A.
PENDAHULUAN
1.
Latar Belakang Masalah
Prilaku ekonomi masyarakat baik dalam konsumsi maupun produksi
senantiasa diukur pada sisi rasionalitasnya semata. Dimensi rasionalitas ini
menyemangati pelaku ekonomi untuk bertindak sesuai dengan logika kepentingan
yang menjadi orientasi dalam dirinya. Sebuah prilaku dapat dianggap rasional,
jika sesuai dengan standar logika yang diinginkannya. Jika ekonomi adalah upaya
seseorang dalam mencari dan memenuhi kebutuhannya, maka rasionalitas ekonomi
adalah bagaimana orang itu dapat mewujudkan sikap dan prilakunya itu untuk
meraih kebutuhan yang diinginkannya. Jika ia tidak bisa memenuhi kebutuhan
sesuai dengan keinginannya itu, maka dianggap tidak rasional.
Prilaku rasionalitas ekonomi demikian telah menjadikan motif
individu sebagai panglimanya. Dalam realita di lapangan, sangat mengundang
masalah serius di masyarakat. Dengan menekankan pada kepentingan pribadi semata
dalam mengukur rasionalitas rawan berbenturan dengan pelaku ekonomi lain.
Rasionalitas mempunyai standarnya sendiri-sendiri dalam tiap individu di
masyarakat.
Secara naluriah, semua manusia menginginkan kehidupan yang bahagia
dan sejahtera. Beberapa cara, dari mulai yang ideal sampai yang pragmatis, mereka
tempuh untuk mencapai tujuan itu. Walaupun mereka memiliki cita-cita hidup yang
sama, tetapi cara mereka mewujudkannya seringkali berbeda-beda. Bahkan tidak
jarang saling berlawanan antara satu dengan lainnya. Dalam konteks jenis
pencarian ekonomi, misalnya; para pedagang merasa bahagia dengan pekerjaannya.
Bagi petani, pedagang merupakan jenis pekerjaan yang melelahkan. Berbeda dengan
bertani, dapat dikerjakan dengan santai, tidak dikejar target, dan pada saatnya tinggal menunggu
panen. Berbeda lagi dengan para guru yang menganggap pekerjaannya lebih mulia
dan “mencerdaskan”. Dan banyak lagi cara-cara lain yang dijalani manusia. Namun
semuanya satu dalam tujuan, yaitu mencapai kebahagiaan dan kesejahteraan hidup.
Islam adalah agama yang mengatur kehidupan umatnya secara sempurna,
bukan saja pada persoalan berkaitan dengan aqidah, akhlaq dan ibadah, namun
juga persoalan mua’amalah. Slah satu aspek muamalah manusia adalah berkaitan
dengan konsumsi. Konsumsi seorang muslim memiliki pola aturan dan pendekatan
yang berbeda dengan seorang yang bukan muslim.
Kerangka kegiatan muammalat secara garis besar dapat dibagi dalam
tiga besar, yaitu politik (Siyasah) Sosial (Ijtimai”yah) dan
Ekonomi (Iqtishadiyah).[1]
Dari ekonomi diambil tiga turunan yaitu konsumsi, simpanan dan investasi. Dalam
kegiatan konsumsi, bekal yang dimiliki manusia adalah berupa akal dan fikiran,
yang digunakan untuk manusia memilih dan menentukan fikiran terbaik dari
berbagai alternative pilihan yang ada, sehingga apa yang menjadi tujuan
konsumsi mereka dapat tercapai.
Pada umumnya teori perilaku konsumsi dalam ekonomi konvensional
didasarkan pada pemikiran bahwa konsumsi adalah titik pangkal dan tujuan akhir
dari kegiatan ekonomi masyarakat.[2]
Berbeda dengan sitem Islam yang mengajarkan pola dan aturan komsumsi yang cukup
seimbang tidak berlebihan yang pula tidak keterlaluan.[3]
Seorang konsumen muslim tidak hanya mencapai kepuasan dari konsumsi
barang dan penggunanaan barang tahan lama, perilaku ekonomi konsumen muslim
berpusat sekitar yang dikehendaki Allah Swt. Allah berfirman:
رَبِّ أَوْزِعْنِي أَنْ أَشْكُرَ نِعْمَتَكَ
الَّتِي أَنْعَمْتَ عَلَيَّ وَعَلَى وَالِدَيَّ وَأَنْ أَعْمَلَ صَالِحًا تَرْضَاهُ
وَأَصْلِحْ لِي فِي ذُرِّيَّتِي إِنِّي تُبْتُ إِلَيْكَ وَإِنِّي مِنَ الْمُسْلِمِينَ
(١٥)
"Ya Tuhanku, tunjukilah aku untuk mensyukuri nikmat Engkau yang
telah Engkau berikan kepadaku dan kepada ibu bapakku dan supaya aku dapat
berbuat amal yang saleh yang Engkau ridhai; berilah kebaikan kepadaku dengan
(memberi kebaikan) kepada anak cucuku. Sesungguhnya aku bertaubat kepada Engkau
dan Sesungguhnya aku Termasuk orang-orang yang berserah diri".[4]
Dari sana berarti kepuasan konsumsi seorang
muslim tidak hanya sebagai fungsi jumlah dari sedekah. Sebagaimana firman Allah
Swt:
الْمَالُ وَالْبَنُونَ
زِينَةُ الْحَيَاةِ الدُّنْيَا وَالْبَاقِيَاتُ الصَّالِحَاتُ خَيْرٌ عِنْدَ رَبِّكَ
ثَوَابًا وَخَيْرٌ أَمَلا
46. harta dan anak-anak adalah perhiasan kehidupan dunia tetapi
amalan-amalan yang kekal lagi saleh adalah lebih baik pahalanya di sisi Tuhanmu
serta lebih baik untuk menjadi harapan.[5]
Seorang konsumen muslim mempunyai objek
pengeluaran untuk sedekah. Pengeluaran ini tidak dapat dibandingkan dengan
ekonomi dan Islam, pengeluaran untuk sedekah merupakan keharusan yang dilakukan
tanpa memandang papakah kepuasaan maksimum dapat dicapai atau tidak. Al- Quran
menegaskan istilah Tabdzir dan Israf.
