergi menemui Abu Ubaidah, yang segera menetapkan santunan
(tawidh) yang cukup untuk Khalifah Abu Bakar, sesuai dengan kebutuhan seseorang
secara sederhana, yakni 4000 dirham setahun yang diambil dan Baitul Maal.
Menjelang ajalnya tiba, Dahlan
(1999) menjelaskan bahwa, karena khawatir terhadap santunan yang diterimanya
dari Baitul Maal, Abu Bakar berpesan kepada keluarganya untuk mengembalikan
santunan yang pernah diterimanya dari Baitul Mal sejumlah 8000 dirham. Ketika
keluarga Abu Bakar mengembalikan uang tersebut setelah beliau meninggal, Umar
berkomentar, “Semoga Allah merahmati Abu Bakar. Ia telah benar-benar membuat
payah orang-orang yang datang setelahnya.” Artinya, sikap Abu Bakar yang
mengembalikan uang tersebut merupakan sikap yang berat untuk diikuti dan
dilaksanakan oleh para Khalifah generasi sesudahnya.
3.
Masa Khalifah Umar
bin Khatthab (13-23 H/634-644 M)
Setelah Abu Bakar wafat dan Umar
bin Khatthab menjadi Khalifah, beliau mengumpulkan para bendaharawan kemudian
masuk ke rumah Abu Bakar dan membuka Baitul Maal. Ternyata Umar hanya
mendapatkan satu dinar saja, yang terjatuh dari kantungnya.
Akan tetapi setelah
penaklukanpenaklukan (futuhat) terhadap negara lain semakin banyak terjadi pada
masa Umar dan kaum muslimin berhasil menaklukan negeri Kisra (Persia) dan
Qaishar (Romawi), semakin banyaklah harta yang mengalir ke kota Madinah. Oleh
karena itu, Umar lalu membangun sebuah rumah khusus untuk menyimpan harta,
membentuk diwan-diwannya (kantor-kantornya), mengangkat para penulisnya,
menetapkan gaji-gaji dari harta Baitul Mal, serta membangun angkatan perang.
Kadangkadang ia menyimpan seperlima bagian dari harta ghanimah di masjid dan
segera membagibagikannya. Mengenai mulai banyaknya harta umat ini, Ibnu Abbas
pernah mengisahkan :
‘Umar pernah memanggilku,
ternyata di hadapannya ada setumpuk emas terhampar di hadapannya. Umar lalu
berkata : ‘Kemarilah kalian, aku akan membagikan ini kepada kaum muslimin.
Sesungguhnya Allah lebih mengetahui mengapa emas ini ditahan-Nya dari Nabi-Nya
dan Abu Bakar, lalu diberikannya kepadaku. Allah pula yang lebih mengetahui
apakah dengan emas ini Allah menghendaki kebaikan atau keburukan’
Selama memerintah, Umar bin
Khatthab tetap memelihara Baitul Maal secara hati-hati, menerima pemasukan dan
sesuatu yang halal sesuai dengan aturan syariat dan mendistribusikannya kepada
yang berhak menerimanya. Dalam salah satu pidatonya, yang dicatat oleh lbnu
Kasir (700-774 H/1300-1373 M), penulis sejarah dan mufasir, tentang hak seorang
Khalifah dalam Baitul Mal, Umar berkata, “Tidak dihalalkan bagiku dari harta
milik Allah ini melainkan dua potong pakaian musim panas dan sepotong pakaian
musim dingin serta uang yang cukup untuk kehidupan sehari-hari seseorang di
antara orang-orang Quraisy biasa, dan aku adalah seorang biasa seperti
kebanyakan kaum muslimin.” (Dahlan, 1999).
4.
