BAB I
PENDAHULUAN
A.
Latar Belakang Masalah
Krisis ekonomi yang dialami bangsa
Indonesia, sejak Juli 1997, merambat ke berbagai aspek kehidupan berbangsa dan
bernegara. Melemahnya kegiatan perekonomian, sebagai akibat depresiasi nilai
tukar yang sangat tajam dan inflasi yang tinggi, tidak hanya menyebabkan
merosotnya tingkat pertumbuhan ekonomi, tetapi juga memaksa sektor ekonomi
lainnya menurunkan atau bahkan menghentikan usahanya. Keadaan ini,
mengakibatkan bertambahnya pengangguran yang pada gilirannya memicu berbagai
masalah sosial seperti meningkatnya angka kemiskinan dan kriminalitas yang
mengancam stabilitas politik. Kemudian sampai akhir tahun 2007 keadaan semakin
parah dengan tingkat kemiskinan di Indonesia, berdasarkan data BPS tahun 2007
telah berkurang menjadi 16,5%, turun drastis dibandingkan dengan awal tahun
1998 yang mencapai 24,2%. Data yang dibuat oleh BPS, ternyata tak lebih hanya
dalam angka semata, tidak sesuai dengan fakta karena kenyataanya tingkat
kemiskinan di Indonesia masih tinggi yakni 49,5% dengan merujuk pada standar
Bank Dunia. Keadaan ini disebabkan karena sektor ril tidak bergerak, PHK
(Pemutusan Hubungan Kerja) terus terjadi karena alasan keterpurukan ekonomi;
antara lapangan kerja yang tersedia dengan jumlah tenaga kerja tidak seimbang,
Akibatnya, sejumlah persoalan terutama pengangguran dan kemiskinan masih
menjadi pekerjaan rumah bagi pemerintah.[1]
Bercemin pada kondisi perekonomian yang sangat memprihatinkan Islam
sebetulnya telah menampakkan solusinya. Karena Islam memiliki konsep yang
solutif di antaranya dengan menjadikan zakat dan wakaf sebagai bagian dari
sumber pendapatan negara. Islam memiliki konsep pemberdayaaan ekonomi umat,
yaitu dengan memaksimalkan peran lembaga pemberdayaan ekonomi umat seperti
wakaf dan zakat, kalau saja wakaf dikelola secara baik, dapat meningkatkan
taraf hidup masayarakat.
Selama ini, peruntukan wakaf di Indonesia kurang mengarah pada
pemberdayaan ekonomi umat, cenderung terbatas hanya untuk kepentingan kegiatan
ibadah, pendidikan, dan pemakaman semata, kurang mengarah pada pengelolaan
wakaf produktif. Beban sosial ekonomi yang dihadapi bangsa saat ini, seperti
tingginya tingkat kemiskinan dapat dipecahkan secara mendasar dan menyeluruh
melalui pengelolaan wakaf dalam ruang lingkup yang lebih luas yakni pengelolaan
wakaf produktif.
Indonesia dikenal sebagai salah satu negara dengan jumlah penduduk
muslim terbesar di dunia. Jumlahnya mencapai 88 persen dari seluruh penduduk
Indonesia yang berkisar sekitar 235 juta jiwa. Jumlah penduduk muslim ini
memiliki potensi besar dalam pemberdayaan ekonomi masyarakat dan pengembangan
perekonomian nasional. Salah satu contoh instrument yang dapat dimanfaatkan
adalah wakaf. Berwakaf bagi seorang muslim merupakan realisasi ibadah kepada
Allah melalui harta benda yang dimilikinya, yaitu dengan melepas benda yang
dimilikinya untuk kepentingan umum.