إِنَّ الْمُبَذِّرِينَ كَانُوا إِخْوَانَ
الشَّيَاطِينِ وَكَانَ الشَّيْطَانُ لِرَبِّهِ كَفُورًا (٢٧)
27.
Sesungguhnya pemboros-pemboros itu adalah saudara-saudara syaitan dan syaitan
itu adalah sangat ingkar kepada Tuhannya.[6]
Ayat lain:
وَكُلُوا وَاشْرَبُوا وَلا تُسْرِفُوا
إِنَّهُ لا يُحِبُّ الْمُسْرِفِينَ (٣١)
Makan dan minumlah, dan janganlah
berlebih-lebihan[535]. Sesungguhnya Allah tidak menyukai orang-orang yang
berlebih-lebihan.[7]
Doktrin Al-Qur’an ini secara ekonomi dapat
ditafsirkan sebagai dorongan untuk surplus dalam konsumsi dalam bentuk
simpanan, dihimpun dan kemudian dipergunakan untuk investasi dalam bentuk
perdagangan (Tijarah), produksi (Manufactur) dan jasa (service).
Dalam konteks ini diperlukan kehadiran lembaga yang mampu menjadi perantara (Intermediary)
antara unit surplus dengan unit demand sangat diharapakan.
Konsumsi adalah permintaan, sedangkan produksi
adalah penyediaan. Kedua hali ini bagian penting dalam kehidupan manusia. Kedua
kegiatan tersebut merupakan hal primer disamping harus memperhatikan factor
ekonomi lainnya, seperti sirkulasi dan distribusi. Konsumsi bagi sebagian
manusia hanya sebuah kepuasan bagi individu-individu dangan mengesampingkan
nilai moral suatu agama. Maka, Islam memandang bahwa bumi dengan segala isisnya
merupakan amanah Allah kepada khalifahnya agar dipergunakan dengan sebaik-baiknya
bagi kesejahteraan bersama.
Semakin tinggi seseoarang memilik peradaban,
semakin seorang itu terkalahkan oleh kebutuhan fisiologis karena factor-faktor
psikologis, citarasa, keangkuhan dan dorongan untuk pamer. Dari semua itu
dianggap fortor dominan dalam menentukan bentuk yang kongkrit dari kebutuhan
fisologis. Dalam kondisi masyarakat yang primitive konsumsi sangat sederhanan,
akan tetapi peradaban masyarakat modern telah mengubah factor-faktor tersebut
dengan menghancurkan ketersediaan manusia akan kebutuhan-kebutuhan itu.
Peradaban materialistic dunia barat
memperlihatkan bagaimana cara memperoleh kesenangan kepuasan dan membuat
bermacam-macam dengan banyak kebutuhan, kesejahteraan seseorang diukur
berdasarkan bermacam-macam sifat kebutuhan yang diusahakannya untuk dapat
terpenuhi dan tercapai dengan upaya khusus.[8]
Dengan kemajuan zaman seperti sekarang ini, tingkat
hidup yang mengandung arti meluasnya kebutuhan-kebutuhan yang menambah perasaan
ketidakpuasan dan kekecewaan akan hal-hal yang sebagaimana adanya, sehingga
nafsu untuk mencapai memperolah konsumsi dengan tingkat yang lebih tinggipun
bertambah. Islam tidak mengakui sifat materilistik dalam konsumsi dalam
masyarakat peradaban modern. Oleh karena itu, bagi seorang muslim harus
rasional dalam berkonsumsi terhadap segala yang diciptakan dan dianugerahkan
Allah Swt kepada manusia. Sehingga konsumen muslim dalam membelanjakan atau
mengkonsumsi barang-barang atau jasa berpihan kepada yang tidak
berlebih-lebihan dan tidak pula kikir atau pelit.
2.
Rumusan Masalah
a.
Apa
yang dimaksud dengan rasionalitas ekonomi dalam berkonsumsi?
b.
Bagaimana
rasionalitas Islam dalam berkomsumsi?
3.
Tujuan Penelitian
a.
Untuk
mengetahui rasionalitas ekonomo dalam komsumsi
b.
Untuk
mengetahui rasionalitas Islam dalam konsumsi
4.