Masa Khalifah
Utsman bin Affan (23-35 H/644-656 M)
Kondisi yang sama juga berlaku
pada masa Utsman bin Affan. Namun, karena pengaruh yang besar dan keluarganya,
tindakan Usman banyak mendapatkan protes dari umat dalam pengelolaan Baitul
Mal. Dalam hal ini, lbnu Saad menukilkan ucapan Ibnu Syihab Az Zuhri (51-123
H/670-742 M), seorang yang sangat besar jasanya dalam mengumpulkan hadis, yang
menyatakan, “Usman telah mengangkat sanak kerabat dan keluarganya dalam
jabatan-jabatan tertentu pada enam tahun terakhir dari masa pemerintahannya. Ia
memberikan khumus (seperlima ghanimah) kepada Marwan yang kelak menjadi
Khalifah ke-4 Bani Umayyah, memerintah antara 684-685 M dari penghasilan Mesir
serta memberikan harta yang banyak sekali kepada kerabatnya dan ia (Usman)
menafsirkan tindakannya itu sebagai suatu bentuk silaturahmi yang diperintahkan
oleh Allah SWT. Ia juga menggunakan harta dan meminjamnya dari Baitul Maal
sambil berkata, “Abu Bakar dan Umar tidak mengambil hak mereka dari Baitul
Maal, sedangkan aku telah mengambilnya dan membagi-bagikannya kepada sementara
sanak kerabatku.” Itulah sebab rakyat memprotesnya. (Dahlan, 1999).
5.
Masa Khalifah Ali
bin Abi Thalib (35-40 H/656-661 M)
Pada masa pemerintahan Ali bin
Abi Talib, kondisi Baitul Maal ditempatkan kembali pada posisi yang sebelumnya.
Ali, yang juga mendapat santunan dari Baitul Maal, seperti disebutkan oleh lbnu
Kasir, mendapatkan jatah pakaian yang hanya bisa menutupi tubuh sampai separuh
kakinya, dan sering bajunya itu penuh dengan tambalan.
Ketika berkobar peperangan antara
Ali bin Abi Talib dan Muawiyah bin Abu Sufyan (khalifah pertama Bani Umayyah),
orang-orang yang dekat di sekitar Ali menyarankan Ali agar mengambil dana dari
Baitul Mal sebagai hadiah bagi orang-orang yang membantunya. Tujuannya untuk
mempertahankan diri Ali sendiri dan kaum muslimin. Mendengar ucapan itu, Ali
sangat marah dan berkata, “Apakah kalian memerintahkan aku untuk mencari
kemenangan dengan kezaliman. Demi Allah, aku tidak akan melakukannya selama
matahari masih terbit dan selama masih ada bintang di langit.”(Dahlan, 1999)
6.
Masa
Khalifah-Khalifah Sesudahnya
Ketika Dunia Islam berada di
bawah kepemimpinan Khilafah Bani Umayyah, kondisi Baitul Maal berubah. Al
Maududi menyebutkan, jika pada masa sebelumnya Baitul Maal dikelola dengan
penuh kehati-hatian sebagai amanat Allah SWT dan amanat rakyat, maka pada masa
pemerintahan Bani Umayyah Baitul Maal berada sepenuhnya di bawah kekuasaan
Khalifah tanpa dapat dipertanyakan atau dikritik oleh rakyat (Dahlan, 1999).
Keadaan di atas berlangsung
sampai datangnya Khalifah ke-8 Bani Umayyah, yakni Umar bin Abdul Aziz
(memerintah 717-720 M). Umar berupaya untuk membersihkan Baitul Maal dari
pemasukan harta yang tidak halal dan berusaha mendistribusikannya kepada yang
berhak menerimanya. Umar membuat perhitungan dengan para Amir bawahannya agar
mereka mengembalikan harta yang sebelumnya bersumber dari sesuatu yang tidak
sah. Di samping itu, Umar sendiri mengembalikan milik pribadinya sendiri, yang
waktu itu berjumlah sekitar 40.000 dinar setahun, ke Baitul Maal. Harta
tersebut diperoleh dan warisan ayahnya, Abdul Aziz bin Marwan. Di antara harta
itu terdapat perkampungan Fadak, desa di sebelah utara Mekah, yang sejak Nabi
shalallahu ‘alaihi wa salam wafat dijadikan rnilik negara. Namun, Marwan bin
Hakam (khalifah ke-4 Bani Umayah, memerintah 684-685 M) telah memasukkan harta
tersebut sebagai milik pribadinya dan mewariskannya kepada anak-anaknya.