Merujuk pada data Departemen Agama (Depag) RI, jumlah tanah wakaf
di Indonesia mencapai 2.686.536.656,68 meter persegi atau sekitar 268.653,67
hektar (ha) yang tersebar di 366.595 lokasi di seluruh Indonesia. Jumlah tanah
wakaf yang besar ini merupakan harta wakaf terbesar di dunia.[2]
Sedangakan pada 2014 dirujuk pada jurnal Al Awqaf tabel
dibwah ini menggambarkan presentase jumlah penduduk muslim Indonesia dilihat
secara global hanya saja Malaysia tidak termasuk dalam data ini. Indonesia
adalah Negara dengan mayoritas penduduk beragama Islam terbesar nomor satu di
dunia. Jumlah ini mencapai 209.120.000 jiwa dan setara dengan 13,% populasi
muslim dunia Dengan populasi muslim sebesar ini, maka sejatinya perekonomian
dengan berlandaskan syariat Islam sangat dimungkinkan dan akan dapat berkembang
dengan baik.[3]
Dari sana peneliti menyimpulkan bahwa secara luas potensi
perwakafan di negara ini sangat luas guna dan manfaatnya terhadap kemajuan
ekonomi umat Islam. Hanya saja peneliti berasumsi bahwa dari sekian banyak
potensi secara pemanfatan dan pendayaagunaan potensi tersebut di Indonesia masih
belum optimal. Karena secara pengelolaan wakaf masih dikelola secara
tradisional melalui lembaga atau yayasan dan peran peran pemerintah masih
sebagai legalitor ikrar penyataan wakaf.
Dalam hal ini peneliti ingin mengkomparasikan bagaimana optimalisasi
pembangunan ekonomi melalui wakaf di Indonesia dan Malaysia. Dari sumber data
menyebutkan Indonesia masih kalah jauh dengan Malaysia dalam hal ini. Malaysia memiliki Johor Corporation
yang mengelola harta wakaf untuk diinvestasikan di berbagai sektor ekonomi.
Singapura memiliki WAREES (Waqaf Real Estate Singapore) yang mengelola
semua aset wakaf untuk kepentingan pemberdayaan masyarakat. Mengapa potensi
wakaf di Indonesia belum produktif? Disebutkan masalah ini terletak ditangan
Nazhir, selaku pemegang amanah dari Waqif (orang yang berwakaf) untuk mengelola
dan mengembangkan harta wakaf. Artinya, pengelolaan harta wakaf belum dilakukan
secara professional.[4] Dari hal tersebut peneliti
berusaha ingin menampilkan dan mengkaji potensi wakaf sebagai instrument modal
pembangunan ekonomi bagi umat Islam khususnya dan negara Indonesia dibandingkan
dengan praktik di Malaysia.
Karena wakaf adalah instrumen ekonomi Islam yang unik yang
mendasarkan fungsinya pada unsur kebajikan (birr), kebaikan (ihsan)
dan persaudaraan (ukhuwah). Sebagaiman al-qur’an menyampaikan dalam Al-imran:92.
لَنْ تَنَالُوا الْبِرَّ حَتَّى تُنْفِقُوا مِمَّا تُحِبُّونَ وَمَا
تُنْفِقُوا مِنْ شَيْءٍ فَإِنَّ اللَّهَ بِهِ عَلِيمٌ (٩٢)
“kamu sekali-kali tidak sampai kepada kebajikan (yang sempurna),
sebelum kamu menafkahkan sehahagian harta yang kamu cintai. dan apa saja yang
kamu nafkahkan Maka Sesungguhnya Allah mengetahuinya.[5]
Ciri utama wakaf yang sangat membedakan dengan sektor voluntary
Islam yang lain adalah ketika wakaf ditunaikan, maka terjadi pergeseran
kepemilikan pribadi menuju kepemilikan Allah SWT. yang diharapkan abadi dan
memberikan manfaat secara berkelanjutan.[6]
Sedangkan bagi pewakaf (wakif) esensinya akan memperoleh pahala secara
terus-menerus, selagi harta yang diwakafkannya itu masih memberikan manfaat
kepada masyarakat umum, sepanjang itu pula ia memperoleh manfaat berupa pahala,
walaupun wakif telah meninggal dunia.[7]
Melalui wakaf diharapkan akan terjadi proses distribusi manfaat bagi masyarakat
secara lebih luas, dari manfaat pribadi (private benefit) menuju manfaat
yang besar bagi perkembangan Islam dan pembangunan ekonomi pada umat muslimin
secara luas (social benefit). Hal ini akan terjadi bila wakaf dikelola
dengan baik dan profesional.
Wakaf adalah instrumen modal sebagai pembangunan ekonomi. Secara
umum menurut Menurut Goulet dalam Asmak Ab Rahman (2009), terdapat tiga nilai dasar dalam
pembangunan ekonomi yaitu keperluan
dasar, harga diri dan kebebasan.kebutuhan dasaryang diperlukan adalah meliputi makanan,
tempat tinggal, kesihatan dan perlindungan.