Kajian Literatur
Setiap manusia berperilaku untuk memenuhi keinginannya adalah
sebagai konsumen (Smith, 1776). Makna konsumen akan berbeda dalam doktrin
ekonomi yang berbeda. Dalam Ekonomi konvensional mendefinisikan konsumen adalah
sebagai kepuasan maksimum (maximum utilities) atas kebutuhan material,
sedangkan norma dan nilai religious tidak hadir disini (Friedman, 1979).
Perilaku dari konsumen konvensional bervariasi karena budaya dan karakter
diberbagai bidang kehidupan (Weber, 1958). Kepentingan pribadi (self interest)
dan Rasionalisme ekonomi adalah cara menentukan konsumsi dan nilai religius
dipertimbangkan disini (Quiggin, 1997). Sebaliknya, ekonomi Islam menggabungkan
baik positif dan normatif pada pemandangannya.
Yaitu prinsip dan mendefinisikan konsumen sebagai kepuasan maksimum
dalam hal materi serta kebutuhan dan kebutuhan spiritual, di mana, norma dan
nilai religius adalah faktor kuat (Chapra, 1995). Rasionalisme ekonomi Islam
meliputi agama, sosial dan agama nilai budaya untuk mengatur konsumsi (Ahmad,
1992). Mannan (1984) dalam bukunya menyerukan kehadiran Konsumen sebagai orang
islam. Selain faktor nilai netral (Seperti disposable income, wealth), nilai
yang diisikan adalah faktor (seperti kepercayaan, agama) juga penting untuk
menentukan keinginan dan tuntutan konsumen islami (Kahf, 1980, 1996). Hasan
(1985, 2005) dalam kritikannya terhadap kerangka konsumsi Fahim khan (1984,
1995) dan diskusikan kemudian teori konsumen Islam berhasil dalam memodifikasi
konsep kelangkaan konvensional; antara keinginan, kebutuhan, permintaan,
utilitas, dan kepuasan, untuk memenuhi norma dan persyaratan Islam Zarqa (1992)
menyebutkan adalah sebagai imbalan atau hukuman pada kehidupan akhirat adalah
sebagai perbedaan utama antara konsumen Islam dan konvensional. Bahkan dalam Konsumen
Islam harus melepaskan konsumsi beberapa konsumen barang dan jasa yang
berbahaya bagi masyarakat (Siddiqi, 1988, 2001). Makanya, model konsumen Islami
memastikan keadilan sosial dan ekonomi (Haider Naqvi, 1997). Selain itu, khan
(2013) menjelaskan bahwa, kerangka kerja teori perilaku konsumen konvensional
tidak cukup untuk menjelaskan semua aspek perilaku konsumen, sehingga
teori-teori Islam paling penting disini.
Rasionalisme Ekonomi Islam telah dirancang dengan beberapa asumsi.
Seorang konsumen yang dapat memuaskan dirinya dengan asumsi akan dianggap
sebagai konsumen Islam. Lebih tepatnya, konsumen Islam mengacu pada perilaku
konsumen yang tidak bertentangan dengan prinsip-prinsip Islam (Hamid (2009)).
Asumsi utamanya adalah sebagai berikut:[9]
a.
Sebuah
perilaku konsumen Islam didasarkan pada Rasionalisme ekonomi dan ketakutan akan
Allah, Pencipta dan Tuhan Yang Maha Esa. Sebuah desain konsumen dengan pola
konsumsinya untuk menyenangkan hati Allah Yang Maha Kuasa. Ini adalah masalah
rasa syukur; ini juga adalah merupakan ibadah (‘Ibadah).
b.
Konsumen
Islam sangat percaya pada Syariah Islam .Syariah adalah hukum ilahi yang
diwahyukan Qur'an dan Sunnah. Al-Qur'an adalah kitab dari Allah mengungkapkan
kepada Nabi Muhammad SAW dan Sunnah digunakan sebagai penjelas. Hadist
adalah adalah ucapan, tindakan,
kebiasaan dan kejadian Nabi Muhammad (SAW).
c.
Konsumen
dianggap sebagai ekonomi dan moral Utilitas maksimum. Dia menentukan konsumsi
miliknya dalam hal prinsip moral dan etis. Etika dapat didefinisikan sebagai
moral Prinsip yang membedakan antara benar Dan salah dan antara baik dan buruk
(Beekun, 1997).
d.
Dia
bisa mengendalikan keinginan dan permintaannya.
e.
Utility
atau Satisfaction berasal dari duniawi (kehidupan sebelum kematian) dan Surgawi
(hidup setelah kematian) konsumsi.
f.
Dia
hanya mengkonsumsi berguna sekaligus menghindari bahaya dalam barang dan jasa,
untuk dirinya sendiri dan untuk keseluruhan masyarakat. Apalagi menjadi
kooperatif dan bertanggung jawab sosial, yang selalu memperhatikan kekurangan
konsumen lain di masyarakat.
g.
Menghabiskan
di moderasi tidak sebagai kikir atau tidak boros, baik untuk di sini (duniawi)
dan Akhirat (surgawi) hidup. Sadaqah (Amal atau Sumbangan) dan zakat adalah
instrumen Islam untuk pengeluaran. Zakat adalah kekayaan Islam wajib dan pajak
untuk mendistribusikannya di antara orang miskin dan yang membutuhkan Ini
adalah pilar ketiga Islam.
h.
