Sabtu, 21 Desember 2019

STRATEGI OPTIMALISASI WAKAF DI MALAYSIA DAN INDONESIA


BAB I
PENDAHULUAN
A.    Latar Belakang Masalah

Krisis ekonomi yang dialami bangsa Indonesia, sejak Juli 1997, merambat ke berbagai aspek kehidupan berbangsa dan bernegara. Melemahnya kegiatan perekonomian, sebagai akibat depresiasi nilai tukar yang sangat tajam dan inflasi yang tinggi, tidak hanya menyebabkan merosotnya tingkat pertumbuhan ekonomi, tetapi juga memaksa sektor ekonomi lainnya menurunkan atau bahkan menghentikan usahanya. Keadaan ini, mengakibatkan bertambahnya pengangguran yang pada gilirannya memicu berbagai masalah sosial seperti meningkatnya angka kemiskinan dan kriminalitas yang mengancam stabilitas politik. Kemudian sampai akhir tahun 2007 keadaan semakin parah dengan tingkat kemiskinan di Indonesia, berdasarkan data BPS tahun 2007 telah berkurang menjadi 16,5%, turun drastis dibandingkan dengan awal tahun 1998 yang mencapai 24,2%. Data yang dibuat oleh BPS, ternyata tak lebih hanya dalam angka semata, tidak sesuai dengan fakta karena kenyataanya tingkat kemiskinan di Indonesia masih tinggi yakni 49,5% dengan merujuk pada standar Bank Dunia. Keadaan ini disebabkan karena sektor ril tidak bergerak, PHK (Pemutusan Hubungan Kerja) terus terjadi karena alasan keterpurukan ekonomi; antara lapangan kerja yang tersedia dengan jumlah tenaga kerja tidak seimbang, Akibatnya, sejumlah persoalan terutama pengangguran dan kemiskinan masih menjadi pekerjaan rumah bagi pemerintah.[1]

Bercemin pada kondisi perekonomian yang sangat memprihatinkan Islam sebetulnya telah menampakkan solusinya. Karena Islam memiliki konsep yang solutif di antaranya dengan menjadikan zakat dan wakaf sebagai bagian dari sumber pendapatan negara. Islam memiliki konsep pemberdayaaan ekonomi umat, yaitu dengan memaksimalkan peran lembaga pemberdayaan ekonomi umat seperti wakaf dan zakat, kalau saja wakaf dikelola secara baik, dapat meningkatkan taraf hidup masayarakat.

Selama ini, peruntukan wakaf di Indonesia kurang mengarah pada pemberdayaan ekonomi umat, cenderung terbatas hanya untuk kepentingan kegiatan ibadah, pendidikan, dan pemakaman semata, kurang mengarah pada pengelolaan wakaf produktif. Beban sosial ekonomi yang dihadapi bangsa saat ini, seperti tingginya tingkat kemiskinan dapat dipecahkan secara mendasar dan menyeluruh melalui pengelolaan wakaf dalam ruang lingkup yang lebih luas yakni pengelolaan wakaf produktif.

Indonesia dikenal sebagai salah satu negara dengan jumlah penduduk muslim terbesar di dunia. Jumlahnya mencapai 88 persen dari seluruh penduduk Indonesia yang berkisar sekitar 235 juta jiwa. Jumlah penduduk muslim ini memiliki potensi besar dalam pemberdayaan ekonomi masyarakat dan pengembangan perekonomian nasional. Salah satu contoh instrument yang dapat dimanfaatkan adalah wakaf. Berwakaf bagi seorang muslim merupakan realisasi ibadah kepada Allah melalui harta benda yang dimilikinya, yaitu dengan melepas benda yang dimilikinya untuk kepentingan umum.

Merujuk pada data Departemen Agama (Depag) RI, jumlah tanah wakaf di Indonesia mencapai 2.686.536.656,68 meter persegi atau sekitar 268.653,67 hektar (ha) yang tersebar di 366.595 lokasi di seluruh Indonesia. Jumlah tanah wakaf yang besar ini merupakan harta wakaf terbesar di dunia.[2]  
Sedangakan pada 2014 dirujuk pada jurnal Al Awqaf tabel dibwah ini menggambarkan presentase jumlah penduduk muslim Indonesia dilihat secara global hanya saja Malaysia tidak termasuk dalam data ini. Indonesia adalah Negara dengan mayoritas penduduk beragama Islam terbesar nomor satu di dunia. Jumlah ini mencapai 209.120.000 jiwa dan setara dengan 13,% populasi muslim dunia Dengan populasi muslim sebesar ini, maka sejatinya perekonomian dengan berlandaskan syariat Islam sangat dimungkinkan dan akan dapat berkembang dengan baik.[3]

Dari sana peneliti menyimpulkan bahwa secara luas potensi perwakafan di negara ini sangat luas guna dan manfaatnya terhadap kemajuan ekonomi umat Islam. Hanya saja peneliti berasumsi bahwa dari sekian banyak potensi secara pemanfatan dan pendayaagunaan potensi tersebut di Indonesia masih belum optimal. Karena secara pengelolaan wakaf masih dikelola secara tradisional melalui lembaga atau yayasan dan peran peran pemerintah masih sebagai legalitor ikrar penyataan wakaf.
Dalam hal ini peneliti ingin mengkomparasikan bagaimana optimalisasi pembangunan ekonomi melalui wakaf di Indonesia dan Malaysia. Dari sumber data menyebutkan Indonesia masih kalah jauh dengan Malaysia dalam hal ini. Malaysia memiliki Johor Corporation yang mengelola harta wakaf untuk diinvestasikan di berbagai sektor ekonomi. Singapura memiliki WAREES (Waqaf Real Estate Singapore) yang mengelola semua aset wakaf untuk kepentingan pemberdayaan masyarakat. Mengapa potensi wakaf di Indonesia belum produktif? Disebutkan masalah ini terletak ditangan Nazhir, selaku pemegang amanah dari Waqif (orang yang berwakaf) untuk mengelola dan mengembangkan harta wakaf. Artinya, pengelolaan harta wakaf belum dilakukan secara professional.[4] Dari hal tersebut peneliti berusaha ingin menampilkan dan mengkaji potensi wakaf sebagai instrument modal pembangunan ekonomi bagi umat Islam khususnya dan negara Indonesia dibandingkan dengan praktik di Malaysia.   
Karena wakaf adalah instrumen ekonomi Islam yang unik yang mendasarkan fungsinya pada unsur kebajikan (birr), kebaikan (ihsan) dan persaudaraan (ukhuwah).  Sebagaiman al-qur’an menyampaikan dalam Al-imran:92.

لَنْ تَنَالُوا الْبِرَّ حَتَّى تُنْفِقُوا مِمَّا تُحِبُّونَ وَمَا تُنْفِقُوا مِنْ شَيْءٍ فَإِنَّ اللَّهَ بِهِ عَلِيمٌ (٩٢)
“kamu sekali-kali tidak sampai kepada kebajikan (yang sempurna), sebelum kamu menafkahkan sehahagian harta yang kamu cintai. dan apa saja yang kamu nafkahkan Maka Sesungguhnya Allah mengetahuinya.[5]

Ciri utama wakaf yang sangat membedakan dengan sektor voluntary Islam yang lain adalah ketika wakaf ditunaikan, maka terjadi pergeseran kepemilikan pribadi menuju kepemilikan Allah SWT. yang diharapkan abadi dan memberikan manfaat secara berkelanjutan.[6] Sedangkan bagi pewakaf (wakif) esensinya akan memperoleh pahala secara terus-menerus, selagi harta yang diwakafkannya itu masih memberikan manfaat kepada masyarakat umum, sepanjang itu pula ia memperoleh manfaat berupa pahala, walaupun wakif telah meninggal dunia.[7] Melalui wakaf diharapkan akan terjadi proses distribusi manfaat bagi masyarakat secara lebih luas, dari manfaat pribadi (private benefit) menuju manfaat yang besar bagi perkembangan Islam dan pembangunan ekonomi pada umat muslimin secara luas (social benefit). Hal ini akan terjadi bila wakaf dikelola dengan baik dan profesional.

Wakaf adalah instrumen modal sebagai pembangunan ekonomi. Secara umum menurut Menurut Goulet dalam Asmak Ab Rahman (2009),  terdapat tiga nilai dasar dalam pembangunan ekonomi yaitu  keperluan dasar, harga diri dan kebebasan.kebutuhan dasaryang diperlukan adalah meliputi makanan, tempat tinggal, kesihatan dan perlindungan.  Merupakan komponen yang sangat penting bagi pembangunan ialah kebutuhan dasar dimana ianya termasuk makanan, kesihatan, perlindungan dan tempat tinggal. Sekiranya keperluan-keperluan asas ini tidak dapat dipenuhi maka akan berlaku kemiskinan di kalangan rakyat.[8]  Dalam Islam, pembangunan ekonomi tidak hanya factor material dan fisik semata melainkan adalah penanaman Tauhid sebagai filosofi dasar dengan tujuan agar manusia tidak hanya sejahtera di dunia akan tetapi demi kesejahteraan akhirat.[9] Melihat hal ini peneliti tertarik untuk mengkaji lebih lanjut tentang wakaf sebagai instrument modal pembangunan ekonomi Umat khususnya dan negara umumnya, maka menyimpulkan untuk meneliti secara kualitatif dengan pendekatan kajian pustaka tau literature yaitu ANALISIS OPTILAMALISASI WAKAF SEBAGAI INSTRUMEN PEMBANGUNAN EKONOMI PERBANDINGAN DI INDONESIA DAN MALAYSIA”.

B.     Rumusan Masalah
1.      Bagaimana pencapaian Indonesia dan Malaysia dalam optimalisasi wakaf dalam pembangunan ekonomi?
2.      Bagaimana peran dan setrategi lembaga wakaf untuk optimalisasi wakaf dalam pembangunan ekonomi di Indonesia dan Malaysia?

C.    Tujuan penelitian
1.      Untuk menganalisa dan memaparkan  pencapaian Indonesia dan Malaysia dalam optimalisasi wakaf dalam pembangunan ekonomi.
2.      Untuk menganalisa dan mengetahui peran dan setrategi lembaga wakaf untuk optimalisasi wakaf dalam pembangunan ekonomi di Indonesia dan Malaysia


