BAB
I
PENDAHULUAN
A. LATAR BELAKANG MASALAH
Dalam literatur Islam, sangat
jarang ditemukan tulisan tentang pemikiran ekonomi Islam. Buku-buku sejarah
Islam sekalipun tidak menyentuh pemikiran ekonomi Islam klasik. Buku-buku
sejarah Islam lebih dominan bermuatan sejarah politik. Padahal sejarah
membuktikan bahwa ilmuwan muslim era klasik telah banyak menulis dan mengkaji
ekonomi islam secara normatif, empiris, dan ilmiah dengan metodologi yang
sistematis.
Berbagai praktek dan kebijakan
ekonomi yang berlangsung pada masa Rasulullah SAW dan Khulafa’ Ar-Rasyidin
merupakan dasar yang dijadikan patokan dan prinsip bagi para cendekiawan Muslim
dalam melahirkan teori- teori ekonominya. Ekonomi Islam bertujuan untuk
kebutuhan, keadilan, efisiensi, pertumbuhan dan kebebasan, yang merupakan objek
utama yang menginspirasi pemikiran ekonomi Islam sejak zaman klasik.Pemikiran ekonomi
Islam itu diilhami dan dipandu oleh Al-Qur’an dan sunnah juga ijtihad.
Objek pemikiran ekonomi Islam juga meliputi
bagaimana sejarah ekonomi Islam yang terjadi dalam praktek historisnya, yakni
bagaimana usaha manusia dalam menginterpretasi dan mengaplikasikan ajaran
al-Qur’an pada waktu dan tempat tertentu dan bagaimana orang- orang terdahulu
mencoba memahami dan mengamati kegiatan ekonomi serta menganalisa kebijakan-
kebijakan ekonomi yang terjadi pada masanya. Permasalahannya adalah bagaimana
umat Islam bisa menemukan kembali jejak- jejak pemikiran munculnya konsep
ekonomi Islam secara teoritis dalam bentuk rumusan yang mampu diaplikasikan
sebagai pedoman tindakan yang berujung pada rambu halal dan haram atau
berprinsip syari’ah.
Sementara itu marak dan
berkembangnya ekonomi Islam tiga dasawarsa ini telah mendorong dan mengarahkan
perhatian para ilmuwan modern kepada pemikiran ekonomi Islam klasik. Karena
hasil pemikiran tentang ekonomi islam klasik tersebut merupakan pionir-pionir
penting yang sukses melakukan transformasi sistem ekonomi Islam ke dalam dunia
modern.
Dari latar belakang masalah yang
telah dipaparkan diatas, maka pemakalah ingin lebih lanjut membahas dengan
judul Pemikiran Ekonomi Islam Para Filsuf Pioneer Ekonomi Islam (Studi
Pemikiran Ekonomi Islam Abu Yusuf dan Abu Ubayd)
B. RUMUSAN MASALAH
1. Bagaimana pokok-pokokPemikiran Ekonomi Islam Abu Yusuf dan Abu Ubayd?
C. TUJUAN PENELITIAN
1. Mengetahui pokok- pokok pemikiran ekonomi Islam menurut Abu Yusuf dan Abu Ubayd.
BAB II
PEMBAHASAN
1.
Abu
Yusuf (113-182 H/ 731-798 M)
a.
Riwayat
Hidup dan Perjalanan Intelektual
Ya’qub bin Ibrahim bin Habib bin
Khunais bin Sa’ad Al-Anshari yang dikenal sebagai Abu Yusuf, lahir di Kufah
pada tahun 113 H dan meninggal di Baghdad pada tahun 182 H. Dari nasab Ibunya,
ia masih punya hubungan darah dengan salah seorang sahabat Rasulullah SAW,
yaitu Sa’ad Al- Anshari.
Sejak kecil, ia mempunyai minat yang sangat kuat terhadap ilmu pengetahuan. Hal
ini tampak dipengaruhi oleh suasana Kufah yang ketika itu merupakan salah satu pusat peradaban Islam
dan tempat para cendikiawan Muslim diseluruh dunia.