Ketat
pada kehalalan dan keharaman masuk
produk-produk konsumsi. Halal berarti diperbolehkan dan Hal atau kegiatan yang
sah yang diizinkan oleh Syariah Haram berarti hal-hal yang melanggar hukum atau
kegiatan yang dilarang oleh Syariah tidak menimbun kekayaannyadan lebih suka memimpin yang sederhana dan
moderat dalam kehidupan.
5.
Metode penelitian
Makalah ini menggunakan analisis dekskriptif pada “ Rasionalitas
Islam dalam Konsumsi” menggunakan Al-Qur’an dan hadist, artikel, jurnal dan
buku-buku referensi. Dan sebagai tambahan dari internet dan lain-lain.
B.
PEMBAHASAN
1.
Rasionalitas Dalam Perilaku Ekonomi
Pemahaman tentang rasionalitas ekonomi tidak bisa dilepaskan begitu
saja dari pengertian ilmu ekonomi itu sendiri. Ilmu ekonomi didefinisikan
secara beragam, paling populer diantaranya adalah “ilmu yang mempelajari segala
aktivitas yang berkaitan dengan produksi dan
distribusi di antara orang-orang”. Definisi ini dianggap masih kurang
representatif sehingga para ahli ekonomi neo-klasik, seperti Lionel Robbins,
mengajukan pengertian lain bahwa inti kegiatan ekonomi adalah aspek “pilihan
dalam penggunaan sumberdaya”. Dalam pemilihan ini, lanjutnya, manusia menjumpai
masalah kelangkaan (scarcity). Dengan demikian, sasaran ilmu ekonomi
adalah bagaimana mengatasi kelangkaan itu. Dari situ muncul definisi ilmu
ekonomi yang dipegang hingga kini, yaitu “sebuah kajian tentang prilaku manusia
sebagai hubungan antara tujuan-tujuan dan alat-alat pemuas yang terbatas, yang
mengundang pilihan dalam penggunaannya”.[10]
Ada beberapa penekanan dari pengertian tentang, prilaku manusia,
pilihan dan alat pemuas yang terbatas. Unsur “prilaku manusia” muncul sebagai
bagian dari aplikasi naluriah manusia untuk mencari kesejahteraan hidup.
Sehingga itu harus diwujudkan melalui aktivitas. Prilaku ini tentu merupakan
cerminan dari apa yang ada dalam diri pelakunya, yang berupa kepercayaan,
kecenderungan berpikir, tata nilai, pola pikir dan juga ideologi. Term
“pilihan” merupakan hal yang wajar pula, sebab manusia punya rasa, idealisme,
dan kecenderungan-kecenderungan serta ukuran-ukuran tertentu yang menjadi
standar dalam membentuk hidupnya. Pilihan ini juga tergantung pada yang ada
dibalik pelakunya. Sedangkan term “alat pemuas yang terbatas” atau kelangkaan
sumberdaya, mengandung makna ambigu, bisa ya bisa tidak. Relativity is an
attribute of scarcity, menurut Zubair Hasan.[11] Dalam
konteks ini bahwa tujuan manusia mencari kekayaan, penilaian tersebut dapat
menjadi spirit untuk mendorong manusia mencapai kekayaan dengan secepatnya.
Pendek kata term terakhir ini, mengimplikasikan adanya target tertentu yang
harus dikejar pelaku ekonomi.
Dalam bangunan terminologi, konsep rasionalitas ekonomi itu muncul
dan setiap orang yang dapat mencari kesejahteraan hidupnya (kekayaan material)
dengan cara melakukan pilihan-pilihan yang tepat bagi dirinya, dengan prinsip
jangan sampai dia tidak kebagian mendapatkan pilihan itu karena terbatasnya
ketersediaan, maka orang tersebut dianggap melakukan tindakan rasional. Dalam
lingkup yang lebih khusus, seorang produsen dianggap rasional jika ia dapat
mencapai tujuan usahanya (keuntungan) dengan cara melakukan beberapa pilihan
strategi, meminimalisasi kapital dan mendapatkan keuntungan maksimum. Demikian
juga konsumen, ia dianggap rasional, jika ia dapat memenuhi atau melampaui
batas maksimum kepuasannya dari alat-alat pemuas yang terbatas. Oleh karena
itu, rasionalitas ekonomi dapat dipahami sebagai tindakan atas dasar
kepentingan pribadi (self-interest)
untuk mencapai kepuasannya yang bersifat material lantaran kawatir tidak
mendapatkan kepuasan itu karena terbatasnya alat atau sumber pemuas.
Maka dari situ, konsep rasionalitas ini menjadi fondasi penting
bagi suatu standar prilaku ekonomi Konsep ini menjadi prinsip pembangun suatu
ilmu ekonomi. Prinsip ini dijadikan parameter suatu tindakan tepat atau tidak
tepat dalam kacamata ekonomi. Apabila suatu tindakan ekonomi sesuai dengan
parameter tersebut berarti tindakan itu benar, demikian juga sebaliknya.