D.    Tinajuan Penelitian Terdahulu
Penelitian ini bukanlah satu-satunya karya tulis yang pertama membahas tentang pemberdayaan ekonomi masyarakat, akan tetapi pernah diteliti oleh penelitian-penelitian sebelumnya. Adapun penelitian sebelumnya yang berkaitan dengan masalah dalam penelitian ini di antaranya adalah:
1.      Mahsun, Hukum dan Manajerial Wakaf di Malaysia. Hasil dari jurnal penelitian ini adalah Potret pelaksanaan dan kebijakan undang-undang wakaf cukup baik dari ranah hukum positif dan normative berdasarkan madzab Syafi’i. Adapun persamanan Penelitian ini membahas tentang aspek wakaf dan tata laksana undang-undang wakaf di Malaysia. Dan perbedaan Penelitiannya membahas tentang perbandingan aspek peranan wakaf sebagai instrument pembangunan ekonomi di Indonesia dan  Malaysia.
2.      Amin Mukhtar, Potensi Wakaf Menjadi Lembaga Keuangan Publik Jurnal Asy-Syari‘ah Vol. 17 No. 1, April 2015. Hasil jurnal ilmiah ini:  Sebagaimana seharusnya wakaf dan menjadikan kesejahteraan dan kemandirian ekonomi akan tetapi  di Indonesia masih belum dikatakan optimal dibanding dengan pengelolaan wakaf di negara muslim pada era modern yang sangat beragam, baik dilihat dari sisi sejarah, regulasi, pelaksanaan, dan pengembangannya. Padahal dalam sejarahnya syariat wakaf dalam Islam sudah sejak lama di praktekkan. Persamaan penelitian Peranan wakaf sebagai instrumen pembangunan ekonomi dan indikator kesejahteraan umat. Sedangkan perbedaan Penelitian selannjutnya ini akan membahas tentang optimalisasi wakaf sebagai instrument pembangunan ekonomi perbanding di Indonesia dan Malaysia.
3.      Ahmad Suwaidi, Wakaf dan Penerapannya di Negara Muslim Economic: Jurnal Ekonomi dan Hukum Islam, Vol. 1, No. 2, 2011 Sebagaimana seharusnya wakaf dan menjadikan kesejahteraan dan kemandirian ekonomi akan tetapi  di Indonesia masih belum dikatakan optimal dibanding dengan pengelolaan wakaf di negara muslim pada era modern yang sangat beragam, baik dilihat dari sisi sejarah, regulasi, pelaksanaan, dan pengembangannya. Padahal dalam sejarahnya syariat wakaf dalam Islam sudah sejak lama di praktekkan. Sebagai persamaan adalah Peranan wakaf sebagai instrumen pembangunan ekonomi dan indikator kesejahteraan umat. Dan perbedaan Penlitian selannjutnya ini akan membahas tentang optimalisasi wakaf sebagai instrument pembangunan ekonomi perbanding di Indonesia dan Malaysia.
4.      Asksmak Ab Rahman, Peranan Wakaf Dalam Pembangunan Ekonomi Umat Islam dan Aplikasinya di Malaysia Shariah Journal, Vol. 17, No. 1 (2009) 113-152. Hasilnya adalah: Penelitian ini membincangkan konsep berkaitan wakaf, kepentingan tentang kekayaan untuk pembangunan ekonomi dan bagaimana wakaf berperanan dalam pembangunan ekonomi negara. Sebagagi persamaan adalah berkaitan dengan konsep wakaf dan aplikasinya di suatu negara. Dan perbedaanya Perbandingan kondisi perwakafan di dua Negara berpenduduk muslim teranyak antara Indonesia dan Malaysia.
5.      Abdullah Ubaid,  Analisis Hasil dan Metode Fundraising Wakaf Uang Badan Wakaf Indonesia (BWI), Jurnal BIMAS Islam, Vol. 7 No.4, 2014. ISSN.1978-9009. Hasilnya adalah; Sebagai Tujuan adalah Analisis Hasil dan Metode Fundraising Wakaf Uang Badan Wakaf Indonesia (BWI) sebagai metode penggalangan wakaf uang. Metode ini adalah sebagai tujuan untuk mempermudah masyarakat dalam penyetoran wakaf uang dan juga administrasi pencatatan wakaf. Persamaan Kajian tentang pelaksannaan wakaf uang dan wakaf produktif dan perbedaan Kajian lebih luas mencakup kegiatan pelaksanaan perwakafan dibandingkan dengan pelaksanaan wkaf di Malaysia.
6.      Abas Sambas, Perkembangan Pengelolaan Wakaf di Indonesia: Potensi dan Tantangan,  Jurnal BIMAS Islam, Vol. 7 No.4, 2014. ISSN.1978-9009. Hasil kajian; Rekonstruksi dan pemetaan potensi dalam pengembangan wakaf di Indonesia secara umum. Persamaan Kajian tentang pelaksannaan wakaf uang dan wakaf produktif, perbedaan Kajian lebih luas mencakup kegiatan pelaksanaan perwakafan dan perkembangannya dibandingkan dengan pelaksanaan wakaf di Malaysia.
7.      M. Mualim dan Abdurrahman, Menggiatkan Wakaf Uang (Tunai) Sebagai Uapaya Peningkatan kesejahteraan Masyarakat,  Jurnal BIMAS Islam, Vol. 7 No.4, 2014. ISSN.1978-9009. Hasilnya: Legalisasi bahwa wakaf berupa uang tunai tidaklah dilarang, karena sebagian ulama menganjurkannya, asalkan ia dikelola secara professional, amanah, dan transparan, memenuhi berbagai ketentuan pengelolaan terhadap harta wakaf. Akan tetapi sebagai benda bergerak, uang memiliki karakteristik yang berbeda dengan benda tidak bergerak, karena sifatnya yang mudah. Persamaan kajian tentang Wakaf sebagai alternative dan upaya meningkatkan kesejahteraan umat, sedangkan perbedaanya Kajian pokok adalah wakaf dan perkembangan dalam cakupan Indonesia dan Malaysia.
8.      Syukri Ilyas, Perkembangan Wakaf di Kota Batam,  Jurnal BIMAS Islam, Vol. 7 No.4, 2014. ISSN.1978-9009. Hasilnya Menggambarkan perkembangan pengelolaan wakaf di wilayah Kota Batam Provinsi Kepulauan Riau. Sebagai daerah ekonomi esklusif, Kota Batam memiliki tantangan tersendiri untuk mengelola perwakafan sebagai sumber pengembangan kesejahteraan umat. Sebagai daerah ekonomi ekslusif, Kota Batam sangat potensial bagi pengembangan perwakafan. Selain didukung infrastruktur yang kuat, Kota Batam juga memiliki ketersediaan SDM yang cukup. Persamaan adalah Kajian empiris tentang wakaf sebagai alternative dan upaya meningkatkan kesejahteraan umat. Perbedaan Kajian pokok adalah wakaf dan perkembangan dalam cakupan Indonesia
9.      dan Malaysia. Sebagimana Kota Batam sebagai gambaran kecil peta kemajuan perkembangan tentan wakaf.
10.  Nilna Fauza, Rekrontruksi Pengelolaan Wakaf: Belajar Pengelolaan Wakaf di Bangladesh dan Malaysia, Jurnal Universum  Vol. 9 No. 2 Juli 2015. Hasilnya: Harta wakaf mempunyai potensi yang besar untuk berperan membangun ekonomi umat dan kesejahteraan masyarakat. Melaui wakaf produktif dan wakaf tunai. Persamaan Kajian tentang perwakafan dua model wakaf produktif dan wakaf tunai penerapan di Bangladesh dan Malaysia. Perbedaan Peneliti berusaha memetakan dan merekonstruksi kembali tentang perwakafa di Indoenesia dan Malaysia.
11.  Nurma,  Investasi Dana Wakaf,  Jurnal Khatulistiwa – Journal Of Islamic Studies.  Vol. 3 No.1 Maret 2013. Hasilnya; Hasil analisis menunjukkan prioritas masalah pengelolaan wakaf terletak pada wakif menyerahkan harta wakaf langsung kepada personal bukan melalui lembaga pengelola wakaf. Sebagai persamaan Optimalisasi pengelolaan wakaf dan pemahaman terhadap nadzir/wakif. Perbedaan kajian pada Optimalisasi pengelolaan wakaf dalam konteks perepan peran wakaf secara komparatif di Indonesia dan Malaysia sebagai instrument pembangunan ekonomi Islam.

NO
NAMA JUDUL PENELITIAN
TUJUAN
HASIL
PERSAMAAN
PERBEDAAN
1
Mahsun,
Hukum dan Manajerial Wakaf di Malaysia




Mengulas tata cara pengaturan harta wakaf di Malaysia, yang akhirnya berimplikasi praktis; dapat dipertimbangkan aplikasinya untuk konteks Indonesia
Potret pelaksanaan dan kebijakan undang-undang wakaf cukup baik dari ranah hukum positif dan normative berdasarkan madzab Syafi’i
Peneliti membahas tentang aspek wakaf dan tata laksana undang-undang wakaf di Malaysia
Peneliti membahas tentang perbandingan aspek peranan wakaf sebagai instrument pembangunan ekonomi di Indonesia dan  Malaysia
2
Amin Mukhtar, Potensi Wakaf Menjadi Lembaga Keuangan Publik Jurnal Asy-Syari‘ah Vol. 17 No. 1, April 2015


Pemahaman umat Islam secara luas masih tekstualis dan literalis normative tentang wakaf. Pemahaman tentang wakaf sebagai sumber keuangan publik dengan tujuan untuk pemberdayaan ekonomi belum dikatakan optimal.
Peneliti membahas dan mengkaji tentang perkembangan wakaf di Indonesia
Wakaf sebagai instrumen ekonomi, perbandingan optimalisasi wakaf di Indonesia dan Malaysia

3

Ahmad Suwaidi, Wakaf dan Penerapannya di Negara Muslim
Economic: Jurnal Ekonomi dan Hukum Islam, Vol. 1, No. 2, 2011


Sebagaimana seharusnya wakaf dan menjadikan kesejahteraan dan kemandirian ekonomi akan tetapi  di Indonesia masih belum dikatakan optimal dibanding dengan pengelolaan wakaf di negara muslim pada era modern yang sangat beragam, baik dilihat dari sisi sejarah, regulasi, pelaksanaan, dan pengembangannya. Padahal dalam sejarahnya syariat wakaf dalam Islam sudah sejak lama di praktekkan.

Peranan wakaf sebagai instrumen pembangunan ekonomi dan indikator kesejahteraan umat.