(Dahlan, 1999)
Akan tetapi, kondisi Baitul Maal
yang telah dikembalikan oleh Umar bin Abdul Aziz kepada posisi yang sebenarnya
itu tidak dapat bertahan lama. Keserakahan para penguasa telah meruntuhkan
sendi-sendi Baitul Maal, dan keadaan demikian berkepanjangan sampai masa
Kekhilafahan Bani Abbasiyah. Dalam keadaan demikian, tidak sedikit kritik yang
datang dan ulama, namun semuanya diabaikan, atau ulama itu sendiri yang
diintimidasi agar tutup mulut. lmam Abu Hanifah, pendiri Madzhab Hanafi,
mengecam tindakan Abu Jafar Al Mansur (khalifah ke-2 Bani Abbasiyah, memerintah
754-775 M), yang dipandangnya berbuat zalim dalam pemerintahannya dan berlaku
curang dalam pengelolaan Baitul Maal dengan memberikan hadiah kepada banyak
orang yang dekat dengannya.
lmam Abu Hanifah menolak
bingkisan dan Khalifah Al Mansur. Tentang sikapnya itu Imam Abu Hanifah
menjelaskan, “Amirul Mukminin tidak memberiku dari hartanya sendiri. Ia
memberiku dari Baitul Maal, milik kaum muslimin, sedangkan aku tidak memiliki
hak darinya. Oleh sebab itu, aku menolaknya. Sekiranya Ia memberiku dari
hartanya sendiri, niscaya aku akan menerimanya.”
Keadaan tersebut berlangsung
sampai khalifah ke-8 bani umayah yakni umar bin abdul aziz (memerintah
717-720M). umar berupaya untuk membersihkan baitul mal dari pemasukan harta
yang tidak halal dan berusaha mendistribusikannya kepadda yang berhak
menerimanya. Umar membuat perhitungan dengan para bawahannya agar nereka
mengembalikan harta yang sebelumnya bersumber dari sesuatu yang tidak sah.
Baitul mal merupakan institusi
dalam perekonomian Islam. Institusi baitul mal merupakan institusi yang
menjalankan fungsi-fungsi ekonomi dan social dari sebuah Negara Islam,
literature sejarah peradaban dan ekonomi islam, lembaga-lembaga baitul mal
selalu tidak dilepaskan dari fungsi khalifah sebagai kepala Negara. Fungsi
baitul Mal pada hakikatnya mengola keuangan Negara menggunakan akumulasi dana
yang berasal dari penerimaan zakat dan lain-lain, serta dimanfaatkan untuk
melaksanakan kegiatan pembangunan ekonomi, social, dan semua kegiatan
pembangunan yang menjadi kebutuhan Negara.
Yusuf Qardhawy (1988) membagi
baitul mal menjadi empat bagian kerja
berdasarkan tempat penerimaannya, merujuk pada aplikasi masa Islam klasik :[6]
1.
Departemen
khusus untuk sedekah (zakat).
2.
Departemen
khusus untuk menyimpan pajak dan upeti.
3.
Departemen
khusus untuk ghanimah dan rikaz.
4.
Departemen
khusus untuk harta yang tidak diketahui warisnya atau yang terputus hak
warisnya (misalnya karena pembunuhan).
Hal ini sebenarnya juga telah
diungkapkan pula oleh Ibnu Taimiyah, beliau mengungkapkan bahwa dalam
adminstrasi keuangan Negara, dalam Baitul Mal telah dibentuk beberapa
departemen yang dikenal dengan Diwan (dewan). Dewan-dewan tersebut diantaranya:
1.
Diwan
al Rawatib yang berfungsi
mengadministrasikan gaji dan honor bagi pegawai negeri dan tentara.
2.
Diwan
al Jawali wal Mawarits al Hasyriyah yang berfungsi mengelola poll taxes (jizyah) dan harta tanpa ahli
waris.
3.
Diwan
al Kharaj yang berfungsi untuk memungut
kharaj.
4.
Diwan
al Hilali yang berfungsi mengkoleksi
pajak bulanan.
Pada hakikatnya pengembangan
institusi dan kebijakan dalam ekonomi Islam tidak memiliki ketentuan tetap
kecuali apa yang telah di syariat. Khususnya dalam pembentukan departemen dan
penggunaan pendapatan Negara, sebenarnya juga tergantung pada perkembangan atau
kondisi perekonomian Negara pada satu waktu tertentu. Artinya pengembangan
institusi dan kebijakan ekonomi tidaklah terikat pada apa yang telah dilakukan
oleh para pemimpin-pemimpin terdahulu, peran ijtihad dengan mempertimbangkan
keadaan kontemporer menjadi sangat menentukan arah dan bentuk institusi dan
kebijakan ekonomi.
