Selasa, 24 Desember 2019

FILSAFAT PEMIKIRAN EKONOMI ISLAM


BAB I
PENDAHULUAN
A.     LATAR BELAKANG MASALAH
Dalam literatur Islam, sangat jarang ditemukan tulisan tentang pemikiran ekonomi Islam. Buku-buku sejarah Islam sekalipun tidak menyentuh pemikiran ekonomi Islam klasik. Buku-buku sejarah Islam lebih dominan bermuatan sejarah politik. Padahal sejarah membuktikan bahwa ilmuwan muslim era klasik telah banyak menulis dan mengkaji ekonomi islam secara normatif, empiris, dan ilmiah dengan metodologi yang sistematis.
Berbagai praktek dan kebijakan ekonomi yang berlangsung pada masa Rasulullah SAW dan Khulafa’ Ar-Rasyidin merupakan dasar yang dijadikan patokan dan prinsip bagi para cendekiawan Muslim dalam melahirkan teori- teori ekonominya. Ekonomi Islam bertujuan untuk kebutuhan, keadilan, efisiensi, pertumbuhan dan kebebasan, yang merupakan objek utama yang menginspirasi pemikiran ekonomi Islam sejak zaman klasik.Pemikiran ekonomi Islam itu diilhami dan dipandu oleh Al-Qur’an dan sunnah juga ijtihad.
Objek pemikiran ekonomi Islam juga meliputi bagaimana sejarah ekonomi Islam yang terjadi dalam praktek historisnya, yakni bagaimana usaha manusia dalam menginterpretasi dan mengaplikasikan ajaran al-Qur’an pada waktu dan tempat tertentu dan bagaimana orang- orang terdahulu mencoba memahami dan mengamati kegiatan ekonomi serta menganalisa kebijakan- kebijakan ekonomi yang terjadi pada masanya. Permasalahannya adalah bagaimana umat Islam bisa menemukan kembali jejak- jejak pemikiran munculnya konsep ekonomi Islam secara teoritis dalam bentuk rumusan yang mampu diaplikasikan sebagai pedoman tindakan yang berujung pada rambu halal dan haram atau berprinsip syari’ah.
Sementara itu marak dan berkembangnya ekonomi Islam tiga dasawarsa ini telah mendorong dan mengarahkan perhatian para ilmuwan modern kepada pemikiran ekonomi Islam klasik. Karena hasil pemikiran tentang ekonomi islam klasik tersebut merupakan pionir-pionir penting yang sukses melakukan transformasi sistem ekonomi Islam ke dalam dunia modern.
Dari latar belakang masalah yang telah dipaparkan diatas, maka pemakalah ingin lebih lanjut membahas dengan judul Pemikiran Ekonomi Islam Para Filsuf Pioneer Ekonomi Islam (Studi Pemikiran Ekonomi Islam Abu Yusuf dan Abu Ubayd)

B.     RUMUSAN MASALAH
1.      Bagaimana pokok-pokokPemikiran Ekonomi Islam Abu Yusuf dan Abu Ubayd?

C.     TUJUAN PENELITIAN
1.      Mengetahui pokok- pokok pemikiran  ekonomi Islam menurut Abu Yusuf dan Abu Ubayd.

BAB II
PEMBAHASAN
1.      Abu Yusuf (113-182 H/ 731-798 M)
a.       Riwayat Hidup dan Perjalanan Intelektual
Ya’qub bin Ibrahim bin Habib bin Khunais bin Sa’ad Al-Anshari yang dikenal sebagai Abu Yusuf, lahir di Kufah pada tahun 113 H dan meninggal di Baghdad pada tahun 182 H. Dari nasab Ibunya, ia masih punya hubungan darah dengan salah seorang sahabat Rasulullah SAW, yaitu Sa’ad Al- Anshari.[1] Sejak kecil, ia mempunyai minat yang sangat kuat terhadap ilmu pengetahuan. Hal ini tampak dipengaruhi oleh suasana Kufah yang ketika itu  merupakan salah satu pusat peradaban Islam dan tempat para cendikiawan Muslim diseluruh dunia.