Merupakan komponen yang sangat penting bagi pembangunan ialah kebutuhan
dasar dimana ianya termasuk makanan, kesihatan, perlindungan dan tempat
tinggal. Sekiranya keperluan-keperluan asas ini tidak dapat dipenuhi maka akan
berlaku kemiskinan di kalangan rakyat.[8] Dalam Islam, pembangunan ekonomi tidak hanya
factor material dan fisik semata melainkan adalah penanaman Tauhid sebagai
filosofi dasar dengan tujuan agar manusia tidak hanya sejahtera di dunia akan
tetapi demi kesejahteraan akhirat.[9] Melihat
hal ini peneliti tertarik untuk mengkaji lebih lanjut tentang wakaf sebagai
instrument modal pembangunan ekonomi Umat khususnya dan negara umumnya, maka
menyimpulkan untuk meneliti secara kualitatif dengan pendekatan kajian pustaka
tau literature yaitu “ANALISIS OPTILAMALISASI WAKAF SEBAGAI INSTRUMEN
PEMBANGUNAN EKONOMI PERBANDINGAN DI INDONESIA DAN MALAYSIA”.
B.
Rumusan Masalah
1.
Bagaimana
pencapaian Indonesia dan Malaysia dalam optimalisasi wakaf dalam pembangunan
ekonomi?
2.
Bagaimana
peran dan setrategi lembaga wakaf untuk optimalisasi wakaf dalam pembangunan ekonomi
di Indonesia dan Malaysia?
C.
Tujuan penelitian
1.
Untuk
menganalisa dan memaparkan pencapaian
Indonesia dan Malaysia dalam optimalisasi wakaf dalam pembangunan ekonomi.
2.
Untuk
menganalisa dan mengetahui peran dan setrategi lembaga wakaf untuk optimalisasi
wakaf dalam pembangunan ekonomi di Indonesia dan Malaysia
D.
Tinajuan Penelitian Terdahulu
Penelitian ini bukanlah satu-satunya
karya tulis yang pertama membahas tentang pemberdayaan ekonomi masyarakat, akan
tetapi pernah diteliti oleh penelitian-penelitian sebelumnya. Adapun penelitian
sebelumnya yang berkaitan dengan masalah dalam penelitian ini di antaranya
adalah:
1.
Mahsun,
Hukum dan Manajerial Wakaf di Malaysia. Hasil dari jurnal penelitian ini
adalah Potret pelaksanaan dan kebijakan undang-undang wakaf cukup baik dari
ranah hukum positif dan normative berdasarkan madzab Syafi’i. Adapun persamanan
Penelitian ini membahas tentang aspek wakaf dan tata laksana undang-undang
wakaf di Malaysia. Dan perbedaan Penelitiannya membahas tentang perbandingan
aspek peranan wakaf sebagai instrument pembangunan ekonomi di Indonesia
dan Malaysia.
2.
Amin
Mukhtar, Potensi Wakaf Menjadi Lembaga Keuangan Publik Jurnal
Asy-Syari‘ah Vol. 17 No. 1, April 2015. Hasil jurnal ilmiah ini: Sebagaimana seharusnya wakaf dan menjadikan
kesejahteraan dan kemandirian ekonomi akan tetapi di Indonesia masih belum dikatakan optimal
dibanding dengan pengelolaan wakaf di negara muslim pada era modern yang sangat
beragam, baik dilihat dari sisi sejarah, regulasi, pelaksanaan, dan
pengembangannya. Padahal dalam sejarahnya syariat wakaf dalam Islam sudah sejak
lama di praktekkan. Persamaan penelitian Peranan wakaf sebagai instrumen
pembangunan ekonomi dan indikator kesejahteraan umat. Sedangkan perbedaan Penelitian
selannjutnya ini akan membahas tentang optimalisasi wakaf sebagai instrument
pembangunan ekonomi perbanding di Indonesia dan Malaysia.
3.