Abu Yusuf menimba Ilmu kepada
banyak ulama besar seperti, Muhammad Atho bin as-Saib Al-Kufi, Sulaiman bin
Mahran Al-A’masy, Hisyam bin Urwah, Muhammad bin Abdurrahman bin Abi Laila,
Muhammad bin Ishaq bin Yassar bin Jabbar, dan Al- Hajjaj bin Arthah. Selama
tujuh belas tahun Abu Yusuf menuntut ilmu kepada Abu Hanifa pendiri madzhab
Hanafi tersebut. Sepeninggal gurunya, Abu Yusuf bersama Muhammad bin Al-Hasan
Al-Syaibani menjadi tokoh pelopor dalam menyebarkan dan mengembangkan madzhab
Hanafi.
Abu Yusuf tumbuh sebagai seorang
yang alim yang sangat dihormati oleh berbagai kalangan, baik ulama, penguasa
maupun masyarakat umum. Disisi lain, sebagai salah satu bentuk pengakuan
pemerintah atas keluasan ilmunya, Khalifah Dinasti Abbasiyah Harus Ar-Rasyid
mengangkat Abu Yusuf sebagai Ketua Mahkamah Agung (Qadhi al-Qudha).Diantara
kitab- kita Abu Yusuf, kitab yang paling terkenal adalah kitab Al-Kharaj. Kitab
ini ditulis diatas pemerintahan Khalifah Harun ar-Rasyid untuk pedoman dalam
menghimpun pemasukan atau pendapatan negara dari Kharaj, Ushr, Zakat, dan
Jizyah. Kitab ini dapat digolongkan sebagai publik finance dalam
pengertian ekonomi modern.
b.
Pemikiran
Makro Ekonomi Abu Yusuf
a)
Kebijakan
Fiskal Abu Yusuf
Abu Yusuf dikenal perhatiannya atas
keuangan umum serta perhatiannya pada peran negara, pekerjaan umum dan
perkembangan pertanian, pembahasan utamanya adalah perpajakan dan tanggung
jawab ekonomi dari negara, dengan tujuan untuk menghindari kedzaliman yang menimpa
rakyat serta mendatangkan kemaslahatan bagi penguasa. Abu Yusuf mempertegas
bahwa ilmu ekonomi adalah bagian yang tidak terpisahkan dari seni dan manajemen
pemerintah dalam rangka pelaksaaan amanat untuk mensejahterakan rakyat.
Pemikiran Abu Yusuf diilhami dengan semangat keislaman, yang bertitik pada
pelayanan publik. Jelasnya, kontribusi besar dalam menentukan kewajiban-
kewajiban penguasa, status baitul maal, prinsip- prinsip perpajakan dan
hubungan pertanian kondusif untuk kemajuan sosial.
b)
Penerimaan
Negara menurut Abu Yusuf
Islam sebagai agama penyempurna memiliki
sistem yang terpadu, tidak hanya mengatur tata cara peribadatan saja, namun juga
mengatur seluruh aspek kehidupan manusia termasuk ekonomi politik. Abu Yusuf
dalam kitabnya Al- Kharaj menjelaskan pos- pos penerimaan negara secara rinci:
1) Ghanimah
yaitu segala sesuatu yang dikuasai oleh kaum muslimin dari harta orang kafir
melalui peperangan. Dalam pembagiannya 1/5 atau 20% untuk Allah dan Rasul-Nya
serta orang-orang miskin dan 4/5 saham bagi pengikut perang.SedangkanFay’
adalah segala sesuatu yang dikuasai muslim dari harta orang kafir tanpa melalui
peperangan.