Abu Yusuf menimba Ilmu kepada banyak ulama besar seperti, Muhammad Atho bin as-Saib Al-Kufi, Sulaiman bin Mahran Al-A’masy, Hisyam bin Urwah, Muhammad bin Abdurrahman bin Abi Laila, Muhammad bin Ishaq bin Yassar bin Jabbar, dan Al- Hajjaj bin Arthah. Selama tujuh belas tahun Abu Yusuf menuntut ilmu kepada Abu Hanifa pendiri madzhab Hanafi tersebut. Sepeninggal gurunya, Abu Yusuf bersama Muhammad bin Al-Hasan Al-Syaibani menjadi tokoh pelopor dalam menyebarkan dan mengembangkan madzhab Hanafi.[2]
Abu Yusuf tumbuh sebagai seorang yang alim yang sangat dihormati oleh berbagai kalangan, baik ulama, penguasa maupun masyarakat umum. Disisi lain, sebagai salah satu bentuk pengakuan pemerintah atas keluasan ilmunya, Khalifah Dinasti Abbasiyah Harus Ar-Rasyid mengangkat Abu Yusuf sebagai Ketua Mahkamah Agung (Qadhi al-Qudha).[3]Diantara kitab- kita Abu Yusuf, kitab yang paling terkenal adalah kitab Al-Kharaj. Kitab ini ditulis diatas pemerintahan Khalifah Harun ar-Rasyid untuk pedoman dalam menghimpun pemasukan atau pendapatan negara dari Kharaj, Ushr, Zakat, dan Jizyah. Kitab ini dapat digolongkan sebagai publik finance dalam pengertian ekonomi modern.[4]
b.      Pemikiran Makro Ekonomi Abu Yusuf
a)      Kebijakan Fiskal Abu Yusuf
Abu Yusuf dikenal perhatiannya atas keuangan umum serta perhatiannya pada peran negara, pekerjaan umum dan perkembangan pertanian, pembahasan utamanya adalah perpajakan dan tanggung jawab ekonomi dari negara, dengan tujuan untuk menghindari kedzaliman yang menimpa rakyat serta mendatangkan kemaslahatan bagi penguasa. Abu Yusuf mempertegas bahwa ilmu ekonomi adalah bagian yang tidak terpisahkan dari seni dan manajemen pemerintah dalam rangka pelaksaaan amanat untuk mensejahterakan rakyat. Pemikiran Abu Yusuf diilhami dengan semangat keislaman, yang bertitik pada pelayanan publik. Jelasnya, kontribusi besar dalam menentukan kewajiban- kewajiban penguasa, status baitul maal, prinsip- prinsip perpajakan dan hubungan pertanian kondusif untuk kemajuan sosial.[5]
b)      Penerimaan Negara menurut Abu Yusuf
Islam sebagai agama penyempurna memiliki sistem yang terpadu, tidak hanya mengatur tata cara peribadatan saja, namun juga mengatur seluruh aspek kehidupan manusia termasuk ekonomi politik. Abu Yusuf dalam kitabnya Al- Kharaj menjelaskan pos- pos penerimaan negara secara rinci:
1)      Ghanimah yaitu segala sesuatu yang dikuasai oleh kaum muslimin dari harta orang kafir melalui peperangan. Dalam pembagiannya 1/5 atau 20% untuk Allah dan Rasul-Nya serta orang-orang miskin dan 4/5 saham bagi pengikut perang.SedangkanFay’ adalah segala sesuatu yang dikuasai muslim dari harta orang kafir tanpa melalui peperangan.
2)      Kepemilikan Umum, harus dikembalikan kepada rakyat, baik berupa harta yang dibagikan langsung, maupun berupa pelayanan negara yang dibiayai dari penjualannya. Dalam hal ini Abu yusuf menjelaskan bidang yang menjadi sumber pendapatan, yaitu bidang sungai dan perairan, tanah milik pertanian dibawah kekuasaan Persia (qathi’), dan tanah mati (ihya’ul mawat) yang tidak difungsikan dengan baik dan tanah pemerintah yang disewakan.