2.
Rasionalitas dalam Perspektif Islam
Ekonomi Islam menurut Chapra adalah branch of knowledge yang
membantu manusia untuk mencapai kesejahteraan manusia melalui alokasi dan
distribusi dari kelangkaan sumber daya yang mengikuti maqashid syariah. Ekonomi
Islam sejatinya dapat menjadi kekuatan baru dalam mewarnai kehidupan manusia.
Kombinasi dimensi spiritual yang meneduhkan serta rasionalitas yang meyakinkan
sangat berpotensi untuk memperbaiki kondisi kehidupan manusia. Dengan itu,
kesejahteraan dan kebahagian manusia tidak semata berlaku secara individual
tetapi juga yang bersifat sosial.[12]
Kemudian hal yang menjadi dasar hukum rasionalitas dalam Islam
adalah rasionalitas dalam perilaku pembelian konsumen muslim harus berdasarkan
aturan Islam,[13]
sebagaimana dalam Al-Qur’an sebagai berikut:[14]
a.
Konsumen
muslim dinyatakan rasional jika pembelajaran yang dilakukan sesuai dengan
kebutuan dan kemampuan. Sesuai dengan QS. Al-Israa: 29
وَلَاتَجْعَلْ يَدَكَ مَغْلُولَةً إِلٰى
عُنُقِكَ وَلاَ تَبْسُطْهَا كُلَّ الْبَسْطِ فَتَقْعُدَ مَلُو مًامَّحْسُوْرًا
Dan janganlah kamu jadikan tanganmu terbelenggu pada lehermu dan
janganlah kamu terlalu mengulurkannya karena itu kami menjadi tercela dan
menyesal.”
b.
Seorang
konsumen muslim dapat dibilang rasional jika ia membelanjakan tidak hanya untuk
barang-barang yang bersifat duniawi semata, melainkan turut pula untuk
keperluan dijalan Allah SWT (fi sabilillah) sesuai dalam QS. al-Israa: 26
وَءَاتِ ذَا الْقُرْ بٰى حَقَّةُ, وَالْمِسْكِيْنَ
وَابْنَ السَّبِيلِ وَلاَ تُبَذِّ رْ تَبْذِ يْرًا
Dan berikanlah
kepada keluarga-keluarga yang dekat akan haknya, kepada orang miskin dan orang yang
dalam perjalanan; dan janganlah kamu menghamburkan (hartamu) secara boros.”
c.
Seorang
konsumen muslim yang rasional akan mempunyai tingkat konsumsi yang lebih kecil
dari konsumen non-muslim dikarenakan konsumsi hanya diperbolehkan untuk
barang-barang yang halal. Hal ini sesuai dengan QS. Al-Baqarah: 173
إِنَّمَا حَرَّمَ عَلَيْكُمُ الْمَيْتَةَ وَالدَّمَ
وَلَحْمَ الْخِنْزِيرِ وَمَا أُهِلَّ بِهِ لِغَيْرِ اللَّهِ
فَمَنِ اضْطُرَّ غَيْرَ بَاغٍ وَلا عَادٍ فَلا إِثْمَ
عَلَيْهِ إِنَّ اللَّهَ غَفُورٌ رَحِيمٌ (١٧٣)
“Sesungguhnya
Allah hanya mengharamkan bagimu bangkai, darah, daging babi, dan binatang yang
(ketika di sembelih) disebut (nama) selain Allah. Tetapi barang siapa dalam
keadaan terpaksa sedang ia tidak menginginkanya dan tidak melampaui batas, maka
tidak ada dosa baginya. Sesungguhnya Allah maha pengampun lagi maha penyayang.
Dalam ketentuannya, jelas Islam memiliki keunikan tersendiri dalam
hal syariah. Berbeda dengan sitem lainnya, Islam mengajarkan pola konsumsi yang
moderat, tidak berlebihan, tidak keterlaluan, disebutkan dalam Al-Qur’an dengan
tadzir dan kemuadziran.[15]
Sebagai Konsumen muslim tentunya ajaran Islam tidak menganjurkan
pemenuhan keinginan yang terbatas dalam bidang konsumsi. Islam menyarankan agar
manusia dapat bertindak secara moderat dan sede rhana.
Konsumsi sendiri pada hakikatnya adalah memberlanjakan sesuatu
untuk memenuhi kebutuhan. Dalam pembelanjaannya seorang konsumen muslim dapat
dibagi dalam dua jenis: pertama yaitu pembelanjaan dalam rangka untuk memenuhi
kebutuhan lahiriayah (duniawi) dan keluarga. Kedua untuk memenuhi kebutuhan
bathiniyah (akhirat).
Demikian norma-norma ekonomi yang diajarkan Islam dalam rincian
sebagai berikut:
a.
Etika
Konsumsi dalam Islam
Islam adalah
agama yang sarat dengan etika, dalam Naqvi (1985)[16],
mengungkapkan bahwa etika dalam Islam dapat dikelompokkan enam aksioma pokok,
yaitu: tauhid, keadilan, kebebasan berkehendak dan pertanggungjawaban, halal,
dan sederhana.
b.