2) Kepemilikan Umum, harus dikembalikan
kepada rakyat, baik berupa harta yang dibagikan langsung, maupun berupa
pelayanan negara yang dibiayai dari penjualannya. Dalam hal ini Abu yusuf
menjelaskan bidang yang menjadi sumber pendapatan, yaitu bidang sungai dan
perairan, tanah milik pertanian dibawah kekuasaan Persia (qathi’), dan
tanah mati (ihya’ul mawat) yang tidak difungsikan dengan baik dan tanah
pemerintah yang disewakan.
3) Sedekah, adalah zakat yaitu zakat
binatang ternak , zakat pertanian jika memerlukan kerja keras maka zakatnya 5%,
jika tidak banyak memerlukan pembiayaan maka zakatnya 10%, zakat perdagangan
bersamaan dengan usyur perdagangan, serta zakat hasil mineral atau
barang tambang sebesar 20%.
c) Kebijakan Strategis Abu Yusuf
Abu Yusuf dalam membenahi sistem
perekonomian, ia membenahi mekanisme ekonomi dengan jalan membuka jurang
pemisah antara kaya dan miskin. Ia memandang bahwa masyarakat memiliki hak
dalam campur tangan ekonomi, begitu juga sebaliknya pemerintah tidak memiliki
hak, bila ekonomi tidak adil. Disini Abu Yusuf memiliki dua hal pokok penting
yang harus dilakukan. Pertama, menentukan tingkat penetapan pajak yang sesuai
dan simbang dalam upaya menghindari negara dari resesi ekonomi. Kedua,
pengaturan pengeluaran pemerintah sesuai dengan kebijakan umum. Menurut Abu
Yusuf diantara yang perlu dibenahi adalah income, expenditure dan
mekanisme pasar.
Untuk mewujudkannya, beliau mengambil langkah sebagai berikut:
1) Perubahan sistem penetapan pajak dari
sistem misahah/ wazifah menjadi sistem muqasamah. Misahah
adalah sistem pemungutan pajak yang ditentukan berdasarkan pada nilai tetap,
tanpa membedakan ukuran kemampuan wajib pajak atau pajak- pajak yang dipungut
dengan ketentuan jumlah yang sama secara keseluruhan. Sedangkan muqasamah
adalah sistem pemungutan pajak yang diberlakukan berdasarkan nilai yang tidak
tetap (berubah), dengan mempertimbangkan tingkat kemampuan dan presentase
penghasilan atau pajak proposional. Perubahan sistem ini dilakukan dalam rangka
mencapai ekonomi yang adil.
2) Membangun fleksibilitas sosial. Yaitu
kewajiban warga negara non-muslim untuk membayar pajak. Abu Yusuf memandang
bahwa warga negara sama dihadapan hukum, sekalipun beragam non-Islam. Dalam hal
ini, abu Yusuf membagi tiga golongan orang yang tidak memiliki kapasitas hukum
secara penuh, yaitu harbi, musta’min dan dzimmi. Kelompok musta’min
dan dzimmi adalah kelompok asing yang berada di wilayah kekuasaan Islam
dan membutuhkan perlindungan keamanan dari pemerintah Islam, serta tunduk
dengan segala aturan hukum yang berlaku. Hal ini lebih mengarah pada tingkat
keseimbangan dan nilai- nilai keadilan yang manusiawi serta persamaan hak dan
juga mekanisme penetapan pajak jizyah dalam menunaikan kewajibannya
sebagai warga negara. Pemahaman fleksibilitas yang dibangun Abu Yusuf juga
terlihat dari sikapnya yang toleran pada non-muslim dalam memberi izin
melakukan transaksi perdagangan diwilayah kekuasaan Islam. Abu Yusuf menolak
pendapat yang melarang pedagang Islam untuk berdagang di wilayah dar
al-harbi, guna membentuk peluang untuk kontribusi bagi pembangunan dan
penyebaran taknik perdagangan ke seluruh dunis, seperti Cina, Afrika, Asia
Tengah, Asia Tenggara, dan Turki.