3)      Sedekah, adalah zakat yaitu zakat binatang ternak , zakat pertanian jika memerlukan kerja keras maka zakatnya 5%, jika tidak banyak memerlukan pembiayaan maka zakatnya 10%, zakat perdagangan bersamaan dengan usyur perdagangan, serta zakat hasil mineral atau barang tambang sebesar 20%.[6]
c)      Kebijakan Strategis Abu Yusuf
Abu Yusuf dalam membenahi sistem perekonomian, ia membenahi mekanisme ekonomi dengan jalan membuka jurang pemisah antara kaya dan miskin. Ia memandang bahwa masyarakat memiliki hak dalam campur tangan ekonomi, begitu juga sebaliknya pemerintah tidak memiliki hak, bila ekonomi tidak adil. Disini Abu Yusuf memiliki dua hal pokok penting yang harus dilakukan. Pertama, menentukan tingkat penetapan pajak yang sesuai dan simbang dalam upaya menghindari negara dari resesi ekonomi. Kedua, pengaturan pengeluaran pemerintah sesuai dengan kebijakan umum. Menurut Abu Yusuf diantara yang perlu dibenahi adalah income, expenditure dan mekanisme pasar.[7] Untuk mewujudkannya, beliau mengambil langkah sebagai berikut:[8]
1)      Perubahan sistem penetapan pajak dari sistem misahah/ wazifah menjadi sistem muqasamah. Misahah adalah sistem pemungutan pajak yang ditentukan berdasarkan pada nilai tetap, tanpa membedakan ukuran kemampuan wajib pajak atau pajak- pajak yang dipungut dengan ketentuan jumlah yang sama secara keseluruhan. Sedangkan muqasamah adalah sistem pemungutan pajak yang diberlakukan berdasarkan nilai yang tidak tetap (berubah), dengan mempertimbangkan tingkat kemampuan dan presentase penghasilan atau pajak proposional. Perubahan sistem ini dilakukan dalam rangka mencapai ekonomi yang adil.
2)      Membangun fleksibilitas sosial. Yaitu kewajiban warga negara non-muslim untuk membayar pajak. Abu Yusuf memandang bahwa warga negara sama dihadapan hukum, sekalipun beragam non-Islam. Dalam hal ini, abu Yusuf membagi tiga golongan orang yang tidak memiliki kapasitas hukum secara penuh, yaitu harbi, musta’min dan dzimmi. Kelompok musta’min dan dzimmi adalah kelompok asing yang berada di wilayah kekuasaan Islam dan membutuhkan perlindungan keamanan dari pemerintah Islam, serta tunduk dengan segala aturan hukum yang berlaku. Hal ini lebih mengarah pada tingkat keseimbangan dan nilai- nilai keadilan yang manusiawi serta persamaan hak dan juga mekanisme penetapan pajak jizyah dalam menunaikan kewajibannya sebagai warga negara. Pemahaman fleksibilitas yang dibangun Abu Yusuf juga terlihat dari sikapnya yang toleran pada non-muslim dalam memberi izin melakukan transaksi perdagangan diwilayah kekuasaan Islam. Abu Yusuf menolak pendapat yang melarang pedagang Islam untuk berdagang di wilayah dar al-harbi, guna membentuk peluang untuk kontribusi bagi pembangunan dan penyebaran taknik perdagangan ke seluruh dunis, seperti Cina, Afrika, Asia Tengah, Asia Tenggara, dan Turki.
3)      Membangun sistem politik dan ekonomi yang transparan. Menurut Abu Yusuf asas transparan dalam ekonomi merupakan bagian yang paling penting guna mencapai perwujudan ekonomi yang adil dan manusiawi. Seperti pengaturan pengeluaran negara, baik berkait dengan insidental reveneu (ghanimah dan fa’i) maupun permanen reveneu (kharaj, jiz’ah, ushr dan zakat).
4)      Menciptakan sistem ekonomi yang otonom. Untuk mewujudkan visi ekonominya, Abu Yusuf menciptakan sistem ekonomi yang otonom (tidak terikat dari intervasi pemerintah).
Abu Yusuf mengatakan bahwa tidak ada batasan tertentu tentang murah dan mahal yang dapat dipastikan. Hal tersebut ada yang mengaturnya. Prinsipnya tidak bisa diketahui. Murah bukan karena melimpahnya makanan, murah dan mahal merupakan ketentuan Allah.