Nilai
dan Moral Pada Konsumen Muslim
Yusuf Qardhawi mengatakan bahwa
nilai dan moral pada konsumen muslim dijabarkan menjadi tiga pilar utama:
1.
Pembelanjaan
pada hal-hal baik
2.
Memerangi
kemegahan, pemborosan dan kemubadziran
3.
Penerapan
undang-undang dengan penyuluhan dan pengarahan, hal ini tersirat dalam surat
Al-A’raf ayat 32;
قُلْ مَنْ حَرَّمَ زِينَةَ اللَّهِ الَّتِي
أَخْرَجَ لِعِبَادِهِ وَالطَّيِّبَاتِ مِنَ الرِّزْقِ
قُلْ هِيَ لِلَّذِينَ آمَنُوا فِي الْحَيَاةِ
الدُّنْيَا خَالِصَةً يَوْمَ الْقِيَامَةِ
كَذَلِكَ نُفَصِّلُ الآيَاتِ لِقَوْمٍ
يَعْلَمُونَ (٣٢)
Katakanlah:
"Siapakah yang mengharamkan perhiasan dari Allah yang telah
dikeluarkan-Nya untuk hamba-hamba-Nya dan (siapa pulakah yang mengharamkan)
rezki yang baik?" Katakanlah: "Semuanya itu (disediakan) bagi
orang-orang yang beriman dalam kehidupan dunia, khusus (untuk mereka saja) di
hari kiamat.[17]"
Demikianlah Kami menjelaskan ayat-ayat itu bagi orang-orang yang mengetahui.
c.
Prioritas
Konsumsi
Seorang dalam
konsumsinya akan selalu memperhatikan ajaran Islam yang berkaitan dengan
aspek-aspek pencapaian kebahagiaan dunia dan akhirat, setiap muslim akan selalu
berhati-hati dalam konsumsinya, baik yang dikonsumsi merupakan barang halal dan
baik bersih menurut ajaran Islam dan konsumen muslim tidak akan melakukan
permintaan terhadapa barang yang ada dengan sama banyak sehingga pendapatannya
habis. Akan tetapi manusia mempuanyai kebutuhan jangka pendek (dunia) dan
kebituhan jangka panjang (akhirat) yang harus dipenuhi.
3.
Konsep dan Aplikasi Rasionalitas Konsumen Muslim
Konsep
rasionalitas dalam buku ekonomi konvensional, berbagai persyaratan yang
pendapatnya perlu dilakukan perubahan dalam ekonomi Islam agar dapat
diaplikasikan oleh konsumen muslim, yaitu:[18]
pada perluasan konsep rasionalitas dengan pendapat tentang self-interest
rationality yang diperkenalkan oleh Edgeword ialah konsep yang lebih baik
dalam artian kita berasumsi bahwa individu mengejar banyak tujuan, bukan hanya
memperbanyak kekayaan secara moneter. Kedua pendapat bahwa teori modern tentang
keputusan rasional tidak disepakati secara menyeluruh. Dalam nilai Islam
terdapat dua cara untuk mendistribusikan pendapat yaitu zakat dan infak.
Perbedaan dengan sistem ekonomi konvrnsional (umum), terkait dengan
perilaku konsumen rasional dalam ekonomi konvensional, perilaku konsumen muslim
rasional mencapai maksimum dalam mengkonsumsi sejumlah barang atau
membelanjakan pendapatannya untuk amalan shaleh sesuai perintah Allah
Swt.berupa zakat, infak, dan shadaqah serta pengeluaran untuk saudaranya yang
membutuhkan.
Pengeluaran ZIS dan untuk saudaranya inilah yang diyakini akan
memperolah pahala, imbalan, dan berkah yang lebih besar.[19]
Dan kemudian memperroleh pahala dunia akhirat. Dengan pertimbangan perilaku dan
keseimbangan konsumen muslim dapat dirumuskan secara matematis fungsi tujuan
muslim rasionalis sebagai berikut:[20]
U=a+f (Xi,Yj,Zks)
Di mana:
U = Total utilitas yang
dicapai konsumen kerena mengkonsumsi barang Xi dan barang tahan lama Zj.
Xi = Jumlah barang ke-I yang
dikonsumsi pada periode tertentu.
Yj = Jumlah barang ke-j yang
direlakan untuk dikonsumsi saudaranya yang membutuhkan.
Zk = Jumlah barang tahan lama
ke-k yang dikonsumsi pada periode tertentu.
a = Jumlah
pengeluaran untuk ZIS dan utilitas yang diterima sebagai akibat dari
dikeluarkannya zakat sebagai A.
Pendapatan konsumen muslim tidak dibelanjakan sesumanya tetapi
sebagian diperuntukkan pengeluaran dalam bentuk ZIS (zakat, infak dan
shadaqah). Kemudaian Islam mengajarkan agar pengeluaran dalam membelanjakan
hartanya disesuaikan dengan kebutuhan atau keperluan yang memang diperlukan
menurut prioritasnya dan dilarang untuk dihambur-hamburkan dengan secara bebas
karena merupakan pemborosan dan kemubadziran.
4.
Rasionalitas dan Tujuan Konsumsi Perspektif Islam
Dalam teori
konsumen adalah kepuasan merupakan tujuan dari konsumsi dalam mengkonsumsi
barang atau jasa dan merupakan teori pokok dalam analisis mikro ekonomi.