Ahmad Suwaidi, Wakaf dan
Penerapannya di Negara Muslim Economic: Jurnal Ekonomi dan Hukum Islam, Vol. 1,
No. 2, 2011 Sebagaimana seharusnya wakaf dan menjadikan kesejahteraan dan
kemandirian ekonomi akan tetapi di
Indonesia masih belum dikatakan optimal dibanding dengan pengelolaan wakaf di
negara muslim pada era modern yang sangat beragam, baik dilihat dari sisi
sejarah, regulasi, pelaksanaan, dan pengembangannya. Padahal dalam sejarahnya
syariat wakaf dalam Islam sudah sejak lama di praktekkan. Sebagai persamaan
adalah Peranan wakaf sebagai instrumen pembangunan ekonomi dan indikator
kesejahteraan umat. Dan perbedaan Penlitian selannjutnya ini akan membahas
tentang optimalisasi wakaf sebagai instrument pembangunan ekonomi perbanding di
Indonesia dan Malaysia.
4.
Asksmak
Ab Rahman, Peranan Wakaf Dalam Pembangunan Ekonomi Umat Islam dan
Aplikasinya di Malaysia Shariah Journal, Vol. 17, No. 1 (2009) 113-152.
Hasilnya adalah: Penelitian ini membincangkan konsep berkaitan wakaf,
kepentingan tentang kekayaan untuk pembangunan ekonomi dan bagaimana wakaf
berperanan dalam pembangunan ekonomi negara. Sebagagi persamaan adalah
berkaitan dengan konsep wakaf dan aplikasinya di suatu negara. Dan perbedaanya Perbandingan
kondisi perwakafan di dua Negara berpenduduk muslim teranyak antara Indonesia
dan Malaysia.
5.
Abdullah
Ubaid, Analisis Hasil dan Metode
Fundraising Wakaf Uang Badan Wakaf Indonesia (BWI), Jurnal BIMAS Islam,
Vol. 7 No.4, 2014. ISSN.1978-9009. Hasilnya adalah; Sebagai Tujuan adalah
Analisis Hasil dan Metode Fundraising Wakaf Uang Badan Wakaf Indonesia (BWI)
sebagai metode penggalangan wakaf uang. Metode ini adalah sebagai tujuan untuk
mempermudah masyarakat dalam penyetoran wakaf uang dan juga administrasi
pencatatan wakaf. Persamaan Kajian tentang pelaksannaan wakaf uang dan wakaf
produktif dan perbedaan Kajian lebih luas mencakup kegiatan pelaksanaan
perwakafan dibandingkan dengan pelaksanaan wkaf di Malaysia.
6.
Abas
Sambas, Perkembangan Pengelolaan Wakaf di Indonesia: Potensi dan
Tantangan, Jurnal BIMAS Islam,
Vol. 7 No.4, 2014. ISSN.1978-9009. Hasil kajian; Rekonstruksi dan pemetaan
potensi dalam pengembangan wakaf di Indonesia secara umum. Persamaan Kajian
tentang pelaksannaan wakaf uang dan wakaf produktif, perbedaan Kajian lebih
luas mencakup kegiatan pelaksanaan perwakafan dan perkembangannya dibandingkan
dengan pelaksanaan wakaf di Malaysia.
7.
M.
Mualim dan Abdurrahman, Menggiatkan Wakaf Uang (Tunai) Sebagai Uapaya
Peningkatan kesejahteraan Masyarakat, Jurnal BIMAS Islam, Vol. 7 No.4, 2014.
ISSN.1978-9009. Hasilnya: Legalisasi bahwa wakaf berupa uang tunai tidaklah
dilarang, karena sebagian ulama menganjurkannya, asalkan ia dikelola secara
professional, amanah, dan transparan, memenuhi berbagai ketentuan pengelolaan
terhadap harta wakaf. Akan tetapi sebagai benda bergerak, uang memiliki
karakteristik yang berbeda dengan benda tidak bergerak, karena sifatnya yang mudah.
Persamaan kajian tentang Wakaf sebagai alternative dan upaya meningkatkan
kesejahteraan umat, sedangkan perbedaanya Kajian pokok adalah wakaf dan
perkembangan dalam cakupan Indonesia dan Malaysia.
8.
Syukri
Ilyas, Perkembangan Wakaf di Kota Batam, Jurnal BIMAS Islam, Vol. 7 No.4, 2014.
ISSN.1978-9009. Hasilnya Menggambarkan perkembangan pengelolaan wakaf di
wilayah Kota Batam Provinsi Kepulauan Riau. Sebagai daerah ekonomi esklusif,
Kota Batam memiliki tantangan tersendiri untuk mengelola perwakafan sebagai
sumber pengembangan kesejahteraan umat. Sebagai daerah ekonomi ekslusif, Kota
Batam sangat potensial bagi pengembangan perwakafan. Selain didukung
infrastruktur yang kuat, Kota Batam juga memiliki ketersediaan SDM yang cukup.