3) Membangun sistem politik dan ekonomi
yang transparan. Menurut Abu Yusuf asas transparan dalam ekonomi merupakan bagian
yang paling penting guna mencapai perwujudan ekonomi yang adil dan manusiawi.
Seperti pengaturan pengeluaran negara, baik berkait dengan insidental
reveneu (ghanimah dan fa’i) maupun permanen reveneu (kharaj,
jiz’ah, ushr dan zakat).
4) Menciptakan sistem ekonomi yang otonom.
Untuk mewujudkan visi ekonominya, Abu Yusuf menciptakan sistem ekonomi yang
otonom (tidak terikat dari intervasi pemerintah).
Abu Yusuf mengatakan bahwa tidak
ada batasan tertentu tentang murah dan mahal yang dapat dipastikan. Hal
tersebut ada yang mengaturnya. Prinsipnya tidak bisa diketahui. Murah bukan
karena melimpahnya makanan, murah dan mahal merupakan ketentuan Allah.
c.
Pengeluaran
Negara Menurut Abu Yusuf
a) Belanja Pegawai
b) Pertahanan Militer
c) Pemenuhan Kebutuhan Dasar Masyarakat (minimum
level of living)
d) Proyek Infrastruktur
e) Mustahik Zakat
2.
Abu
Ubaid (150- 224 H)
a.
Riwayat
Hidup dan Perjalanan Intelektual
Abu Ubaid adalah bernama lengkap
Al-Qasim bin Sallam bin Miskin bin Zaid Al-Harawi Al-Azadi Al-Baghdadi. Ia
lahir pada tahun 150 H di kota Harrah, Khurasan, sebelah barat laut
Afghanistan. Ayahnya keturunan Byzantium yang menjadi maula suku Azd. Setelah memperoleh
ilmu yang memadai dikota kelahirannya, pada usia 20 tahun Abu Ubaid pergi
berkelana untuk menuntut ilmu keberbagai kota seperti Kufah, Basrah dan
Baghdad. Ilmu- ilmu yang dipelajarinya antara lain mencakup ilmu tata bahasa
Arab, qira’at, tafsir, hadist dan fiqih. Pada masa Khalifah Harun Ar-Rasyid Abu
Ubaid diangkat sebagai qadhi (hakim) di Tarsus pada tahun 192 H hingga
210 H..
Menurut Abu Bakar ibn Al-Anbari,
Abu Ubaid membagi malamnya menjadi tiga bagian, sepertiganya untuk tidur, sepertiganya
untuk shalat malam, dan sepertiganya untuk mengarang. Baginya satu hari
mengarang itu lebih utama daripada menggoreskan pedang di jalan Allah. Menurut Ibnu Rohubah: “kita memerlukan orang
seperti Abu Ubaid tetapi dia tidak memerlukan kita”. Dalam pandangan Ahmad ibn
Hambal, Abu Ubaid adalah orang yang bertambah kebaikannya setiap hari.Abu Ubaid
adalah seorang ulama yang cerdas dan pintar sehingga banyak ulama yang
menyanjung dan memujinya. Bahkan menurut Ishaq, Abu Ubaid itu yang terpandai
diantara dirinya, Syafi’i dan Ahmad bin Hambal.
Selama menjadi qadhi di Tarsus, ia
sering menangani berbagai kasus pertanahan dan perpajakan serta telah
menyelesaikannya dengan baik.Hasil
karyanya ada sekitar 20, baik dalam bidang ilmu nahwu, qira’ah. Fikih, syair,
dan lain- lain. Yang terbesar dan terkenal adalah Kitab Al- Amwaal dalam bidang
fikih. Kitab ini merupakan suatu karya yang lengkap tentang keuangan negara
dalam Islam. Buku ini juga merupakan rangkuman tradisi asli dari Nabi dan para
sahabat serta tabi’in tentang masalah ekonomi.