Penlitian selannjutnya ini akan membahas tentang optimalisasi wakaf sebagai instrument pembangunan ekonomi perbanding di Indonesia dan Malaysia
4
Asksmak Ab Rahman, Peranan Wakaf Dalam Pembangunan Ekonomi Umat Islam dan Aplikasinya di Malaysia Shariah Journal, Vol. 17, No. 1 (2009) 113-152
Penelitian ini membincangkan konsep berkaitan wakaf, kepentingan
Tentang kekayaan untuk pembangunan ekonomi dan bagaimana wakaf
berperanan dalam pembangunan ekonomi negara.
Dalam penelitian ini menghasilkan wacana berkaitan dengan wakaf berperan dalam pembangunan ekonomi melalui saran kesehatam, pendidikan dan ibadah. Dari ketiga aspek tersebut dalam waktu yang sama jika wakaf optimal dalam pelaksanaannya dapat membangun sisi kemanusiaan non fisikal dan sisi perekonmian secara fisikal.
Berkaitan dengan konsep wakaf dan aplikasinya di suatu negara
Perbandingan kondisi perwakafan di dua Negara berpenduduk muslim teranyak antara Indonesia dan Malaysia
5
Abdullah Ubaid,  Analisis Hasil dan Metode Fundraising
Wakaf Uang Badan Wakaf Indonesia (BWI), Jurnal BIMAS Islam, Vol. 7 No.4, 2014. ISSN.1978-9009
Tujuan adalah Analisis Hasil dan Metode Fundraising
Wakaf Uang Badan Wakaf Indonesia (BWI) sebagai metode penggalangan wakaf uang.
Metode ini adalah sebagai tujuan untuk mempermudah masyarakat
dalam penyetoran wakaf uang dan juga administrasi pencatatan wakaf uang.
Kajian tentang pelaksannaan wakaf uang dan wakaf produktif
Kajian lebih luas mencakup kegiatan pelaksanaan perwakafan dibandingkan dengan pelaksanaan wkaf di malaysia
6
Abas Sambas, Perkembangan Pengelolaan Wakaf di Indonesia: Potensi dan Tantangan,  Jurnal BIMAS Islam, Vol. 7 No.4, 2014. ISSN.1978-9009
Kajian ini dimana wakaf adalah alternatif bagi pengembangan
kesejahteraan umat.
Rekonstruksi dan pemetaan potensi dalam pengembangan wakaf di Indonesia secara umum.
Kajian tentang pelaksannaan wakaf uang dan wakaf produktif
Kajian lebih luas mencakup kegiatan pelaksanaan perwakafan dan perkembangannya dibandingkan dengan pelaksanaan wakaf di Malaysia.
7
M. Mualim dan Abdurrahman, Menggiatkan Wakaf Uang (Tunai) Sebagai Uapaya Peningkatan kesejahteraan Masyarakat,  Jurnal BIMAS Islam, Vol. 7 No.4, 2014. ISSN.1978-9009
Menggiatkan Wakaf Uang (Tunai) sebagai Upaya Peningkatan Kesejahteraan Masyarakat
Legalisasi bahwa wakaf berupa uang tunai tidaklah dilarang, karena sebagian ulama menganjurkannya,
asalkan ia dikelola secara professional, amanah, dan transparan,
memenuhi berbagai ketentuan pengelolaan terhadap harta wakaf.
Akan tetapi sebagai benda bergerak, uang memiliki karakteristik
yang berbeda dengan benda tidak bergerak, karena sifatnya yang mudah ditasyarrufkan.
Wakaf sebagai alternative dan upaya meningkatkan kesejahteraan umat.
Kajian pokok adalah wakaf dan perkembangan dalam cakupan Indonesia dan malaysia
8
Syukri Ilyas, Perkembangan Wakaf di Kota Batam,  Jurnal BIMAS Islam, Vol. 7 No.4, 2014. ISSN.1978-9009
Menggambarkan perkembangan pengelolaan wakaf
di wilayah Kota Batam Provinsi Kepulauan Riau. Sebagai daerah ekonomi
esklusif, Kota Batam memiliki tantangan tersendiri untuk mengelola
perwakafan sebagai sumber pengembangan kesejahteraan umat.
Sebagai daerah ekonomi ekslusif, Kota Batam sangat potensial
bagi pengembangan perwakafan. Selain didukung infrastruktur yang
kuat, Kota Batam juga memiliki ketersediaan SDM yang cukup.
Kajian empiris tentang wakaf sebagai alternative dan upaya meningkatkan kesejahteraan umat.
Kajian pokok adalah wakaf dan perkembangan dalam cakupan Indonesia dan Malaysia. Sebagimana Kota Batam sebagai gambaran kecil peta kemajuan perkembangan tentan wakaf.
9
Nilna Fauza, Rekrontruksi Pengelolaan Wakaf: Belajar Pengelolaan Wakaf di Bangladesh dan Malaysia, Jurnal Universum  Vol. 9 No. 2 Juli 2015
Penelitian ini bertujuan merekonstruksi pengelolaan wakaf di Indonesia
dengan belajar dan bercermin pada negara atau
lembaga yang sudah mampu mengelola wakaf
dengan baik dan benar
Harta wakaf mempunyai potensi yang besar
untuk berperan membangun ekonomi
umat dan kesejahteraan masyarakat. Melaui wakaf produktif dan wakaf tunai.
Kajian tentang perwakafan dua model wakaf produktif dan wakaf tunai penerapan di Bangladesh dan malaysia
Peneliti berusaha memetakan dan merekonstruksi kembali tentang perwakafa di Indoenesia dan Malaysia
10
Nurma,
Investasi Dana Wakaf,  Jurnal Khatulistiwa – Journal Of Islamic Studies.  Vol. 3 No.1 Maret 2013
Penelitian mengenai konstribusi rekonstruktif investasi dana wakaf sebagai intrumen pemberdayaan ekonomi Islam
Hasil analisis menunjukkan prioritas masalah
pengelolaan
wakaf terletak pada r wakif menyerahkan harta wakaf langsung
kepada personal bukan melalui lembaga pengelola wakaf.
Optimalisasi pengelolaan wakaf
Optimalisasi pengelolaan wakaf dalam konteks perepan peran wakaf secara komparatif di Indonesia dan Malaysia sebagai instrument pembangunan ekonomi Islam.
11
Nurul Huda, dkk, Akuntabilitas Sebagai Sebuah Solusi Pengelolaan Wakaf, Jurnal Akuntansi Multiparadigma Vol. 5 No. 3, 2014
Penelitian menganalisis prioritas masalah dan solusi pengelolaan waqaf dengan
menggunakan metode AHP.
terdapat tiga macam
prioritas masalah dan solusi pengelolaan
wakaf yang dibagi berdasarkan pemangku
kepentingan (stakeholder) wakaf, yaitu regulator,
pengelola wakaf (Nazhir), serta wakif
(orang yang memberi wakaf)
Optimalisasi pengelolaan wakaf
Optimalisasi pengelolaan wakaf dalam konteks perepan peran wakaf secara komparatif di Indonesia dan Malaysia sebagai instrument pembangunan ekonomi Islam.
12
Gusva Hafita, dkk. MODEL BANK WAKAF DI INDONESIA DALAM POTENSINYA UNTUK MENGEMBANGKAN WAKAF UANG DAN MENGATASI KEMISKINAN. Jurnal Ekonomi Univ. Indonesia
Menggagas tentang bank wakaf ini berisi tentang pengelolaan wakaf yang saat ini ada di Indonesia, penerapan bank wakaf yang sudah sukses di luar negeri serta model bank wakaf terbaik yang sesuai dan dapat diimplementasikan di Indonesia untuk mengembangkan pengelolaan wakaf uang secara optimal dan untuk mengatasi kemiskinan
Mengoptimalkan Fungsi Lembaga keuangan Syariah sebagai Bank Wakaf khusus wakaf.
Kajian tentang wakaf
Sebagai data pendukung penelitian selanjutnya. Pokok kajian perwakafan di Indonesia dan Malaysia.

E.     Sistematika Pembahasan
Agar pembahasan terstruktur baik dan dapat ditelusuri dengan mudah oleh pembaca, penulisan menggunakan sistematika berikut:
Bab I: Merupakan pendahuluan yang memaparkan fenomena  pratik dan optimalisasi perwakafan di Indonesia dan Malaysia . Penelitian dilakukan dengan cara membaca fenomena yang ada dengan teori terkait. Selanjutnya dari fenomena dan kajian ditemukan focus dan permasalahan penelitian kemudian dijawab dengan tujuan penelitian. Dalam penelitian ini disebutkan bebeapa penelitian terdahul terkait pembangunan ekonomi melalui harta wakaf sekaligus sebagai bentuk orisinilitas penelitian ini dengan penelitian sebelumnya.

Bab II:  Merupakan kajian pustaka, bagian ini menguraikan tentang teori wakaf, mulai definisi, undang-undang wakaf dan tinjauan hukum Islam tentang wakaf, dan pembangunan ekonomi, definisi dan skema pembangunan ekonomi dalam Islam.

Bab III: Metode penelitian yang digunakan pada penelitian ini. Praktik wakaf di Indoensia dan Malaysia sebagai focus penelitian. Untuk meneumukan data sesuai dengan permasalahan penelitian, digunakan pendekatan penelitian, metode pengumpulan data, dan teknik analisis data yang sesui dengan karakteristik yang dibutuhkan.

Bab IV: Merupakan bab pemaparan data dan temuan penelitian, membahas tentang paparan jawaban sistematis focus penelitian dari hasil penelitian yang mencakup gambaran umum tentang Wakaf dan pembangunan ekonomi di Inesonesia dan Malaysia.

Bab V : Berisi tentang diskusi hasil penelitian, membahas tentang hasil penelitian dengan diskusi penelitiaan dan hasil penelitian digunakan untuk mengklasifikasi dan memposisikan hasil temuan yang menjadi focus pada bab 1 dan merelevansikan dengan teori-teori yang dibahas di bab II, dan metodhe penelitian pada bab III. Dan semuanya dipaparkan pada bagian ini dan sekaligus hasil penelitian didiskusikan dengan kajian pustaka. Dan merupakan bab penutupan yang berisi tentang kesimpulan dari hasil penelitian. Gambaran teroritis dibahas pada bagian ini dan untuk melihat posisi teori berdasarkan temuan penelitian. Daftara Pustaka

BAB II
KAJIAN PUSTAKA
A.    Wakaf
1.      Perwakafan dalam Hukum Islam
a.      Pengertian Wakaf
Kata “Wakaf” atau “Waqf” berasal dari bahasa Arab “Waqafa”. Asal kata “Waqafa” berarti “menahan” atau “berhenti” atau “diam di tempat” atau tetap berdiri”. Kata “Waqafa-Yuqifu-Waqfan” sama artinya dengan “Habasa- Yahbisu-Tahbisan[10]
Dalam peristilahan syara‟ secara umum, wakaf adalah sejenis pemberian yang pelaksanaannya dilakukan dengan jalan menahan (pemilikan) asal (tahbisul ashli), lalu menjadikannya secara umum.Yang dimaksud tahbisul ashli adalah menahan benda yang di wakafkan itu agar tidak di wariskan, dijual, dihibahkan, digadaikan, disewakan dan sejenisnya. Sedangkan cara pemanfaatannya adalah menggunakan sesuai kehendak pemberi wakaf tanpa imbalan. [11]
Selanjutnya pengertian lain yang diungkapkan oleh syaikh Al- Qalyubi yang mengatakan bahwa wakaf adalah: “Ḫ absul mali yumkinu al-intifa‟u bihi ma‟a baq‟I ainihi ala mashrafin mubahin (menahan harta yang bisa diambil manfaatnya dari harta tersebut dengan menjaga bentuk aslinya untuk disalurkan kepada jalan yang dibolehkan).[12]
b.      Dasar Hukum Wakaf
Secara umum tidak terdapat ayat al-Quran yang menerangkan konsep wakaf secara jelas.Oleh karena wakaf termasuk infaq fi sabilillah, maka dasar yang digunakan para ulama dalam menerangkan konsep wakaf ini didasarkan pada keumuman ayat-ayat al-Quran yang menjelaskan tentang infaq fi sabilillah. Di antara ayat-ayat tersebut antara lain:
لَنْ تَنَالُوا الْبِرَّ حَتَّى تُنْفِقُوا مِمَّا تُحِبُّونَ وَمَا تُنْفِقُوا مِنْ شَيْءٍ فَإِنَّ اللَّهَ بِهِ عَلِيمٌ (٩٢)
Kamu sekali-kali tidak sampai kepada kebajikan (yang sempurna), sebelum kamu menafkahkan sehahagian harta yang kamu cintai. dan apa saja yang kamu nafkahkan Maka Sesungguhnya Allah mengetahuinya.[13]

Dalam literatur kitab klasik dijelaskan bahwa pada awalnya wakaf dipraktikan pada masa kholifah umar, yang tertera pada hadist berikut ini:
إذا مات ابن آدم انقطع عنه عمله إلا من ثلاثة من صدقة جارية أو علم ينتفع به أو ولد صالح يدعو له 
Artinya: Jika seseorang meninggal dunia, maka terputuslah amalannya kecuali tiga perkara yaitu: sedekah jariyah, ilmu yang dimanfaatkan, atau do’a anak yang sholeh” (HR. Muslim no. 1631).

Dijelaskan bahwa yang dimaksud al-shadaqah al-jariyah pada hadist tersebut adalah wakaf. Hal ini disebabkan benda yang diwakafkan oleh seseorang, misalnya berupa tanah milik, pahalanya akan terus mengalir bagi wakif sepanjang tanah tersebut dimanfaatkan sesuai dengan ajaran Islam.[14]

عن ابن عمر. ان عمر أصاب أرضا من أرض خيبر فقال: يا رسول الله، أصيتُ أرضا بخيبر، لم أُصب مالاً قطٌ أنفس عندي منه، فما تأمرني؟ فقال: ان شئتَ حتبست أصلها وتصدقت بها. فتصدّق بها عمر على أن لا تُباع ولا توهب تُورث في الفقراء وذوى القربى. متفق عليه

“Dari ibnu umar r. a. Bahwasanya sayyidina Umar mendapatkan sebidang tanah dari perang khaibar, maka dia berkata: wahai Rasulullah aku mendapatkan sebidang tanah di saat perang khaibar, yang mana aku belum pernah memiliki harta seperti itu sebelumnya, maka Rasulullah berkata: Jika kamu ingin tanah itu tahanlah dan kemudian sedekahkanlah. Maka umar berkata: maka ia menyedekahkan hartanya (sebidang tanah) tersebut. artinya dia tidak menjual, tidak mewariskan dan juga tidak menghibahkan, ia murni menyerahkannya untuk kaum miskin dan kerabat-kerabatnya”[15]
c.       Rukun dan Syarat Wakaf.
Wakaf dinyatakan sah apabila terpenuhi rukun dan syarat wakaf. Adapun rukun-rukun wakaf ialah:
1)      Ada yang berwakaf (wakif).
Orang yang mewakafkan (wakif) disyaratkan memiliki kecakapan hukum.dalam menggunakan hartanya. Kecakapan bertindak di sisni meliputi:[16]

a)      Merdeka.
Wakaf yang dilakukan oleh seorang budak (hamba sahaya) tidak sah karena wakaf adalah pengguguran hak milik dengan cara memilikan hak itu kepada orang lain. Sedangkan hamba sahaya tidak mempunyai hak milik untuk dirinya dikarenakan apa yang dimiliki adalah kepunyaan tuannya.
b)      Berakal Sehat
Wakaf yang dilakukan oleh orang gila tidak sah hukumnya sebab ia tidak berakal, tidak mumayyiz dan tidak cakap melakukan akad serta tindakan lainnya.
c)      Dewasa.
Wakaf yang dilakukan oleh anak yang belum dewasa (baligh), hukumnya tidak sah karena ia dipandang tidak cakap melakukan akad dan tidak cakap pula untuk menggugurkan hak miliknya.
d)     Tidak berada di bawah pengampuan(boros/lalai)
Orang yang berada di bawah pengampuan dipandang tidak cakap untuk berbuat kebaikan (tabarru‟), maka wakaf yang dilakukan hukumnya tidak sah.[17]
2)      Ada barang atau harta yang diwakafkan (mauquf bih).
Adapun Syaratnya objek wakafharus memenuhi syarat sebagai berikut:

Yang artinya “Dan syarat-syarat barang yang diwakafkan yaitu:Bentuknya jelas (benda materiil), harus kepunyaan seseorang dan bisa diserahterimakan yang mana hal tersebut bisa diambil manfaatnya. dapat bertahan dalam pada jangka waktu yang lama.[18]

Intisari pada keterangan diatas menjelaskan bahwa objek wakaf harus memenuhi kriteria sebagai berikut:
a)      Harta yang diwakafakan harus mutaqowwam.
Kriteria mutaqowwam dalam kitab klasik dijelaskan harta tersebut harus bersifat benda materiil, memiliki manfaat, dan dapat bertahan dalam jangka waktu yang lama. Kriteria objek atau harta wakaf ini disebutkan oleh Mazhab Syafi‟i dan Hambali. Keduanya tidak membatasi apakah benda bergerak atau benda tidak bergerak.
Ulama‟ hanafi berbeda pendapat dalam hal ini. Di katakan bahwa harta wakaf harus berupa benda yang tidak bergerak. Selanjutnya imam Maliki berpendapat berbeda, yang mengatakan bahwa harta wakaf tidak hanya berupa benda materiil saja akan tetapi benda immateriil juga bisa masuk dalam katagori benda yang dapat diwakafkan.
b)      Diketahui dengan yakin ketika diwakafkan.
Harta tersebut harus diketahui dengan yakin („ainun ma‟luman), sehingga tidak akan menimbulkan persengketaan. Karena itu harta yang diwakafkan tidak sah jika tidak jelas. Seperti pernyataan yang berbunyi : “saya mewakafkan sebagian dari tanah saya kepada orang-orang kafir di kampung saya ”,. Kata sebagian tersebut membuat harta yang diwakafkan tidak jelas dan akan menimbulkan persengketaan.
c)      Milik waqif.
Tidak ada terdapat perbedaan pendapat di kalangan fuqaha bahwa wakaf tidak sah kecuali jika wakaf itu berasal dari harta pemilik wakaf sendiri.Sebab wakaf adalah perbuatan yang menyebabkan terlepas atau terbebasnya suatu kepemilikan menjadi harta wakaf.
Dengan demikian waqif haruslah pemilik atas harta yang diwakafkannya. Atau seseorang dikatakan waqif jika seorang tersebut berhak untuk melaksanakan wakaf terhadap suatu. harta, yaitu dengan dengan diwakilkannya pemilik harta wakaf atau mendapat wasiat untuk melakukan itu.[19]
d)     Terpisah, tidak milik bersama.[20]
3.      Penerima wakaf (mauquf „alaih).
Yang di maksud dengan mauquf „alaih adalah tujuan wakaf (peruntukan wakaf).Wakaf harus dimanfaatkan dalam batas-batas yang sesuai dan diperbolehkan syri‟at.Oleh sebab itu mauquf „alaih haruslah pihak kebajikan.[21]
4.      Ikrar wakaf (shighat).
Shighat wakaf ialah ucapan, tulisan atau isyarat dari orang yang berwakaf (wakif).Dan dalam shighat wakaf tersebut cukup dengan ijab saja dari orang yang mewakafkan harta bendanya tanpa memerlukan qabul dari mauquf „alaih. [22] Cara mewakafkan dengan lafadz dibedakan menjadi dua macam yaitu lafad secara sharih (jelas) adalah: waqaftu (aku wakafkan), habbastu (aku tahan) dan sabbaltu (aku peruntukkan bagi kepentingan umum). Dan selanjutnya lafad kinayah adalah: tashaddaqtu (aku sedekahkan), harramtu (aku haramkan) dan abbadtu (aku berikan selama-lamanya).[23]
Sedangkan ikrar wakaf dengan perbuatan (tanpa perkataan atau sejenisnya), maka diisyaratkan adanya tanda-tanda yang menunjukkan bahwasanya seseorang telah berwakaf. Jika ada tanda-tanda yang menunjukkan bahwasanya seseorang telah berwakaf, maka perbuatan tersebut dinyatakan sebagai wakaf, meski ia tidak berniat demikian.[24]

d.      Macam-Macam Wakaf
Menurut para ulama‟ secara umum wakaf dibagi menjadi dua bagian:
1)      Wakaf ahli.
Wakaf ahli (khusus) ialah wakaf yang ditujukan kepada orang-orang tertentu, seorang atau terbilang, baik keluarga wakif maupun orang lain.Wakaf seperti ini disebut juga dengan wakaf Durri. Apabila seseorang mewakafkan sebidang tanah kepada anaknya, lalu kepada cucunya, wakafnya sah dan yang berhak mengambil manfaatnya adalah mereka yang ditunjuk dalam pernyataan wakaf.Wakaf yang demikian yang demikian disebut juga wakaf „ala aulad, yaitu wakaf yang di khususkan untuk kepentingan dan jaminan sosial kepada lingkungan keluarga. Dalam satu sisi wakaf ini mengandung dua kebaikan, karena memiliki dua aspek dari amal ibadahnya dan juga kebaikan dari silaturahmi terhadap keluarga yang diberikan harta wakaf. Akan tetapi wakaf ahli ini sering menimbulkan masalah, seperti : bagaimana jika anak cucu yang ditunjuk sudah tidak ada lagi? Siapa yang berhak mengambil manfaat benda wakaf tersebut? 
Untuk mengantisipasi hal tersebut agar harta wakaf kelak tetap bisa dimanfaatkan dengan baik dan berstatus hukum yang jelas, maka sebaiknya dalam ikrar wakaf ahli ini disebutkan bahwa wakaf ini untuk anak, cucu, kemudian kepada fakir miskin.Sehingga apabila keluarga tidak ada lagi (punah), maka wakaf tersebut bisa langsung diberikan kepada fakir miskin.[25]

2)      Wakaf khairi.
Wakaf yang sejak semula ditujukkan untuk kepentingan-kepentingan umum dan ditujukan kepada orang-orang tertentu.[26] dalam beberapa kitab fikih, disebutkan bahwa para fuqaha‟ selain Syi‟ah Ja‟faruyah, sepakat bahwa harta wakaf yang digunakan bagi kalangan umum atau bagi kalangan luas (tidak terbatas) seperti kaum miskin atau wakaf yang tidak dapat digambarkan dan juga tidak dapat diperinci penerimanya cukup dengan hanya melalui iqa‟(pelimpahan).[27]
Dalam wakaf khairi proses serah terimanya cukup dilangsungkan dengan hanya menyebutkan ungkapan komitmen salah satu pihak. Tidak dengan ijab ataupun transaksi ijab sebagaimana umumnya yang berlaku dalam proses transaksi.


e.       Nazdir
Para fuqaha‟ tidak mencantumkan nadzir wakaf sebagai salah satu rukun wakaf, hal ini mungkin karena mereka berpendapat bahwa wakaf merupakan ibadah tabarru‟ (pemberian yang bersifat sunah saja). Padahal dalam pelaksanaan wakaf yang dilaksanakan di mana saja, kedudukan nazdir merupakan suatu hal yang sangat penting dan sentral.Di pundak nazdir inilah tanggung jawab untuk memelihara, menjaga, dan mengembangkan wakaf agar wakaf dapat berfungsi sebagaimana yang diharapkan.Nazdir inilah yang bertugas untuk menyalurkan hasil wakaf dan memanfaatkannya untuk kepentingan masyarakat sesuai yang direncanakan.

Sudah terlalu banyak pengelolaan harta wakaf yang dikelola oleh nadir yang tidak profesional, sehingga banyak harta wakaf tidak berfungsi secara maksimal dan tidak member manfaat sama sekali sebagaimana yang diharapkan, bahkan banyak harta wakaf yang alih fungsi atau terjual kepada pihak-pihak yang tidak bertanggung jawab.

Syarat-syarat nadzir yang tersebut dalam kitab-kitab fikih kiranya perlu dipertahankan, yakni beragama Islam, baligh (dewasa), „akil (berakal), memiliki kemampuan dalam mengelola wakaf (profesional), dan memiliki sifat amanah, jujur, tabligh dan fatanah serta adil. Syarat-syarat ini perlu ditingatkan kemampuannya agar terwujud manajemen yang baik dalam penegelolaan wakaf.[28]

Pada akhirnya status dan kedudukan seorang pengelola harta wakaf (nadzir) dalam sistem fikih, yang pada mulanya dikategorikan sebagai sesuatu yang tidak harus ada, menjadi sesuatu yang harus ada.Dengan demikian penglola harta wakaf tersebut menjadi sentral dalam pengelolaan harta wakaf agar harta wakaf dapat berkembang untuk pemberdayaan ekonomi umat.[29]

Karena urgennya peran nadir dalam pengelolaan wakaf, maka kemudian dalam Undang-Undang wakaf Nomor 41 Tahun 2004 peran Nazdir merupakan salah satu hal yang harus dipenuhi. Dalam Undang- Undang wakaf tersebut nazdir bisa dikategorikan perseorangan, organisasi atau badan hukum. organisasi atau badan hukum.[30] Dalam hal itu disebutkan syarat sebagai berikut:
1)      Nazdir perseorangan
a)      Warga Negara Indonesia
b)      Islam
c)      Dewasa
d)     Amanah
e)      Mampu secara Jasmani dan Rohani
f)       Tidak terhalang melaukan perbuatan hukum
2)      Organisasi
a)       Pengurus organisasi yang bersangkutan memenuhi
persyaratan nazdir perseorangan sebagaimana syarat nazdir
perseorangan.
b)      Organisasi yang bergerak di bidang sosial pendidikan
kemasyarakatan dan/atau keagamaan Islam.
3)      Badan Hukum
a)       Pengurus badan hukum yang bersangkutan memenuhi persyaratan nazdir perseorangan sebagaimana syarat nazdir perseorangan.
b)      Badan hukum Indonesia yang di bentuk sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku.
c)      Badan hukum yang bersangkutan bergerak dibidang sosial, pendidikan, kemasyarakata\n dan/atau keagamaan Islam.[31]

Lebih lanjut dijelaskan secara rinci dalam Undang-undang Nomor 41tahun 2004 tentang tugas-tugas Nazdir yaitu:[32]
a)      Melakukan pengadministrasian harta benda wakaf
b)      Mengelola dan mengembangkan harta benda wakaf sesuai dengan tujuan, fungsi dan peruntukannya
c)      Mengawasi dan melindungi harta benda wakaf
d)     Melaporkan pelasanaan tugas kepada Badan Perwakafan di Indonesia

2.      Perwakafan Dalam Undang-Undang Di Indonesia
a.      Pengaturan Wakaf di Indonesia
Pengaturan sebelum kedatangan penjajah di Indonesia, wakaf dilaksanakan berdasarkan ajaran hukum Islam yang bersumber dari kitab fikih Syafi‟i.karena masalah wakaf adalah masalah yang sangat berkaitan dengan sosial dan adat di Indonesia, maka pelaksanaan wakaf itu disesuaikan dengan hukum adat setempat dengan tidak mengurangi nilai ajaran hukum Islam.[33]

Pada masa itu pengelolaan dan pemanfaatan harta wakaf masih terfokus dengan hal-hal yang berhubungan dengan ibadah dan sangat sedikit sekali masyarakat pada waktu itu yang berhubungan dengan masalah sosial lainnya dengan kata lain pada masa itu wakaf belum mendapatkan pengelolaan dengan manajemen yang baik.