c.       Pengeluaran Negara Menurut Abu Yusuf[9]
a)      Belanja Pegawai
b)      Pertahanan Militer
c)      Pemenuhan Kebutuhan Dasar Masyarakat (minimum level of living)
d)      Proyek Infrastruktur
e)      Mustahik Zakat

2.      Abu Ubaid (150- 224 H)
a.      Riwayat Hidup dan Perjalanan Intelektual
Abu Ubaid adalah bernama lengkap Al-Qasim bin Sallam bin Miskin bin Zaid Al-Harawi Al-Azadi Al-Baghdadi. Ia lahir pada tahun 150 H di kota Harrah, Khurasan, sebelah barat laut Afghanistan. Ayahnya keturunan Byzantium yang menjadi maula suku Azd. Setelah memperoleh ilmu yang memadai dikota kelahirannya, pada usia 20 tahun Abu Ubaid pergi berkelana untuk menuntut ilmu keberbagai kota seperti Kufah, Basrah dan Baghdad. Ilmu- ilmu yang dipelajarinya antara lain mencakup ilmu tata bahasa Arab, qira’at, tafsir, hadist dan fiqih. Pada masa Khalifah Harun Ar-Rasyid Abu Ubaid diangkat sebagai qadhi (hakim) di Tarsus pada tahun 192 H hingga 210 H.[10].
Menurut Abu Bakar ibn Al-Anbari, Abu Ubaid membagi malamnya menjadi tiga bagian, sepertiganya untuk tidur, sepertiganya untuk shalat malam, dan sepertiganya untuk mengarang. Baginya satu hari mengarang itu lebih utama daripada menggoreskan pedang di jalan Allah.  Menurut Ibnu Rohubah: “kita memerlukan orang seperti Abu Ubaid tetapi dia tidak memerlukan kita”. Dalam pandangan Ahmad ibn Hambal, Abu Ubaid adalah orang yang bertambah kebaikannya setiap hari.Abu Ubaid adalah seorang ulama yang cerdas dan pintar sehingga banyak ulama yang menyanjung dan memujinya. Bahkan menurut Ishaq, Abu Ubaid itu yang terpandai diantara dirinya, Syafi’i dan Ahmad bin Hambal.[11]
Selama menjadi qadhi di Tarsus, ia sering menangani berbagai kasus pertanahan dan perpajakan serta telah menyelesaikannya dengan baik.[12]Hasil karyanya ada sekitar 20, baik dalam bidang ilmu nahwu, qira’ah. Fikih, syair, dan lain- lain. Yang terbesar dan terkenal adalah Kitab Al- Amwaal dalam bidang fikih. Kitab ini merupakan suatu karya yang lengkap tentang keuangan negara dalam Islam. Buku ini juga merupakan rangkuman tradisi asli dari Nabi dan para sahabat serta tabi’in tentang masalah ekonomi.[13]
Awal pemikirannya dalam kitab al- Amwal dapat ditelusuri dari pengamatan yang dilakukan Abu Ubaid terhadap militer, politik dan masalah fiskal yang dihadapi administrator pemerintahan di propinsi- propinsi perbatasan pada masanya. Berbeda dengan Abu Yusuf, Abu Ubaid tidak menyinggung masalah kelangkaan sistematik dan penanggulangannya. Namun, kitab al- Amwal dapat dikatakan lebih kaya dari kitab al- Kharaj dari sisi kelengkapan hadist serta kesepakatan- kesepakatan tentang hukum berdasarkan atsar (tradisi asli) dari para sahabat, tabi’in dan tabi’ at-tabi’in. Isi buku ini dimulai dengan bab singkat tentang hak penguasa, lalu jenis harta yang dikelola penguasa untuk kepentingan subjek dan merujuk pada Al-Qur’an dan Hadist, serta tentang sumber penerimaan negara.
Karena itulah Abu Ubaid menjadi salah seorang pionir dari nilai- nilai tradisional, pada abad 3 H,yang berpendapat bahwa revitalisasi dari sistem perekonomian adalah melalui reformasi terhadap akar- akar kebijakan keuangan serta institusinya dengan berdasarkan al-Qur’an dan Hadist.
Dalam kitabnya Al- Amwaal, beliau tidak menyinggung tentang masalah kelemahan sistem pemerintahan serta penanggulangannya. Abu Ubaid lebih tertuju pada permasalahan yang berkaitan dengan standar etika politik suatu pemerintahan daripada teknik efisiensi pengeloaannya. Tanpa menyimpang dari prinsip keadilan dan masyarakat beradab, Abu Ubaid mengedepankan dominasi intelektualitas islami yang berakar dari pendekatannya yang bersifat holistic dan teologis terhadap kehidupan masnusia di dunia dan akhirat, baik yang bersifat individual maupun sosial.[14]
Kitab al- Amwaal merupakan sebuah mahakarya tentang ekonomi yang dibuat oleh Abu Ubaid yang menekankan beberapa issu mengenai perpajakan, hukum, serta hukum administrasi dan hukum internasional. Kitab al- Amwaal secara komprehensif membahas tentang keuangan publik Islam terutama pada bidang administrasi pemerintahan. Kitab ini juga memuat sejarah ekonomi Islam selama dua abad pertama hijriyah, dan merupakan sebuah ringkasan tradisi Islam asli dari Nabi, para sahabat dan para pengikutnya mengenai masalah ekonomi.