Awal pemikirannya dalam kitab al-
Amwal dapat ditelusuri dari pengamatan yang dilakukan Abu Ubaid terhadap
militer, politik dan masalah fiskal yang dihadapi administrator pemerintahan di
propinsi- propinsi perbatasan pada masanya. Berbeda dengan Abu Yusuf, Abu Ubaid
tidak menyinggung masalah kelangkaan sistematik dan penanggulangannya. Namun,
kitab al- Amwal dapat dikatakan lebih kaya dari kitab al- Kharaj dari sisi
kelengkapan hadist serta kesepakatan- kesepakatan tentang hukum berdasarkan
atsar (tradisi asli) dari para sahabat, tabi’in dan tabi’ at-tabi’in. Isi buku
ini dimulai dengan bab singkat tentang hak penguasa, lalu jenis harta yang
dikelola penguasa untuk kepentingan subjek dan merujuk pada Al-Qur’an dan
Hadist, serta tentang sumber penerimaan negara.
Karena itulah Abu Ubaid menjadi
salah seorang pionir dari nilai- nilai tradisional, pada abad 3 H,yang
berpendapat bahwa revitalisasi dari sistem perekonomian adalah melalui
reformasi terhadap akar- akar kebijakan keuangan serta institusinya dengan
berdasarkan al-Qur’an dan Hadist.
Dalam kitabnya Al- Amwaal, beliau
tidak menyinggung tentang masalah kelemahan sistem pemerintahan serta
penanggulangannya. Abu Ubaid lebih tertuju pada permasalahan yang berkaitan
dengan standar etika politik suatu pemerintahan daripada teknik efisiensi
pengeloaannya. Tanpa menyimpang dari prinsip keadilan dan masyarakat beradab,
Abu Ubaid mengedepankan dominasi intelektualitas islami yang berakar dari
pendekatannya yang bersifat holistic dan teologis terhadap kehidupan
masnusia di dunia dan akhirat, baik yang bersifat individual maupun sosial.
Kitab al- Amwaal merupakan sebuah
mahakarya tentang ekonomi yang dibuat oleh Abu Ubaid yang menekankan beberapa
issu mengenai perpajakan, hukum, serta hukum administrasi dan hukum
internasional. Kitab al- Amwaal secara komprehensif membahas tentang keuangan
publik Islam terutama pada bidang administrasi pemerintahan. Kitab ini juga
memuat sejarah ekonomi Islam selama dua abad pertama hijriyah, dan merupakan
sebuah ringkasan tradisi Islam asli dari Nabi, para sahabat dan para pengikutnya
mengenai masalah ekonomi.
b.
Pemikiran
Ekonomi Abu Ubaid
a) Filosofi Hukum dari sisi Ekonomi
Jika buku Abu Ubaid dievaluasi dari
sisi filsafat hukum maka akan tampak bahwa Abu Ubaid menekankan keadilan
sebagai prinsip utama. Pengimplementasian dari prinsip ini akan membawa kepada
kesejahteraan ekonomi dan keselerasan sosial. Pada dasarnya ia memiliki
pendekatan yang berimbang kepada hak- hak individual, publik dan negara, jika
kepentingan indivisua berbenturan dengan kepentingan publik maka ia akan
berpihak pada kepentingan publik.
Tulisan Abu Ubaid lahir pada masa
kuatnya dinasti Abbasiyah dan tidak ada masalah legistimasi, sehingga
pemikirannya seringkali menekankan pada kebijakan khalifah untuk membuat
keputusan dengan kehati- hatian. Khalifah diberikan kebebasan memilih diantara
alternatif pandangannya asalkan dalam tindakannya itu berdasarkan pada ajaran
Islam dan diarahkan pada kemanfaatan kaum Muslim, yang tidak berdasarkan pada
kepentingan pribadi.
Contoh Abu Ubaid berpendapat bahwa zakat dari tabungan dapat diberikan kepada
negara ataupun penerimanya sendiri, sedangkan zakat komoditas harus diberikan
kepada pemerintah, jika tidak maka kewajiban agama diasumsikan tidak ditunaikan.