Selanjutnya wakaf mulai mendapatkan pengelolaan dengan manajemen yang baik setelah adanya Kementrian Agama pada tanggal 3 Januari 1946 karena pada saat itu urusan wakaf tanah menjadi urusan Kementrian Agama bagian D (ibadah sosial). Selnjutnya Kementrian Agama pada tanggal 8 oktober 1956 mengeluarkan surat EdaranNomor 5/D/1956 tenteng prosedur perwakafan Tanah. Dengan adanya peraturan ini maka memperjelas dan mempertegas tentang kepastian hukum tentang tanah-tanah wakaf di Republik Indonesia.[34]

Lahirnya Undang-Undang Nomor 5 tahun 1960 tentang agraria semakin memperkokoh eksistensi dunia perwakafan di Indonesia, karena dalam pasal 49 Undang-Undang tersebut dijelaskan bahwa untuk keperluan peribadatan dan keperluan suci lainnya dapat diberi tanah dan dikuasi lengsung oleh Negara dengan hak pakai, perwakafan tanah milik dilindungi dan diatur oleh peraturan pemerintah.

Dalam hal kejelasan tentang hukum wakafsebagai realisasi dari Undang-Undang tersebut, pemerintah telah mengeluarkan Peraturan PemerintahNomor 28 Tahun 1977 tenteng perwakafan Tanah Milik. Peraturan Pemerintah tersebut mengemukakan bahwa wakaf adalah suatu lembaga keagamaan yang dipergunakan sebagai salah satu pengembangan kehidupan keagamaan. Setelah terbitnya Peraturan Pemerintah Nomor 28 Tahun 1977 tenteng perwakafan Tanah milik, eksistensi diperkuat lagi dengan lahirnya Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1989 tentang Peradilan Agama. Dalam pasal 49 Undang-Undang tersebut dikemukakan bahwa perselisihan wakaf menjadi kewajiban lembaga Peradilan Agama yang memutusnya.Dilanjutkan dengan sah atau tidaknya oleh seseorang atau lembaga pemasyarakatan lainnya.

Selanjutnya sebagai hukum materiil untuk menjadi pegangan Hakim Peradilan Agama dalam memutus sengketa wakaf ini, pemerintah juga mengeluarkan Kompilasi Hukum Islam yang terdiri dari tiga buku.Salah satu dari tiga tersebut adalah hukum wakaf. Kemudian juga melalui Instryksi Presiden Nomor 1 Tahun 1991 tanggal 10 juni sebagai pedoman bagi instansi yang memerlukannya dalam hukum wakaf tersebut.

b.      Wakaf dalam Undang-Undandang Nomor 41 tahun 2004
Ada dua alasan pembentukan Undang-Undang  Nomor 41 Tahun 2004 tentang wakaf. Pertama memajukan kesejahteraan umum. Untuk mencapai tujuan tersebut, potensi yang terdapat dalam pranata keagamaan yang memiliki manfaat ekonomis perlu digali dan dikembangkan. 

Wakaf dianggap mempunyai peran yang strategis untuk membantu sebagai kesejahteraan umum. Sebagai pranata keagamaan yang pada awalnya hanya berfungsi sebagai sarana ibadah dan sosial, menjadi pranata yang memiliki kekuatan ekonomi yang diyakini dapat memajukan kesejahteraan umum. 

Kedua, praktik yang berjalan dirasa kurang tertib dan efisien. Salah satu bukti akan hal tersebut adalah diantara harta benda wakaf tidak terpelihara dengan baik, terlantar, bahkan beralih kepada pihak ketiga dengan cara melawan hukum. Keterlantaran dan pengalihan benda kepada pihak ketiga terjadi karena:
a)      Kelalaian dan ketidakmampuan nadzir dalam mengelola dan mengembangkan harta wakaf.
b)      Sikap masyarakat yang kurang peduli atau belum memahami status harta benda wakaf yang seharusnya dilindungi sebagai media untuk mencapai kesejahteraan umum sesuai dengan tujuan, fungsi dan peruntukan wakaf.[35]

Selanjutnya dijelaskan bahwa salah satu tujuan adanya Undang- Undang Nomor 41 Tahun 2004 adalah guna memperluas objek wakaf. Sementara ini sebelum adanya Undang-Undang tersebut, objek wakaf cenderung dipahami sebagai benda tidak bergerak, seperti tanah dan bangunan. Dalam Undang-Undang ini ditetapkan, bahwa benda wakaf boleh benda bergerak dan boleh benda tidak bergerak, serta benda yang berwujud (empiris) dan tidak empiris, seperti: wakaf uang, logam mulia, surat berharga, hak kekayaan intelektual dan hak sewa.[36]

3.      Perundang-undangan Wakaf di Malaysia
……
B.     Pembangunan Ekonomi
1.      Konsep Pembangunan Ekonomi
Mengenai pengertian pembangunan, para ahli memberikan definisi yang bermacam-macam. Istilah pembangunan bisa saja diartikan berbeda antara satu orang dengan orang lainnya, antara daerah yang satu dengan daerah yang lainnya, negara yang satu dengan negara yang lainnya. Namun secara umum terdapat suatu kesepakatan bahwa pembangunan merupakan proses untuk melakukan perubahan (Riyadi dan Deddy Supriyadi Bratakusumah, 2005).
Pembangunan menurut Nugroho dan Rochman Dahuri (2004) dapat diartikan sebagai suatu upaya yang terkoordinasi untuk menciptakan alternatif yang lebih banyak secara sah kepada setiap warga negara untuk memenuhi dan mencapai aspirasinya yang paling manusiawi. Sedangkan menurut Tikson (2005), pembangunan nasional dapat pula diartikan sebagai transformasi ekonomi, sosial dan budaya secara sengaja melalui kebijakan dan strategi menuju arah yang diinginkan. Transformasi dalam struktur ekonomi misalnya, dapat dilihat melalui peningkatan atau pertumbuhan produksi yang cepat di sektor industri dan jasa, sehingga kontribusinya terhadap pendapatan nasional semakin besar. Sebaliknya, kontribusi sektor pertanian akan menjadi semakin kecil dan berbanding terbalik dengan pertumbuhan industrialisasi dan modernisasi ekonomi. Transformasi sosial dapat dilihat melalui pendistribusian kemakmuran melalui pemerataan memperoleh akses terhadap sumber daya sosial-ekonomi, seperti pendidikan, kesehatan, perumahan, air bersih dll. Sedangkan transformasi budaya sering dikaitkan antara lain dengan bangkitnya semangat kebangsaan dan nasionalisme, disamping adanya perubahan nilai dan norma yang dianut masyarakat, seperti perubahan dan spiritualisme ke materialisme/sekulerisme. Pergeseran dari penilaian yang tinggi kepada penguasaan materi, dari kelembagaan tradisional menjadi organisasi modern dan rasional.
Analisa pembangunan ekonomi atau lebih dikenal dengan ekonomi pembangunan (development economic), merupakan cabang ilmu ekonomi yang khusus membahas mengenai masalah-masalah pembangunan di negara yang sedang berkembang. Tujuan dari analisanya adalah untuk menelaah faktor-faktor yang menimbulkan keterlambatan pembangunan ekonomi di negara-negara sedang berkembang dan selanjutnya mengemukakan cara-cara pendekatan yang dapat ditempuh untuk mengatasi masalah-masalah yang dihadapi sehingga dapat mempercepat jalannya pembangunan ekonomi di negara-negara sedang berkembang.
Beberapa pengertian dan definisi pembangunan ekonomi menurut para ahli :
a.       Adam Smith dalam Suryana (2000: 55) :
Pembangunan ekonomi merupakan proses perpaduan antara pertumbuhan penduduk dan kemajuan teknologi.
b.      Simon Kuznets dalam Jhingan (2000: 57) :
Pembangunan ekonomi adalah kenaikan jangka panjang dalam kemampuan suatu negara untuk menyediakan semakin banyak jenis barang-barang ekonomi kepada penduduknya. Kemampuan ini tumbuh sesuai dengan kemajuan teknologi, dan penyesuaian kelembagaan dan idiologis yang diperlukan. Definisi ini mempunyai 3 (tiga) komponen yaitu, pertama pertumbuhan ekonomi suatu bangsa terlihat dari meningkatnya secara terus menerus persediaan barang, kedua teknologi maju merupakan faktor dalam pertumbuhan ekonomi yang menentukan derajat pertumbuhan kemampuan dalam penyediaan aneka macam barang kepada penduduk dan ketiga, penggunaan teknologi secara luas dan efisien memerlukan adanya penyesuaian di bidang kelembagaan dan ideologi sehingga inovasi yang dihasilkan oleh ilmu pengetahuan umat manusia dapat dimanfaatkan secara tepat.
c.       Prof. Meier dalam Adisasmita (2005: 205) :
Pembangunan ekonomi bertindak sebagai proses kenaikan pendapatan riil perkapita dalam suatu jangka waktu yang panjang.

d.      Schumpeter dalam Suryana (2000: 5)
Pembangunan ekonomi bukan merupakan proses yang harmonis atau gradual, tetapi merupakan perubahan yang spontan dan tidak terputus-putus. Pembangunan ekonomi disebabkan oleh perubahan terutama dalam lapangan industri dan perdagangan. Pembangunan ekonomi berkaitan dengan pendapatan perkapita dan pendapatan nasional.

Pendapatan perkapita yaitu pendapatan rata-rata penduduk suatu daerah sedangkan pendapatan nasional merupakan nilai produksi barang-barang dan jasa-jasa yang diciptakan dalam suatu perekonomian di dalam masa satu tahun. Pertambahan pendapatan nasional dan pendapatan perkapita dari masa ke masa dapat digunakan untuk mengetahui laju pertumbuhan ekonomi dan juga perkembangan tingkat kesejahteraan masyarakat suatu daerah. Dalam pengertian pembangunan ekonomi yang dijadikan pedoman adalah suatu sebagai suatu proses yang menyebabkan pendapatan perkapita penduduk suatu masyarakat meningkat dalam jangka panjang.

Dengan bahasa lain, Boediono (1999: 8) menyebutkan pertumbuhan ekonomi adalah proses kenaikan output dalam jangka panjang. Pengertian tersebut mencakup tiga aspek, yaitu proses, output perkapita, dan jangka panjang. Jadi tanpa bermaksud menggurui, Boediono menyatakan bahwa pertumbuhan ekonomi merupakan suatu proses, bukan gambaran ekonomi atau hasil pada saat itu. Boediono juga menyebutkan secara lebih lanjut bahwa pertumbuhan ekonomi juga berkaitan dengan kenaikan output perkapita. Dalam pengertian ini teori tersebut harus mencakup teori mengenai pertumbuhan GDP dan teori mengenai pertumbuhan penduduk. Sebab apabila kedua aspek tersebut dijelaskan, maka perkembangan ouput perkapita bisa dijelaskan. Kemudian aspek yang ketiga adalah pertumbuhan eknomi dalam perspektif jangka panjang, yaitu apabila selama jangka waktu yang cukup panjang tersebut output perkapita menunjukkan kecenderungan yang meningkat.