b.      Pemikiran  Ekonomi Abu Ubaid
a)      Filosofi Hukum dari sisi Ekonomi
Jika buku Abu Ubaid dievaluasi dari sisi filsafat hukum maka akan tampak bahwa Abu Ubaid menekankan keadilan sebagai prinsip utama. Pengimplementasian dari prinsip ini akan membawa kepada kesejahteraan ekonomi dan keselerasan sosial. Pada dasarnya ia memiliki pendekatan yang berimbang kepada hak- hak individual, publik dan negara, jika kepentingan indivisua berbenturan dengan kepentingan publik maka ia akan berpihak pada kepentingan publik.[15]
Tulisan Abu Ubaid lahir pada masa kuatnya dinasti Abbasiyah dan tidak ada masalah legistimasi, sehingga pemikirannya seringkali menekankan pada kebijakan khalifah untuk membuat keputusan dengan kehati- hatian. Khalifah diberikan kebebasan memilih diantara alternatif pandangannya asalkan dalam tindakannya itu berdasarkan pada ajaran Islam dan diarahkan pada kemanfaatan kaum Muslim, yang tidak berdasarkan pada kepentingan pribadi.[16] Contoh Abu Ubaid berpendapat bahwa zakat dari tabungan dapat diberikan kepada negara ataupun penerimanya sendiri, sedangkan zakat komoditas harus diberikan kepada pemerintah, jika tidak maka kewajiban agama diasumsikan tidak ditunaikan.[17]
Dia menyatakan bahwa imam mempunyai wewenang dalam memutuskan untuk kepentingan publik seperti membagi tanah takhlukan pada para penakhluk ataupun membiarkan kepemilikannya pada penduduk setempat atau lokal. Abu Ubaid menyebutkan bahwa Imam yang adil dapat memperluas batasan batasan yang telah ditentukan apabila mendesak kepentingan publik. Akan tetapi pembendaharaan negara tidak boleh disalahgunakan atau dimanfaatkan oleh penguasa.
Abu Ubaid membahas dalam  tarif atau presentase pajak tanah, ia menyinggung tentang pentingnya keseimbangan antara kekuatan financial dari subjek Non- Muslim, dalam financial modern  disebut “capacity to pay”. Kaum Muslimin dilarang menarik pajak terhadap tanah penduduk Non-Muslim melebihi dari apa yang diperbolehkan dalam perjanjian damai.[18]
Dengan kata lain, Abu Ubaid berupaya untuk menghentikan terjadinya diskriminasi atau penindasan dalam perpajakan serta terjadinya penghindaran terhadap pajak. Berdasarkan situasi dan kondisi Abu Ubaid mengadopsi kaidah fiqih” la yunkaru taghayyiru al-fatwa bi taghayyur al-azminah” (keberagaman aturan atau hukum karena perbedaan waktu atau periode tidak dapat dielakkan). Namun hal tersebut bisa sah apabila diputuskan melalui ijtihad yang didasarkan pada nash.[19] Beliau juga menekankan pentingnya keseimbangan antara pemenuhan hak dan pelaksanaan kewajiban.