Dia menyatakan bahwa imam mempunyai
wewenang dalam memutuskan untuk kepentingan publik seperti membagi tanah
takhlukan pada para penakhluk ataupun membiarkan kepemilikannya pada penduduk
setempat atau lokal. Abu Ubaid menyebutkan bahwa Imam yang adil dapat
memperluas batasan batasan yang telah ditentukan apabila mendesak kepentingan
publik. Akan tetapi pembendaharaan negara tidak boleh disalahgunakan atau
dimanfaatkan oleh penguasa.
Abu Ubaid membahas dalam tarif atau presentase pajak tanah, ia menyinggung
tentang pentingnya keseimbangan antara kekuatan financial dari subjek Non-
Muslim, dalam financial modern disebut “capacity
to pay”. Kaum Muslimin dilarang menarik pajak terhadap tanah penduduk
Non-Muslim melebihi dari apa yang diperbolehkan dalam perjanjian damai.
Dengan kata lain, Abu Ubaid
berupaya untuk menghentikan terjadinya diskriminasi atau penindasan dalam
perpajakan serta terjadinya penghindaran terhadap pajak. Berdasarkan situasi
dan kondisi Abu Ubaid mengadopsi kaidah fiqih” la yunkaru taghayyiru
al-fatwa bi taghayyur al-azminah” (keberagaman aturan atau hukum karena
perbedaan waktu atau periode tidak dapat dielakkan). Namun hal tersebut bisa
sah apabila diputuskan melalui ijtihad yang didasarkan pada nash.
Beliau juga menekankan pentingnya keseimbangan antara pemenuhan hak dan
pelaksanaan kewajiban.
b) Kepemilikan terhadap Perbaikan Pertanian
Menurut Abu Ubaid kebijakan
pemerintah seperti iqta’ terhadap tanah gurun dan deklarasi resmi
terhadap kepemilikan individual dari tanah tandus atau tanah yang sedang
diusahakan keseburannya atau diperbaiki sebagai insentif untuk
meningkatkan produksi pertanian, maka tanah yang diberikan dengan persyaratan
untuk ditanami, dibebaskan dari kewajiban membayar pajak. Jika dibiarkan
menganggur selama 3 tahun berturut- turut akan didenda dan kemudian akan
dialihkan kepemilikannya oleh Imam. Dan iqtha’ hanya berlaku pada
tanah yang tidak dimiliki dan bukan jizyah, jika keadaan tanah tersebut
demikian maka pengaturannya diserahkan kepada Kepala Negara.
Bahkan tanah gurun yang termasuk
dalam hima, dengan maksud untuk direklamasi jika tidak ditanami dalam
periode yang sama dapat ditempati oleh orang lain dengan proses yang sama.
Pemulihan yang sebenarnya adalah pada saat tanah tersebut ditanami dan diairi,
manakala tandus, kering atau rawa- rawa. Jadi, menurut Abu Ubaid sumber dari publik
seperti air, rumput pengembalaan dan tambang tidak boleh dimonopoli seperti
hima ( pribadi). Semua ini hnya dapat dimasukkan dalam kepemilikan
negara untuk kebutuhan masyarakat.
c) Fungsi Uang
Abu Ubaid mengakui adanya dua
fungsi uang yang tidak mempunyai nilai intrinsik sebagai standar dari nilai
pertukaran dan sebagai media pertukaran. Tampaknya ia mendukung terhadap teori
ekonomi yang mengenai uang logam yang merujuk kepada kepentingan umum dan
relatif konstan nilainya emas dan perak dibandingkan komoditas yang lainnya.
Jika kedua benda tersebut dijadikan komoditas, maka nilai keduanya dapat
berubah pula, karena keduanya akan memainkan peran yang berbeda sebagai barang
yang harus dinilai atau sebagai standard penilaian dari barang-barang lain.