Dari beberapa pendapat diatas maka dapat ditarik kesimpulan bahwa pembangunan ekonomi adalah cara yang digunakan oleh suatu negara untuk meningkatkan pendapatan nasional.
Pembangunan ekonomi merupakan suatu proses yang menyebabkan pendapatan per kapita penduduk suatu masyarakat meningkat dalam jangka yang panjang, disertai dengan perubahan ciri-ciri penting suatu masyarakat, yaitu perubahan dalam hal teknologi, pola pikir masyarakat maupun kelembagaan. Berdasarkan kesimpulan tersebut pembangunan ekonomi memiliki 3 sifat penting diantaranya adalah (Bannock, 2004) :
1.      Pembangunan sebagai suatu proses
Pembangunan ekonomi merupakan suatu proses, artinya pembangunan ekonomi merupakan suatu tahap yang harus dijalani oleh setiap masyarakat atau bangsa. Hal ini berlangsung secara terus menerus dan bukan merupakan kegiatan yang sifatnya tidak disengaja.
2.      Pembangunan sebagai usaha untuk meningkatkan pendapatan perkapita
Sebagai suatu usaha, pemabangunan merupakan tindakan aktif yang harus dilakukan oleh suatu negara dalam rangka meningkatkan pendapatan per kapita. Dengan demikian, sangat dibutuhkan peran serta masyarakat, pemerintah, dan semua elemen yang terdapat dalam suatu negara untuk berpartisipasi aktif dalam proses pembangunan. Hal ini dilakukan karena kenaikan pendapatan perkapita mencerminkan perbaikan dalam kesejahteraan masyarakat.
3.      Kenaikan pendapatan per kapita berlangsung dalam jangka panjang.
Suatu perekonomian dapat dinyatakan dalam keadaan berkembang apabila pendapatan per kapita dalam jangka panjang cenderung meningkat. Namun, hal tersebut bukan berarti bahwa pendapatan per kapita harus mengalamikenaikan secara terus-menerus, tetapi pada suatu waktu tertentu dapat turun, namun turunnya tidak terlalu besar. Namun,kondisi tersebut hanyalah bersifat sementara dan yang terpenting bagi negara tersebut kegiatan ekonominya secara rata-rata meningkat dari tahun ke tahun.
Ada beberapa faktor yang mempengaruhi pembangunan ekonomi, namun pada hakikatnya faktor-faktor tersebut dapat dikelompokkan menjadi dua yaitu faktor ekonomi dan faktor non ekonomi (Bannock, 2004).
1.      Faktor Ekonomi
Faktor ekonomi yang mempengaruhi pertumbuhan dan pembangunan ekonomi diantaranya adalah sumber daya alam (SDA), sumber daya manusia (SDM), sumber daya modal, dan keahlian atau kewirausahaan.
Sumber daya alam yang meliputi tanah dan kekayaan alam seperti kesuburan tanah, keadaan iklim/ cuaca, hasil hutan, tambang, dan hasil laut, sangat mempengaruhi pertumbuhan industri suatu Negara, terutama dalam penyediaan bahan baku produksi. Sementara itu, keahlian dan kewirausahaan dibutuhkan untuk mengolah bahan mentah dari alam, menjadi sesuatu yang memiliki nilai lebih tinggi atau disebut juga sebagai proses produksi.
Sumber daya manusia juga menentukan keberhasilan pembangunan nasional melalui jumlah dan kualitas penduduk. Jumlah penduduk yang besar merupakan pasar yang berpotensi untuk memasarkan hasil-hasil produksi, sementara kualitas penduduk menentukan seberapa besar produktivitas yang ada. Sementara itu, sumber daya modal dibutuhkan manusia untuk mengolah bahan mentah tersebut. Pembentukan modal dan investasi ditujukan untuk menggali dan mengolah kekayaan. Sumber daya modal berupa barang-barang modal sangat penting bagi perkembangan dan kelancaran pembangunan ekonomi karena barang-barang modal juga dapat meningkatkan produktivitas.
2.      faktor non ekonomi
Faktor non ekonomi mencakup kondisi sosial kultur yang ada di masyarakat, keadaan politik, kelembagaan, serta sistem yang berkembang dan berlaku.
Pembangunan ekonomi juga memiliki dampak diantaranya terdapat dampak positif dan dampak negatif (Bannock, 2004):
a.       Dampak positif
1.      Melalui pembangunan ekonomi, pelaksanaan kegiatan perekonomian akan berjalan lebih lancar dan mampu mempercepat proses pertumbuhan ekonomi.
2.      Adanya pembangunan ekonomi dimungkinkan terciptanya lapangan pekerjaan yang dibutuhkan oleh masyarakat, dengan demikian akan mengurangi jumlah pengangguran.
3.      Terciptanya lapangan pekerjaan akibat adanya pembangunan ekonomi secara langsung dapat memperbaiki tingkat pendapatan nasional.
4.      Melalui pembangunan ekonomi dimungkinkan adanya perubahan struktur perekonomian dari struktur akonomi agraris menjadi ekonomi industri, sehingga kegiatan ekonomi yang dilaksanakan oleh Negara akan semakin beragam dan dinamis.
5.      Pembangunan ekonomi menuntut peningkatan kualitas SDM sehingga dalam hal ini, dimungkinkan ilmu pengetahuan dan teknologi akan berkembang dengan pesat, dengan demikian, akan semakin meningkatkan kesejahteraan masyarakat.
b. Dampak negatif
1.      Jika dalam pelaksanaan pembangunan ekonomi tidak terencana dengan baik dapat mengakibatkan adanya kerusakan lingkungan hidup
2.      Perubahan struktur ekonomi agraris menjadi industri (industrialisasi) mengakibatkan berkurangnya lahan pertanian.
3.      Perubahan struktur ekonomi agraris menjadi industri juga dapat mengakibatkan hilangnya habitat alam baik hayati atau hewani.
Pembangunan ekonomi dipandang sebagai proses multidimensional yang mencakup segala aspek dan kebijaksanaan yang komprehensif baik ekonomi maupun non ekonomi. Oleh sebab itu, sasaran pembangunan yang minimal ada dan pasti ada menurut Todaro dalam Suryana (2000:6) adalah sebagai berikut :
1.         Meningkatkan persediaan dan memperluas pembagian atau pemerataan bahan pokok yang dibutuhkan untuk bisa hidup, seperti perumahan, kesehatan, dan lingkungan.
2.         Mengangkat taraf hidup termasuk menambah dan mempertinggi pendapatan dan penyediaan lapangan kerja, pendidikan yang lebih baik, dan perhatian yang lebih besar terhadap nilai-nilai budaya manusiawi, yang semata-mata bukan hanya untuk memenuhi kebutuhan materi, akan tetapi untuk meningkatkan kesadaran akan harga diri baik individu maupun nasional.
3.         Memperluas jangkauan pilihan ekonomi dan sosial bagi semua individu dan nasional dengan cara membebaskan mereka dari sikap perbudakan dan ketergantungan, tidak hanya hubungan dengan orang lain dan Negara lain, tetapi dari sumber-sumber kebodohan dan penderitaan.

Pembangunan yang terpusat dan tidak merata yang dilaksanakan selama ini ternyata hanya mengutamakan pertumbuhan ekonomi serta tidak diimbangi dengan kehidupan sosial, politik yang demokratis, yang telah menyebabkan krisis moneter dan ekonomi yang nyaris berlanjut dengan krisis moral yang memprihatinkan. Hal tersebut kemudian menjadi penyebab timbulnya krisis nasional (tahun 90-an) yang membahayakan persatuan dan kesatuan serta mengancam kelangsungan hidup bangsa dan negara. Oleh karena itu, reformasi di segala bidang harus dilakukan untuk bangkit kembali dan memperteguh kepercayaan diri dan kemampuan untuk melakukan langkah-langkah penyelamatan, pemulihan, pemantapan, dan pengembangan pembangunan ekonomi dengan paradigma baru yang berwawasan kerakyatan.

2.      Konsep Pembangunan Ekonomi dalam Islam
Pembangunan ekonomi merupakan salah satu aspek penting dalam kehidupan yang sangat diperhatikan dalam Islam, namun tetap menempatkan manusia sebagai pusat dan pelaku utama dari pembangunan itu. Islam sebagai agama pengatur kehidupan berperan dalam membimbing dan mengarahkan manusia dalam mengelola sumber daya ekonomi untuk mencapai kemaslahatan di dunia dan akhirat. Khurshid Ahmad [37]meletakkan empat dasardasar filosofi pembangunan yang diturunkan dari ajaran Islam, yaitu:
1.      Tauhîd, yang meletakkan dasar-dasar hubungan antara Allah-manusia dan manusia dengan sesamanya;
2.      Rubûbiyyah, yang menyatakan dasar-dasar hukum Allah untuk selanjutnya mengatur model pembangunan yang bernafaskan Islam;
3.      Khalîfah, yang menjelaskan status dan peran manusia sebagai wakil Allah di muka bumi. Pertanggungjawaban ini menyangkut manusia sebagai Muslim maupun sebagai anggota dari umat manusia. Dari konsep ini lahir pengertian tentang perwalian, moral, politik, serta prinsip-prinsip orgaisasi sosial lainnya.
4.      Tazkiyyah, misi utama utusan Allah adalah menyucikan manusia dalam hubungannya dengan Allah, sesamanya, alam lingkungannya, masyarakat dan negara.

Konsep tauhîd meletakkan peraturan-peraturan tentang hubungan Allah dengan manusia dan hubungan manusia dengan sesama. Konsep rubûbiyyah berarti mengakui sifat Allah sebagai penguasa yang membuat peraturan-peraturan bagi menampung dan menjaga serta mengarahkan kehidupan makhluk ke arah kesempurnaan. Konsep ini merupakan undang-undang asasi dalam alam jagat yang merupakan pedoman tentang model yang suci bagi pembanguan sumber supaya berguna, saling tolong-menolong dan saling bersekutu di antara mereka dalam kebaikan. Konsep khilâfah menempatkan manusia selaku khalîfah di muka bumi ini yang bertanggungjawab sebagai pemegang amanah Allah dalam bidang akhlak, ekonomi, politik, sosial dan juga prinsip organisasi sosial bagi manusia. Sementara konsep tazkiyyah berperan dalam penyucian hubungan manusia dengan Allah, manusia dengan manusia dan manusia dengan alam sekitarnya. Artinya, konsep ini mengajarkan manusia untuk membangunkan dirinya yang akhirnya dapat membangunkan semua dimensi kehidupannya termasuk dimensi ekonomi. Hasilnya adalah falâh.[38] yaitu kesejahteraan kehidupan di dunia dan di akhirat.
Berdasarkan dasar-dasar filosofis di atas selanjutnya dapat diperjelas melalui prinsip pembangunan ekonomi menurut Islam sebagai berikut:[39]
a.       Pembangunan ekonomi dalam Islam bersifat komprehensif dan mengandung unsur spiritual, moral, dan material. Pembangunan merupakan aktivitas yang berorientasi pada tujuan dan nilai. Aspek material, moral, ekonomi, sosial spiritual dan fisikal tidak dapat dipisahkan. Kebahagian yang ingin dicapai tidak hanya kebahagian dan kesejahteraan material di dunia, tetapi juga di akhirat.
b.      Fokus utama pembangunan adalah manusia dengan lingkungan kulturalnya. Ini
c.       berbeda dengan konsep pembangunan ekonomi modern yang menegaskan bahwa wilayah operasi pembangunan adalah lingkungan fisik saja. Dengan demikian Islam memperluas wilayah jangkauan obyek pembangunan dari lingkungan fisik kepada manausia.
d.      Pembangunan ekonomi adalah aktivitas multidimensional sehingga semua usaha harus diserahkan pada keseimbangan berbagai faktor dan tidak menimbulkan ketimpangan.
e.       Penekanan utama dalam pembangunan menurut Islam, terletak pada pemanfaatan sumberdaya yang telah diberikan Allah kepada ummat manusia dan lingkungannya semaksimal mungkin. Selain itu, pemanfaatan sumberdaya tersebut melalui pembagian, peningkatannya secara merata berdasarkan prinsip keadilan dan kebenaran. Islam menganjurkan sikap syukur dan adil dan mengutuk sikap kufur dan zalim.