Persamaan adalah Kajian empiris tentang wakaf sebagai alternative dan upaya
meningkatkan kesejahteraan umat. Perbedaan Kajian pokok adalah wakaf dan
perkembangan dalam cakupan Indonesia
9.
dan
Malaysia. Sebagimana Kota Batam sebagai gambaran kecil peta kemajuan
perkembangan tentan wakaf.
10.
Nilna
Fauza, Rekrontruksi Pengelolaan Wakaf: Belajar Pengelolaan Wakaf di
Bangladesh dan Malaysia, Jurnal Universum Vol. 9 No. 2 Juli 2015. Hasilnya: Harta wakaf
mempunyai potensi yang besar untuk berperan membangun ekonomi umat dan
kesejahteraan masyarakat. Melaui wakaf produktif dan wakaf tunai. Persamaan
Kajian tentang perwakafan dua model wakaf produktif dan wakaf tunai penerapan
di Bangladesh dan Malaysia. Perbedaan Peneliti berusaha memetakan dan
merekonstruksi kembali tentang perwakafa di Indoenesia dan Malaysia.
11.
Nurma, Investasi Dana Wakaf, Jurnal Khatulistiwa – Journal Of Islamic
Studies. Vol. 3 No.1 Maret 2013.
Hasilnya; Hasil analisis menunjukkan prioritas masalah pengelolaan wakaf
terletak pada wakif menyerahkan harta wakaf langsung kepada personal bukan
melalui lembaga pengelola wakaf. Sebagai persamaan Optimalisasi pengelolaan
wakaf dan pemahaman terhadap nadzir/wakif. Perbedaan kajian pada Optimalisasi
pengelolaan wakaf dalam konteks perepan peran wakaf secara komparatif di
Indonesia dan Malaysia sebagai instrument pembangunan ekonomi Islam.
NO
|
NAMA JUDUL PENELITIAN
|
TUJUAN
|
HASIL
|
PERSAMAAN
|
PERBEDAAN
|
1
|
Mahsun,
Hukum dan Manajerial Wakaf di Malaysia
|
Mengulas tata cara pengaturan harta wakaf di Malaysia, yang
akhirnya berimplikasi praktis; dapat dipertimbangkan aplikasinya untuk
konteks Indonesia
|
Potret pelaksanaan dan kebijakan undang-undang wakaf cukup baik
dari ranah hukum positif dan normative berdasarkan madzab Syafi’i
|
Peneliti membahas tentang aspek wakaf dan tata laksana
undang-undang wakaf di Malaysia
|
Peneliti membahas tentang perbandingan aspek peranan wakaf
sebagai instrument pembangunan ekonomi di Indonesia dan Malaysia
|
2
|
Amin Mukhtar, Potensi Wakaf Menjadi Lembaga Keuangan Publik
Jurnal Asy-Syari‘ah Vol. 17 No. 1, April 2015
|
Pemahaman umat Islam secara luas masih tekstualis dan literalis
normative tentang wakaf. Pemahaman tentang wakaf sebagai sumber keuangan
publik dengan tujuan untuk pemberdayaan ekonomi belum dikatakan optimal.
|
Peneliti membahas dan mengkaji tentang perkembangan wakaf di
Indonesia
|
Wakaf sebagai instrumen ekonomi, perbandingan optimalisasi wakaf
di Indonesia dan Malaysia
|
|
3
|
Ahmad
Suwaidi, Wakaf dan Penerapannya di Negara Muslim
Economic: Jurnal Ekonomi dan Hukum Islam, Vol. 1, No.
2, 2011
|
Sebagaimana seharusnya wakaf dan menjadikan kesejahteraan dan
kemandirian ekonomi akan tetapi di
Indonesia masih belum dikatakan optimal dibanding dengan pengelolaan wakaf di
negara muslim pada era modern yang sangat beragam, baik dilihat dari sisi
sejarah, regulasi, pelaksanaan, dan pengembangannya. Padahal dalam sejarahnya
syariat wakaf dalam Islam sudah sejak lama di praktekkan.
|
Peranan wakaf sebagai instrumen pembangunan ekonomi dan indikator
kesejahteraan umat.
|
Penlitian selannjutnya ini akan membahas tentang optimalisasi
wakaf sebagai instrument pembangunan ekonomi perbanding di Indonesia dan
Malaysia
|
|
4
|
Asksmak Ab Rahman, Peranan Wakaf Dalam Pembangunan Ekonomi
Umat Islam dan Aplikasinya di Malaysia Shariah Journal, Vol. 17, No.