Kepuasan merupakan bagian dari teori perilaku konsumen. Seorang konsumen
mengkonsumsi barang dan jasa akan dianggap memperoleh kepuasan dalam kerangka
rasionalitas. Sehingga manusia dianggap rasional adalah yang beruasaha mencapai
kepuasan maksimum (maximum utility) dalam kegiatan konsumsinya.[21]
Sedangkan
tujuan konsumsi dalam Islam adalah memperoleh mashlahah terbesar. Sehingga ia
dapat mencapai kebahagiaan di dunia dan akhirat.[22]
Kaidah konsumsi dalam Islam, telah tegas dinyatakan dalam Al-Qura’an dan Hadits
Rasulullah, dijelaskan bahwa seorang muslim akan mencapai tingkat konsumsi yang
baik atau mencapai kepuasan maksimal dalam konsumsi, apabila konsumsi dilakukan
sesuai dengan ajaran Islam. Sebagaimana ayat-ayat Al-Qur’an yang telah
disebutkan dipembahasan sebelumnya. Dalam hadits dicontohkan sebagai berikut; Makanlah,
minumlah, berpakaianlah, dan bersedekahlahlah tanpa kecongkakan dan
berlebih-lebihan karena sesungguhnya Alah suka melihat nikmat-Nya (HR. Ahmad,
Nasai Ibnu Majah, Al-hakim, dishahihkan jami’ As-Shaghir.)
5.
Kesimpulan dan Saran
Dalam
mengalokasikan kebutuhan manusia yang tidak terbatas, dimana berhadapan dengan
sumber daya yang terbatas, setiap individu menggunakan prinsip rasionalitas
dalam mencapai kepuasan yang maksimum. Rasionalitas merupakan pengembangan dari
asumsi bahwa manusia ialah homo economicus. Hal ini berarti bahwa setiap
individu paling mengetahui kepuasan yang maksimum bagi dirinya. Akan tetapi
dalam perpektif Islam mengajarkan bahwa rasionalitas konsumsi bukan hanya untuk
tujuan kepuasan lahiriah (duniawi) saja akan tetapi sebagaimana disebutkan
adalah untuk mashlah jangka panjang dengan membelanjakan untuk kepentingan
manusia setelah mati yaitu akhirat, yang diyakini seorang muslim sebagi hari
penghitungan pahala, amal baik dan buruk dan hari pembalasan. Maka manusia
bukan hanya sebagai pelaku ekonomi saja akan tetapi disempurnakan dalam diri
manusia lahir batinnya dengan nilai-nilai Islam (Islamic man/ homo
Islamicus).
Rasionalitas
ajaran Islam dalam Ekonomi dicerminkan dalam perilaku konsumen muslim dalam
membelanjakan pendapatannya harus berdasarkan aturan Islam. Konsep rasionalitas
dalam buku ekonomi konvensional, berbagai persyaratan yang pendapatnya perlu
dilakukan perubahan dalam ekonomi Islam sehingga dapat diaplikasikan oleh
konsumen muslim.
Dalam ajaran Islam
tidak semua barang dan jasa dapat dikonsumsi, bagi seorang konsumen muslim
hanya diperbolehkan mengkonsumsi barang dan jara yang halal. Dengan dibatasi
dengan keperluan dan berdifat sederhana. Sebagaimana ajaran Rasulullah tentang
mengkonsumsi makanan khususnya, pola konsumsi seorang muslim hendaknya
sepertiga untuk makanan sepertiga untuk minum dan sepertiga untuk yang lainnya.
Maka, sebagai
tujuan dari konsumen muslim yang rasional bahwa seorang muslim melakukan
konsumsi pengeluaran dari pendapatannya harus mempertimbangkan perbuatan israf
dan tabdzir. Mashlah adalah tujuan dari suatu kegiatan ekonomi bagi
seorang muslim khususnya dalam konsmsi. Sehingga bukan tujuan kepuasan duniawi
saja akan tetapi juga tujuan akhirat yang dalam waktu tertentu dan barang tahan
lama yang dimiliki dengan pengeluaran zakat, infaq serta shadaqah sebagai bekal
di kehidupan akhirat.
6.
Saran
Keunikan dan
yang menjadi pembeda konsep ekonomi Islam adalah terletak pada orientasinya yang
tidak hanya pada pemenuhan kehidupan dunia akan tetapi sebagi bekal kehidupan akhirat.
Oleh karena itu, keseimbangan antara aktivitas ibadah dengan pemenuhan hidup
hendaknya harus seimbang dan makalah yang dibuat ini dapat memberikan manfaat
bagi yang membacanya baik akademis maupun praktis.
Saya akui masih
banyak kekurangan dan jauh dari kesempurnaan semoga peneliti selanjutnya dapat
melengkapi dan menyempurnakan.
7.
Daftar Pustaka
Karim,Adiwarman, Ekonomi Mikro Islami,
(Jakarta: IIT-Indonesia,2002), hlm. 31.
Antonio, M. Syafi’i. Bank Syariah
dari Teorika Praktek. ( Jakarta:
Gema Insani Press, 2001) h. 106.