Konsep-konsep Islam menginspirasi seluruh kehidupan seorang Muslim. Kepercayaan pada keesaan Sang Pencipta alam semesta ini melimpahkan suatu kesatuan dasar pada berbagai lapisan masyarakat. Konsep Ilâhi (Rubûbiyyah) mencegah manusia dari kesombongan yang merupakan ciri dari peradaban modern. Konsep khilâfah dan tazkiyyah menjadi fondasi pada kebijakan pembangunan, memberikan kepada manusia rasa tanggung jawab dalam menjalankan urusan dunia dan memastikan bahwa kegiatan pembangunan tidak merusak lingkungan alam yang diciptakan oleh Allah.  Dengan demikian, konsep pembangunan ekonomi didefinisikan secara komprehensif.[40]
Tujuan utama dari pembangunan ekonomi menurut Islam adalah untuk mencapai kesejahetaraan manusia. Manusia telah ditempatkan di bumi sebagai pelaku utama atau khalîfah untuk menjalankan proses pembangunan. Manusia selain sebagai pelaku utama pembangunan juga sebagai penikmat utama dari pembangunan itu, karena melalui pembangunan manusia, dia dapat menjalankan tugas utamanya diciptakan di muka bumi ini, yaitu beribadah.[41]

Fokus dan inti utama pembangunan dalam Islam adalah pembangunan manusia itu sendiri termasuk aspek sosial dan budayanya. Ini berarti Islam menganggap diri manusia sendirilah yang merupakan tempat sebenarnya aktivitas pembangunan itu. Pemikiran ini berangkat dari pandangan Islam yang menempatkan manusia sebagai khalîfah yang diamanahkan oleh Allah untuk mengelola bumi sesuai dengan kehendak-Nya (syariat Islam) yang pada suatu saat nanti (di akhirat) akan diminta pertanggungjawaban atas pembangunan (amalan) yang telah dilakukannya.

Isyarat Pembangunan dalm A-Qur’an;
Pembangunan dalam pemikiran Islam bermuara pada kata ‘imârah atau ta’mîr[42] sebagai isyarat dalam Al Quran:
وَإِلَى ثَمُودَ أَخَاهُمْ صَالِحًا قَالَ يَا قَوْمِ اعْبُدُوا اللَّهَ مَا لَكُمْ مِنْ إِلَهٍ غَيْرُهُ هُوَ أَنْشَأَكُمْ مِنَ الأرْضِ وَاسْتَعْمَرَكُمْ فِيهَا فَاسْتَغْفِرُوهُ ثُمَّ تُوبُوا إِلَيْهِ إِنَّ رَبِّي قَرِيبٌ مُجِيبٌ (٦١)
dan kepada Tsamud (kami utus) saudara mereka shaleh. Shaleh berkata: "Hai kaumku, sembahlah Allah, sekali-kali tidak ada bagimu Tuhan selain Dia. Dia telah menciptakan kamu dari bumi (tanah) dan menjadikan kamu pemakmurnya[726], karena itu mohonlah ampunan-Nya, kemudian bertobatlah kepada-Nya, Sesungguhnya Tuhanku Amat dekat (rahmat-Nya) lagi memperkenankan (doa hamba-Nya)."
[726] Maksudnya: manusia dijadikan penghuni dunia untuk menguasai dan memakmurkan dunia.
Kemudian dihubungan dengan penciptaan manusia di bumi sebagai khalîfah:

وَإِذْ قَالَ رَبُّكَ لِلْمَلائِكَةِ إِنِّي جَاعِلٌ فِي الأرْضِ خَلِيفَةً قَالُوا أَتَجْعَلُ فِيهَا مَنْ يُفْسِدُ فِيهَا وَيَسْفِكُ الدِّمَاءَ وَنَحْنُ نُسَبِّحُ بِحَمْدِكَ وَنُقَدِّسُ لَكَ قَالَ إِنِّي أَعْلَمُ مَا لا تَعْلَمُونَ (٣٠)
30. ingatlah ketika Tuhanmu berfirman kepada Para Malaikat: "Sesungguhnya aku hendak menjadikan seorang khalifah di muka bumi." mereka berkata: "Mengapa Engkau hendak menjadikan (khalifah) di bumi itu orang yang akan membuat kerusakan padanya dan menumpahkan darah, Padahal Kami Senantiasa bertasbih dengan memuji Engkau dan mensucikan Engkau?" Tuhan berfirman: "Sesungguhnya aku mengetahui apa yang tidak kamu ketahui."

Menurut Joni Tamkin tujuan kebijakan pembangunan dalam kerangka Islam adalah:[43]
a.       Pembangunan sumber daya insani, yaitu menjadikan manusia sebagai objektif utama dari kebijakan pembangunan Islam. Fakus utama dilakukan pada pengembangan pendidikan, orientasi spiritual dan pengembangan struktur hubungan yang berbasiskan kepada kerjasama, perkongsian dan penyertaan.
b.      Pertambahan pengeluaran yang bermanfaat, dalam hal ini diutamakan pada pengeluaran yang mengutamakan keperluan dasar (dharûriyât) dibandingkan dengan pengeluaran atas barang pelengkap (kamâliyât) dan barang mewah (tahsiniyât).
c.       Peningkatan kualitas kehidupan, yaitu melalui penciptaan lapangan kerja, pengadaan sistem jaminan sosial, dan pemeraan pendapatan.
d.      Pembangunan yang seimbang, yaitu pembangunan yang harmoni, tidak terjadi kepincangan pembangunan di berbagai sektor dan wilayah.
e.        Pembangunan teknologi baru
f.       Pengurangan ketergantungan terhadap utang luar negeri

Tujuan pokok pembangunan adalah menanggulangi kemiskinan melalui terpenuhinya segala kebutuhan pada taraf hidup sejahtera. Adapun tujuan secara umum adalah terwujudnya keadilan distribusi, efisiensi pendayagunaan sumber daya ekonomi, mengembangkan kemampuan produksi dan sumberdaya manusia. Kemudian menciptakan segala sesuatu yang dikehendaki dalam maqâshid syari’ah, sebagai hak-hak dasar setiap individu. Berupa lima maslahat pokok (al-dharuriyât al-khams), terkait dengan segala kebutuhan dasar ekonomi yang harus terpenuhi, demi terpeliharanya keselamatan agama, jiwa, akal, keturunan dan harta manusia. Selain itu juga menurut Umer Chapra pembangunan harus mampu mengurangi kesenjangan antara daerah, serta memperhatikan kepentingan generasi mendatang berkenaan dengan cara mengeksploitasi sumber daya alam yang tersedia. Strategi dan model pembangunan yang diterapkan dalam masyarakat muslim atau negara Muslim harus cocok dan sesuai dengan nilai-nilai yang dianut oleh komunitas muslim tersebut. Tidak boleh terjadi pertentangan antara tujuan dan strategi pembangunan yang diimplementasikan.[44]

















BAB III
METODE PENELITIAN
1.      Pendekatan Penelitian
Pendekatan yang digunakan dalam penelitian ini adalah pendekatan kualitatif. Menurut Irawan ( 2006 ) peneliti kualitatif berfikir secara induktif (grounded). Penelitian kualitatif tidak dimulai dengan mengajukan hipotesis dan kemudian menguji kebenarannya (berfikir deduktif), melainkan bergerak dari bawah dengan mengumpulkan data sebanyak mungkin tentang sesuatu, dan dari data itu dicari polapola, hukum, prinsip-prinsip, dan akhirnya menarik kesimpulan dari analisis yang telah dilakukan. Karena itu, kalaupun ada hipotesis dalam penelitian kualitatif, hipotesis tersebut tidak diuji untuk diterima atau ditolak.
Penelitian kualitatif menurut Guba dan Lincoln (1985. hal.198).),”Qualitative Methods are stressed within the naturalistic paradigm is antiquantitative but because qualitative methods come more easily to the human as instrument
Dalam penelitian kualitatif yang ditekankan adalah paradigm natural, karena manusia sebagai instrument utama dalam penelitian yaitu pihak Direktorat Jenderal Pajak sebagai pembuat kebijakan serta pihak lain yang memiliki keahlian di bidang perpajakan.
Dalam penelitian kualitatif tidak memulai dengan sebuah teori untuk menguji atau membuktikan. Berangkat dari kasus-kasus yang bersifat khusus berdasarkan pengalaman nyata untuk kemudian dirumuskan menjadi model, konsep, teori, prinsip, proporsi, atau definisi yang bersifat umum. Pengambilan data pada penelitian kualitatif dilakukan secara berulang-ulang (iteration) sampai dirasakan jenuh (redundancy) atau sampai dirasakan jawaban yang didapat hampir sama. Seperti yang dikatakan oleh Guba dan Lincoln (1985) “The Iteration are repeated as often as necessary until redundancy is achived.” (hal.188).
Alasan menggunakan pendekatan kualitatif karena penelitian ini dilakukan untuk memperoleh gambaran mendalam mengenai objek penelitian yaitu mengenai bagaimana perkemabngan dan kemajuan wakaf sebagiaman UU No.41 Tahun 2004 dikaitkan dengan studi pembangunan ekonomi melalui wakaf di Indonesia dan Malaysia. Untuk tambahan informasi yang akurat akan wawancara mendalam dengan pihak lembaga Badan Wakaf Indonesia  dan pihak praktisi untuk mengetahui pendapat mereka mengenai implementasi perwakafan di Indonesia dan gambaean di Malaysia.
Sehingga hasil wawancara dan studi kepustakaan dianalisis sehingga dapat menjawab pertanyaan penelitian. Oleh karena itu peneliti memilih pendekatan kualitatif dalam penelitian ini.
2.       Jenis Penelitian
Jenis penelitian yang digunakan adalah penelitian deskriptif. Pemilihan jenis ini didasarkan atas pertimbangan bahwa dalam penelitian ini pertama-tama penulis akan menggambarkan mengenai berlangsungnya pelaksanaan perwakafan di Indonesia dan Malaysia dengan didukung data-data dan teori tentang wakaf dan pemabngunan ekonomi. Selanjutnya dilakukan analisis atas praktek yang ada pada saat ini dan menyimpulkan dari hasil analisis yang dikaji oleh peneliti saat ini.
Penelitian deskriptif menurut Neuman ( 2000 ) adalah: “descriptive research present a picture of the a specific details of situation, social setting, or relationship. The outcome of a descriptive study is a detailed picture of the subject.  Jadi dalam penelitian deskriptif menggambarkan situasi, kondisi sosial ataupun hubungan dan hasil dari penelitian deskriptif adalah gambaran subjek secermat mungkin.
3.       Metode Pengumpulan Data
Pengumpulan data dalam penelitian ilmiah adalah prosedur yang sistematis untuk memperoleh data yang diperlukan. Dalam penelitian kualitatif teknik pengumpulan data dapat dilakukan melalui setting dari berbagai sumber dan cara. Metode pengumpulan data sangat erat hubungannya dengan masalah penelitian yang ingin dipecahkan. Untuk memperoleh data dan informasi yang dibutuhkan dalam penelitian ini digunakan beberapa teknik dan alat pengumpulan data sebagai berikut:
a.        Studi Kepustakaan ( Library Research )
Dalam penelitian ini studi kepustakaan dilakukan dengan cara membaca dan mempelajari sejumlah buku, literatur, jurnal ilmiah, website internet untuk mendapatkan kerangka teori yang menjadi landasan dalam penelitian ini. Selain itu peneliti juga mempelajari ketentuan- ketentuan perpajakan yang terkait dengan objek penelitian untuk memahami konteks permasalahan secara mendalam.
b.       Studi Lapangan (field research)
Studi lapangan dilakukan dengan melakukan wawancara mendalam (dengan menggunakan pedoman wawancara) kepada para key informan, yaitu orang-orang yang kompeten yang memahami permasalahan yang diangkat dalam penelitian ini, yaitu:
1.       Pihak Lembaga Badan Wakaf Indonesia
a.       Pihak Kantor BWI selaku lembaga sertifikasi dan pendataan wakaf di Indonesai . Dalam hal ini wawancara dilakukan dengan pejabat pada Badan Wakaf Indonesia
b.      Kepala Kantor. Wawancara dengan informan tersebut dimaksudkan untuk mendapatkan informasi mengenai proses berlangsungnya prosedur perwakafan di Indonesia.
1.      Pihak Akademisi
Wawancara dengan pihak akademisi dilakukan yang berkompeten dan focus pada perwakafan . Wawancara dengan akademisi dimaksudkan untuk meminta pandangan mengenai pelaksanaan perwakafan di Indonesia.
2.      Pihak Praktisi
a.       Lembaga Pendidikan/ Pesantren dengan Status Wakaf dengan kemandirian Ekonominya.
b.      YPPWPM Gontor: Yayasan Pemeliharaan Perluasan Wakaf Pondok Modern Gontor.
c.       Dan saterusnya.
4.       Teknik Analisis Data
Analisis data dapat didefinisikan sebagai proses mencari dan mengatur secara sistematis bahan-bahan yang telah di peroleh , yang seluruhnya dikumpulkan untuk meningkatkan pemahaman terhadap fenomena yang diteliti atau membantu peneliti untuk mempresentasikan temuan penelitian. ( Bogdan, Bikken sebagaimana dikutip Irawan, 2006)
Peneliti mengumpulkan data-data dan menganalisis data yang dikumpulkan dari lapangan kemudian mengambil kesimpulan untuk menjawab pokok permasalahan yang telah dirumuskan sebelumnya..
Dalam melakukan penelitian terhadap fenomena yang diteliti adalah bagaimana perkembangan wakaf di Indonesia dan Malaysia dan wakaf sebagai instrument pembangunan ekonomi . kemudiaan dari pertanyaan kepada para informan kunci yang memiliki pengetahuan memadai mengenai fenomena yang akan diteliti serta membandingkanya dengan teori yang ada. Dari abstraksi data-data empiris yang diperoleh dari lapangan , peneliti akan menarik kesimpulan.
DAFTAR PUSTAKA
Ali Rama dan Makhlani, PEMBANGUNAN EKONOMI DALAM TINJAUAN MAQÂSHID SYARI’AH, Diterbitkan di Jurnal Penelitian dan Kajian Keagaamaan, Balitbang Kemenag: Dialog, Vol. 1, No. 1, Juni 2013, h. 31-46.
Al-Qur’an Al-Karim\
Asmak Ab Rahman, PERANAN WAKAF DALAM PEMBANGUNAN EKONOMI UMAT ISLAM DAN APLIKASINYA DI MALAYSIA, Jurnal Syariah, Jil. 17, Bil. 1 (2009) 113-152
Ausaf Ahmad, “Economic Development in Islamic Development Revisited”, dalam Development and Islam: Islamic Perspectives on Islamic Development, (New Delhi: Institute of Objective Studies, 1998), hal. 52.
Buletin Al-Awqaf, Wakaf Wujudkan Kemandirian Ekonomi, edisi 2 Tahun 2015
Cholil Nafis, Menggali Sumber Dana Umat Melalui Wakaf Uang, Makalah tidak diterbitkan, 2007.
Direktorat Pemberdayaan Wakaf Direktorat Jendral Bimbingan Masyarakat Islam Departemen Agama RI , Fiqih Wakaf,
Farid wadjdy& Mursyid , Wakaf & Kesejahteraan Umat (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2007)
Hendi Suhendi, Fiqh Muamalah (Jakarta: Raja Grafindo Persada, 2002)
Imam muhammad bin isma‟il, subulussalam, surabaya al hidayah, juz 3 hal 88.  Sulaiman Rasjid, Fiqih Islam, (Bandung: Sinar Baru Algensindo, 2012), h. 340.
Irfan Shauqi Beik, Ekonomi Pembangunan Syariah, Jakarta: Rajawali Pres, 2016.,hal.13
Jaih Mubarok, Wakaf Produktif,h.58-59 
Joni Tamkin, “Pemikiran Pembangunan Ekonomi Berteraskan Islam”, Juranl Ushuluddin, Vol. 27, Th. 2008, hal. 98-101.
Kurshid Ahmad, “Pembangunan Ekonomi Dalam Perspektif Islam”, dalam Etika Ekonomi Politik, (Surabaya: Risalah Gusti, 1997), hal. 8.
Muhammad Abid Abdullah al-Kabisi, Hukum Wakaf, ( Jakarta, Dompet Dhauafa Republika, 2004), h. 41 
Muhammad Abid Abdullah al-Kabisi, Hukum Wakaf, h. 251 
Muhammad Fu’ad Abdul Baqi, Sahih Muslim, Bandung, Maktab dahlan, tt, hlm. 1255
Rachmadi Usman Hukum Perwakafan di Indonesia (Jakarta: Sinar Grafika, 2009), h. 134 
Saifullah, Ekonomi Pembangunan Islam, (Bandung: Gunungdjati Press, 2012), hal 44.
Suhrawardi Lubis, “Potensi Wakaf Untuk Kemandirian Umat” dalam Suhrawardi K. Lubis, Wakaf dan Pemberdayaan Umat, (Jakarta: Sinar Grafi ka, 2010)
Syaih muhammad bin shalih al-utsmani, panduan wakaf hibh dan wasiat,  
Syihabuddin ar Ramly, Nihayah al-Muhtaj (Beirut Darul-al Fakir., tt) juz 5 hal . 360-361. 
Umar Chapra, Islam dan Pembangunan Ekonomi, edisi terjemahan (Jakarta: Gema Insani, 2000), hal. 5.
Wahbah Zuhaili, Al-Fiqhu al-Islami wa ‘Adillatuhu, Damaskus: Dar al-Fikr alParadigm Baru Wakaf Di Indonesia, (Jakarta: Direktorat Pemberdayaan Wakaf Direktorat Jendral Bimbingan Masyarakat Islam Departemen Agama RI), 1 