Merujuk pada apa yang telah
dijelaskan oleh Qardhawi tentang institusi Baitul Mal, dalam operasionalnya,
salah satu kebijakan pengelolaan pendapatan Negara adalah ketika dana yang
dimiliki departemen sedekah (zakat) yang fungsinya memenuhi kebutuhan dasar
warga negara kurang, maka dapat menggunakan dana dari departemen lain yaitu
departemen pajak dan upeti. Namun pada masa klasik Islam hal ini dilakukan
dengan skema hutang, artinya jika suatu saat departemen sedekah sudah memiliki
kecukupan dana, maka hutang tadi harus dilunasi pada departemen pajak dan
upeti. Tahapan penggunaan keuangan negara ini sesuai dengan yang dijelaskan
sebelumnya, dimana sumber keuangan negara utama adalah zakat, kemudian fay’ dan
pajak. Jika masih juga kekurangan maka negara akan melakukan skema takaful,
dimana semua harta dikumpulkan negara dan dibagikan sama rata.
C.
Sumber Penerimaan
Dana Baitul Maal
Pada umumnya sumber pendapatan
baitul maal dapat dibagi kepada dua bagian[7]:
1.
Sumber dauriyyah yaitu sumber keuangan yang
dikumpulkan dalam waktu-waktu tertentu dalam satu tahun berjalan.
Diantaranya :
a.
Zakat
Adalah mengeluarkan bagian tertentu dalam harta yang
diwajibkan oleh allah untuk orang yang berhak.
b.
Kharaj (pajak tanah)
Adalah suatu pajak yang dibayar oleh seseorang karena adanya
jaminan kepada “al-kharaj bi al-dhiman”.
c.
Jizyah
Adalah pajak individu yang dikenakan kepada kafir zummi dari
ahli kitab dan orang-orang yang digolongkan ke dalam hukum zummi tersebut.
d.
Al-‘Usyur (bea cukai)
adalah cukai yang di kenakan kepada orang islam dan bukan
islam yang berdagang keluar masuk negara islam.
2.
Sumber ghair dauriyyah artinya sumber
keuangan yang dimasukkan kedalam baitul maal tanpa priode tertentu dalam tahun
berjalan. Diantaranya :
a.
Ghanimah dan fai’
Ganimah adalah harta orang kafir yang diperoleh gengan cara
susah payah oleh orang islam, seperti peperangan. Fai’ adalah harta yang
di peroleh umat islam dengan jalan damai.
b.
Barang Tambang (ma’din) dan Harta Terpendam
(rikaz)
Ma’din adalah hasil tambang yang terdapat dalam kawaasan
tanah Negara. Rikaz adalah harta yang di dapat dari hasil temuan peninggalan
masa lampau.
c.
Harta Warisan dan Wasiat
Harta ini merupakan herta dari warisan orang yang sudah
meninggal dan tidak memiliki ahli waris.
d.
Shadaqah Tatawwu’
e.
Harta yang diperoleh dari orang islam yang ingin membantu
orang yang lemah dengan niat mendapat pahala di sisi allah.
f.
Nazar dan Kafara
Nazar adalah harta yang diperoleh dari seseorang yang
berniat utk memberikanya apa bila ke inginanya terwujud. Kafarat adalah harta
yang di peroleh seseorang dari denda karena telah melanggaraturan Allah.
D.
Pengeluaran Dana baitul
Maal
Berdasarkan
analisis ekonomi dan sejarah pada masa pemerintahan Rasulullah Saw dan masa
Khulafaurrasyidin secara umum, belanja Negara dapat dikategorikan menjadi empat:[8]
a.
Zakat dan ushur
sebagai pemberdayaan fakir miskin dan muallaf.
b.
Kharraj, fai, jizya
dan ushur sebagai biaya
rutin pemerintahan.
c.
Khums dan
sedekah pada umumnya sebagai baiaya pembangunan dan kesejahteraan social.
d.
Biaya lainnya,
seperti biaya darurat, pengurusan anak terlantar dan sebagainya. Dana tersebut
diambil dari wakaf, utang public dan sebagainya.
BAB III
PENUTUP
A.