Arif, Suyoto, Konsumen
Rasional Dalam Perspektif Islam. Jurnal Ekonomi Islam. Vol. 2
No. 3 2014 ISID Gontor.
Hossain,Basharat, Economic
Rationalism and Comsumption: Islamic Perspective. International
Journal Of Economics, Fiinance and Management> Vol.3 No.6, Oct, 2014. Page,
273
Rahardjo,Dawam, Islam
dan Transformasi Sosial-Ekonomi, Yogyakarta: Lembaga Studi Agama dan
Filsafat (LSAF), cetakan pertama, 1999, 57.
Departemen Agama RI, Al-Hidayah: Al-Qur’an Tafsir Per
Kata Tajwid Kode Angka, (Tangerang: Kalim, 2011)
Gilarso, T. Pengantar Ekonomi
bagian Mikro. Jilid 1 (Yogyakarta: Kanisius, 1993) h.77
Kahf, Monzer, The Demand Side
or Consumer Behavior: an Islamic Perspective,http://monzer.kahf.com/papers/english/demand_side_or_consumer_behavior.pdf
Mannan, Teori dan Praktek Ekonomi Islam, (Yogyakarta:
Dana Bakti Wakaf, 1995). H.29
Naqvi, Syed Nawab
Haidar, Etika dan Ilmu Ekonomi, Suatu Sitesis Islami. (Bandung:
Mizan, 1985).h. 78
Syed Omar Syed Agil, Rationality in Economic Theory,
dalam Sayid Tahir et. al..ed. Reading in Microeconomics: an Islamic
Perspective (Selangor: Longman Malaysia, 1992), hlm. 44.
Umer Chapra dalam Adiwarman A.
Karim, Ilmu Ekonomi Islam dari buku; The Future of Economic; An Islamic
Perspective, Landscape Baru Perekonomian Masa Depan, Jakarta, SEBI,
2001, hlm. 397.
Qardhawi, Yusuf, Peran Nilai
dan Moral Dalam Ekonomi Islam. (Jakarta: Rabbani Press,
1993).h.111
Hasan,Zubair, Introduction to Microeconomics,
An Islamic Perspective, Malaysia: Prentice Hall, Cet. I, 2006,
[1] Antonio, M.
Syafi’i. Bank Syariah dari Teorika Praktek. ( Jakarta: Gema Insani Press, 2001) h. 106.
[2] Gilarso, T. Pengantar
Ekonomi bagian Mikro. Jilid 1 (Yogyakarta: Kanisius, 1993) h.77
[3] QS: 7:31
[4] QS: 46:15
[5] QS: 18:46
[6] QS: 17:27
[7] QS: 7: 31
[8] Yusuf
Qardhawi, Peran Nilai dan Moral Dalam Ekonomi Islam. (Jakarta: Rabbani
Press, 1993).h.111
[9] Basharat
Hossain, Economic Rationalism and
Comsumption: Islamic Perspective. International Journal Of Economics,
Fiinance and Management> Vol.3 No.6, Oct, 2014. Page, 273
[10] Dawan Rahardjo, Islam dan Transformasi
Sosial-Ekonomi, Yogyakarta: Lembaga Studi Agama dan Filsafat (LSAF),
cetakan pertama, 1999, 5-7.
[11] Zubair Hasan, Introduction to
Microeconomics, An Islamic Perspective, Malaysia: Prentice Hall, Cet. I,
2006,
[12] Umer Chapra
dalam Adiwarman A. Karim, Ilmu Ekonomi Islam dari buku; The Future of
Economic; An Islamic Perspective, Landscape Baru Perekonomian Masa Depan,
Jakarta, SEBI, 2001, hlm. 397.
[13] Syed Omar Syed Agil, Rationality
in Economic Theory, dalam Sayid Tahir et. al..ed. Reading in
Microeconomics: an Islamic Perspective (Selangor: Longman Malaysia,
1992), hlm. 44.
[14] Departemen Agama RI, Al-Hidayah:
Al-Qur’an Tafsir Per Kata Tajwid Kode Angka, (Tangerang: Kalim, 2011)
[15] Mannan, Teori dan Praktek Ekonomi Islam, (Yogyakarta:
Dana Bakti Wakaf, 1995). H.29
[16] Naqvi, Syed
Nawab Haidar, Etika dan Ilmu Ekonomi, Suatu Sitesis Islami. (Bandung:
Mizan, 1985).h. 78
[17]
Maksudnya: perhiasan-perhiasan dari Allah dan makanan yang baik itu dapat
dinikmati di dunia ini oleh orang-orang yang beriman dan orang-orang yang tidak
beriman, sedang di akhirat nanti adalah semata-mata untuk orang-orang yang
beriman saja.
[19] QS: 2: 261
[20] Arif, Suyoto, Konsumen
Rasional Dalam Perspektif Islam. Jurnal Ekonomi Islam. Vol. 2 No. 3 2014
ISID Gontor.
[21] Kahf, Monzer, The Demand Side or
Consumer Behavior: an Islamic Perspective, http://monzer.kahf.com/papers/english/demand_side_or_consumer_behavior.pdf
[22] QS: 28:77
Tidak ada komentar:
Posting Komentar