[2] Republika, Selasa, 8 Juli 2008.

[3] Buletin Al-Awqaf, Wakaf Wujudkan Kemandirian Ekonomi, edisi 2 Tahun 2015
[4] Republika, Selasa , 2 Juli 2008
[5] QS. 2: 92
[6] Cholil Nafis, Menggali Sumber Dana Umat Melalui Wakaf Uang, Makalah tidak diterbitkan, 2007.
[7] Suhrawardi Lubis, “Potensi Wakaf Untuk Kemandirian Umat” dalam Suhrawardi K. Lubis, Wakaf dan Pemberdayaan Umat, (Jakarta: Sinar Grafi ka, 2010), hlm. 116.
[8] Asmak Ab Rahman, PERANAN WAKAF DALAM PEMBANGUNAN EKONOMI UMAT ISLAM DAN APLIKASINYA DI MALAYSIA, Jurnal Syariah, Jil. 17, Bil. 1 (2009) 113-152
[9] Irfan Shauqi Beik, Ekonomi Pembangunan Syariah, Jakarta: Rajawali Pres, 2016.,hal.13
[10] Wahbah Zuhaili, Al-Fiqhu al-Islami wa ‘Adillatuhu, Damaskus: Dar al-Fikr al-
Mu’ashir, 2008, hlm, 151.
[11]  Paradigm Baru Wakaf Di Indonesia, (Jakarta: Direktorat Pemberdayaan Wakaf Direktorat Jendral Bimbingan Masyarakat Islam Departemen Agama RI), 1 
[12] Muhammad Abid Abdullah al-Kabisi, Hukum Wakaf, ( Jakarta, Dompet Dhauafa Republika, 2004), h. 41 
[13] QS.2:92
[14] Muhammad Fu’ad Abdul Baqi, Sahih Muslim, Bandung, Maktab dahlan, tt, hlm. 1255
[15] Imam muhammad bin isma‟il, subulussalam, surabaya al hidayah, juz 3 hal 88. 
[16] Sulaiman Rasjid, Fiqih Islam, (Bandung: Sinar Baru Algensindo, 2012), h. 340. 
[17] Direktorat Pemberdayaan Wakaf Direktorat Jendral Bimbingan Masyarakat Islam Departemen Agama RI, Fiqih Wakaf, h. 22-23 
[18] Syihabuddin ar Ramly, Nihayah al-Muhtaj (Beirut Darul-al Fakir., tt) juz 5 hal . 360-361. 
[19] Muhammad Abid Abdullah al-Kabisi, Hukum Wakaf, h. 251 
[20] Direktorat Pemberdayaan Wakaf Direktorat Jendral Bimbingan Masyarakat Islam Departemen Agama RI , Fiqih Wakaf, h. 26-29 
[21] Direktorat Pemberdayaan Wakaf Direktorat Jendral Bimbingan Masyarakat Islam Departemen Agama RI , Fiqih Wakaf, h. 46 
[22] Direktorat Pemberdayaan Wakaf Direktorat Jendral Bimbingan Masyarakat Islam Departemen Agama RI, Fiqih Wakaf, h. 55 
[23] Syaih muhammad bin shalih al-utsmani, panduan wakaf hibh dan wasiat (jakarta: pustaka imam syafi‟i, 2008), h. 13 
[24] Syaih muhammad bin shalih al-utsmani, panduan wakaf hibh dan wasiat, h. 9 
[25] Direktorat Pemberdayaan Wakaf Direktorat Jendral Bimbingan Masyarakat Islam Departemen Agama RI , Fiqih Wakaf, h. 14-15 
[26] Hendi Suhendi, Fiqh Muamalah (Jakarta: Raja Grafindo Persada, 2002),h. 244-24 
[27] Rachmadi Usman Hukum Perwakafan di Indonesia (Jakarta: Sinar Grafika, 2009), h. 134 
[28] Rachmadi Usman ,Hukum Perwakafan di Indonesia. h. 135 
[29] Farid wadjdy& Mursyid , Wakaf & Kesejahteraan Umat (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2007), h. 163 
[30] Farid wadjdy& Mursyid , Wakaf & Kesejahteraan Umat (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2007), h. 164 
[31] Farid wadjdy& Mursyid , Wakaf & Kesejahteraan Umat (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2007), h. 164- 165 
[32] Suhrawardi,Wakaf & Pemberdataan Umat (Jakarta : Sinar Grafika, 2010), h. 151 
[33] Suhrawardi,Wakaf & Pemberdataan Umat (Jakarta : Sinar Grafika, 2010), h. 151 
[34] Ibid, hal. 155 
[35] Jaih Mubarok, Wakaf Produktif, h. 57 
[36] Jaih Mubarok, Wakaf Produktif,h.58-59 
[37] Kurshid Ahmad, “Pembangunan Ekonomi Dalam Perspektif Islam”, dalam Etika Ekonomi Politik, (Surabaya: Risalah Gusti, 1997), hal. 8.

[38] Kata falâh dan turunannya telah diucapkan sebanyak 40 kali dalam Al Quran. Falâh menurut Umar Chapra adalah “real well-being of all the people living on earth, irrespective of their race, colour, age, sex or nationality.
[39] Ali Rama dan Makhlani, PEMBANGUNAN EKONOMI DALAM TINJAUAN MAQÂSHID SYARI’AH, Diterbitkan di Jurnal Penelitian dan Kajian Keagaamaan, Balitbang Kemenag:
Dialog, Vol. 1, No. 1, Juni 2013, h. 31-46.
[40] Ausaf Ahmad, “Economic Development in Islamic Development Revisited”, dalam Development and Islam: Islamic Perspectives on Islamic Development, (New Delhi: Institute of Objective Studies, 1998), hal. 52.
[41] Lihat QS. Al-Dhâriyyat : 56.
[42]  Saifullah, Ekonomi Pembangunan Islam, (Bandung: Gunungdjati Press, 2012), hal 44.
[43] Joni Tamkin, “Pemikiran Pembangunan Ekonomi Berteraskan Islam”, Juranl Ushuluddin, Vol. 27, Th. 2008, hal. 98-101.
[44] Umar Chapra, Islam dan Pembangunan Ekonomi, edisi terjemahan (Jakarta: Gema Insani, 2000), hal. 5.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

SOAL BAHASA ARAB SAT KELAS 10 DAN 11 ( SUSULAN/ REMEDIAL/PERBAIKAN NILAI)

 ASSALAMULAIKUM WRWB BAGI SISWA-SISWI YANG BELUM SEMPAT MENGIKUTI UJIAN BAHASA ARAB KELAS 10 DAN 11 DAPAT MENDOWNLOAD SOAL PADA LINK BERIKUT...