Kesimpulan
Baitul Maal pertama
sekali dirumuskan dan didirikan oleh Rasulullah. saw, Baitul Maal memegang peranan yang sangat vital karena
bukan hanya aspek ekonomi akan tetapi semua aspek kehidupan negara. Baitul Maal
adalah lembaga keuangan berorientasi sosial keagamaan yang kegiatan utamanya
menampung harta serta menyalurkan harta masyarakat berupa zakat, infaq dan
shadaqah (ZIS) berdasarkan ketentuan yang telah ditetapkan Al-Qur’an dan Sunnah
Rasul-Nya.
Dalam
operasionalnya, salah satu kebijakan pengelolaan pendapatan Negara adalah
ketika dana yang dimiliki departemen sedekah (zakat) yang fungsinya memenuhi
kebutuhan dasar warga negara kurang, maka dapat menggunakan dana dari
departemen lain yaitu departemen pajak atau upeti.
Struktur organisasi
Baitul Maal mengikuti kompleksitas perekonomian modern dapat mempertimbangkan
peran Baitul Maal dalam membuat kebijakan-kebijakan ekonomi di sektor riil,
sektor moneter dan sektor sosial.
Sumber pendapatan
Baitul Maal dapat dibagi kepada dua bagian, yakni dhauriyah (zakat, jizyah,
kharaj dan al-uhsr) dan ghair dhauriyah (ghanimah, fa’i, ma’din, rikaz, harta
warisan, wasiat, shadaqah tatawwu’, nazar dan kafarat).
Pendistribusian
dana Baitul Maal diantaranya digunakan untuk penyebaran Islam, pembangunan
infrastruktur dan untuk layanan kesejahteraan sosial. Pemerintahan Islam
sendiri menggunakan dana Baitul Maal untuk kepentingan-kepentingan
kesejahteraan kaum muslim dan non muslim.
B.
Saran
Pembahasan dan
penjelasan pada makalah ini dapat memberikan sedikit wawasan, syukur bila dapat
diperluas. Pembahas sadar masih banyak
kekeurangan dan jauh dari kesempurnaan dalam penulisan makalah ini, kritik dan
saran membangun diharapakan dari penulisan makalah ini.
DAFTAR PUSTAKA
Huda,
Nurul dan Haykal, Mohamad, Lembaga Keuangan Islam, Edisi 1 (cet.
1; Jakarta: Kencana Prenada Media Group, 2010), h.25.
Karim, Adiwarman Azhar. 2010. Sejarah Pemikiran Ekonomi Islam, Edisi 3 cet. 4. Jakarta: PT. Raja
Grafindo Persada.
Pusat
Pengkajian dan Pengembangan Ekonomi Islam P3EI, Ekonomi Islam,
Jakarta, Rajawali Press, hal.509
Qardhawi, Yusuf. 1995. Kiat
Islam Mengentaskan Kemiskinan, Alih Bahasa Syafril Halim. Jakarta: Gema Insani Press.
Qardhawy,Yusuf, Hukum Zakat, Pustaka Litera
Antar Nusa, Jakarta, 1988.
Soemitra,Andri, Bank & Lembaga Keuangan Syariah,
(cet. 1; Jakarta: Kencana Prenada Media Group, 2009), h.451.
[1] Adiwarman Azhar
Karim, Sejarah Pemikiran Ekonomi Islam, Edisi 3 (cet. 4; Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada, 2010),
h. 51-53.
[2] Nurul
Huda dan mohamad Heykal, Lembaga Keuangan Islam, Edisi 1 (cet. 1;
Jakarta: Kencana Prenada Media Group, 2010), h.25.
[3] Andri
Soemitra, Bank & Lembaga Keuangan Syariah, (cet. 1; Jakarta:
Kencana Prenada Media Group, 2009), h.451.
[4]
Adiwarman Azhar Karim, Sejarah Pemikiran Ekonomi Islam, Edisi 3
(cet. 4; Jakarta: PT. Raja Grafindo
Persada, 2010), h. 51-53.
[5] Adiwarman Azhar
Karim,Op.Cit
[7] Huda, Nurul dan Mohamad Heykal. 2010. Lembaga Keuangan Islam.
Jakarta: Kencana Prenada Media Group
[8] Pusat Pengkajian
dan Pengembangan Ekonomi Islam P3EI, Ekonomi Islam, Jakarta,
Rajawali Press, hal.509