b)      Kepemilikan terhadap Perbaikan Pertanian
Menurut Abu Ubaid kebijakan pemerintah seperti iqta’ terhadap tanah gurun dan deklarasi resmi terhadap kepemilikan individual dari tanah tandus atau tanah yang sedang diusahakan keseburannya atau diperbaiki sebagai insentif untuk meningkatkan produksi pertanian, maka tanah yang diberikan dengan persyaratan untuk ditanami, dibebaskan dari kewajiban membayar pajak. Jika dibiarkan menganggur selama 3 tahun berturut- turut akan didenda dan kemudian akan dialihkan kepemilikannya oleh Imam. Dan iqtha’ hanya berlaku pada tanah yang tidak dimiliki dan bukan jizyah, jika keadaan tanah tersebut demikian maka pengaturannya diserahkan kepada Kepala Negara.[20]
Bahkan tanah gurun yang termasuk dalam hima, dengan maksud untuk direklamasi jika tidak ditanami dalam periode yang sama dapat ditempati oleh orang lain dengan proses yang sama. Pemulihan yang sebenarnya adalah pada saat tanah tersebut ditanami dan diairi, manakala tandus, kering atau rawa- rawa. Jadi, menurut Abu Ubaid sumber dari publik seperti air, rumput pengembalaan dan tambang tidak boleh dimonopoli seperti hima ( pribadi). Semua ini hnya dapat dimasukkan dalam kepemilikan negara untuk kebutuhan masyarakat.[21]
c)      Fungsi Uang
Abu Ubaid mengakui adanya dua fungsi uang yang tidak mempunyai nilai intrinsik sebagai standar dari nilai pertukaran dan sebagai media pertukaran. Tampaknya ia mendukung terhadap teori ekonomi yang mengenai uang logam yang merujuk kepada kepentingan umum dan relatif konstan nilainya emas dan perak dibandingkan komoditas yang lainnya. Jika kedua benda tersebut dijadikan komoditas, maka nilai keduanya dapat berubah pula, karena keduanya akan memainkan peran yang berbeda sebagai barang yang harus dinilai atau sebagai standard penilaian dari barang-barang lain.[22]



[1]Euis Amalia, Sejarah Pemikiran,,, hlm. 115
[2]Hamdi Ibn Abdurrahman al-Junaidi, manahij al-Bahisin fi al-Iqtishad al-Islami, (Kairo: Syirkah al-Abikani, 1407 H), hlm. 130
[3]Adiwarman Azwar Karim, Sejarah Pemikiran, hlm. 232.
[4]Heri Sudarsono, Konsep Ekonomi Islam suatu Pengantar, (Yogyakarta:Ekonesia, 2004), hlm. 147.
[5]Nur Chamid, hlm. 154.
[6]Nurul Huda dan Ahmad Muti, Keuangan Publik Islam Pendekatan Al- Kaharaj Imam Abu Yusuf, (Bogor: Ghalia Indonesia, 2011), hlm. 76.
[7]Nurul Huda dan Ahmad Muti, hlm. 66.
[8]Nurul Huda dan Ahmad Muti, hlm. 66.
[9]Nurul Huda dan Ahmad Muti, Keuangan Publik Islami, hlm. 123.
[10] Adiwarman Azwar Karim,Sejarah Pemikiran Ekonomi Islam, (Jakarta: Rajawali Press), hlm. 265.
[11]Nur Chamid, Jejak Langkah Sejarah Pemikiran Ekonomi Islam, (Yogyakarta: Pustaka Pelajar), hlm. 176.
[12]Adiwarman Azwar Karim,Sejarah Pemikiran, hlm. 265.
[13]Nur Chamid, hlm. 177.
[14]Adiwarman Azwar Karim, Sejarah Pemikiran...., hlm. 266.
[15]Nur Chamid, Jejak Langkah Pemikiran...., hlm. 189.
[16]Abu Ubaid al-Qasim bin Salam, Kitab al- Amwal, (Beirut: Dar al-Fikr, 1998 M), hlm. 285.
[17]Abu Ubaid, hlm. 680.
[18]Adiwarman Azwar Karim, Sejarah Pemikiran...., hlm. 274
[19]Nur Chamid, Jejak Langkah Pemikiran...., hlm. 190.
[20]Euis Amalia, Sejarah Pemikiran Ekonomi Islam, (Jakarta: Gramata Publishing, 2010) hlm. 152
[21]Abu Ubaid al-Qasim bin Salam, hlm. 367.
[22]Euis Amalia, Sejarah Pemikiran,,, hlm. 155

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

SOAL BAHASA ARAB SAT KELAS 10 DAN 11 ( SUSULAN/ REMEDIAL/PERBAIKAN NILAI)

 ASSALAMULAIKUM WRWB BAGI SISWA-SISWI YANG BELUM SEMPAT MENGIKUTI UJIAN BAHASA ARAB KELAS 10 DAN 11 DAPAT MENDOWNLOAD SOAL PADA LINK BERIKUT...