1 (2009) 113-152
|
Penelitian ini membincangkan konsep berkaitan wakaf, kepentingan
Tentang kekayaan untuk pembangunan ekonomi dan bagaimana wakaf
berperanan dalam pembangunan ekonomi negara.
|
Dalam penelitian ini menghasilkan wacana berkaitan dengan wakaf
berperan dalam pembangunan ekonomi melalui saran kesehatam, pendidikan dan
ibadah. Dari ketiga aspek tersebut dalam waktu yang sama jika wakaf optimal
dalam pelaksanaannya dapat membangun sisi kemanusiaan non fisikal dan sisi
perekonmian secara fisikal.
|
Berkaitan dengan konsep wakaf dan aplikasinya di suatu negara
|
Perbandingan kondisi perwakafan di dua Negara berpenduduk muslim
teranyak antara Indonesia dan Malaysia
|
5
|
Abdullah Ubaid, Analisis
Hasil dan Metode Fundraising
Wakaf Uang Badan Wakaf Indonesia (BWI), Jurnal BIMAS Islam, Vol. 7 No.4, 2014. ISSN.1978-9009
|
Tujuan adalah Analisis Hasil dan Metode Fundraising
Wakaf Uang Badan Wakaf Indonesia (BWI) sebagai metode penggalangan
wakaf uang.
|
Metode ini adalah sebagai tujuan untuk mempermudah masyarakat
dalam penyetoran wakaf uang dan juga administrasi pencatatan
wakaf uang.
|
Kajian tentang pelaksannaan wakaf uang dan wakaf produktif
|
Kajian lebih luas mencakup kegiatan pelaksanaan perwakafan
dibandingkan dengan pelaksanaan wkaf di malaysia
|
6
|
Abas Sambas, Perkembangan Pengelolaan Wakaf di Indonesia:
Potensi dan Tantangan, Jurnal
BIMAS Islam, Vol. 7 No.4, 2014. ISSN.1978-9009
|
Kajian ini dimana wakaf adalah alternatif bagi pengembangan
kesejahteraan umat.
|
Rekonstruksi dan pemetaan potensi dalam pengembangan wakaf di
Indonesia secara umum.
|
Kajian tentang pelaksannaan wakaf uang dan wakaf produktif
|
Kajian lebih luas mencakup kegiatan pelaksanaan perwakafan dan
perkembangannya dibandingkan dengan pelaksanaan wakaf di Malaysia.
|
7
|
M. Mualim dan Abdurrahman, Menggiatkan Wakaf Uang (Tunai)
Sebagai Uapaya Peningkatan kesejahteraan Masyarakat, Jurnal BIMAS Islam, Vol. 7 No.4, 2014.
ISSN.1978-9009
|
Menggiatkan Wakaf Uang (Tunai) sebagai Upaya Peningkatan
Kesejahteraan Masyarakat
|
Legalisasi bahwa wakaf berupa uang tunai tidaklah dilarang,
karena sebagian ulama menganjurkannya,
asalkan ia dikelola secara professional, amanah, dan transparan,
memenuhi berbagai ketentuan pengelolaan terhadap harta wakaf.
Akan tetapi sebagai benda bergerak, uang memiliki karakteristik
yang berbeda dengan benda tidak bergerak, karena sifatnya yang
mudah ditasyarrufkan.
|
Wakaf sebagai alternative dan upaya meningkatkan kesejahteraan
umat.
|
Kajian pokok adalah wakaf dan perkembangan dalam cakupan
Indonesia dan malaysia
|
8
|
Syukri Ilyas, Perkembangan Wakaf di Kota Batam, Jurnal BIMAS Islam, Vol. 7 No.4, 2014.
ISSN.1978-9009
|
Menggambarkan perkembangan pengelolaan wakaf
di wilayah Kota Batam Provinsi Kepulauan Riau. Sebagai daerah
ekonomi
esklusif, Kota Batam memiliki tantangan tersendiri untuk
mengelola
perwakafan sebagai sumber pengembangan kesejahteraan umat.
|
Sebagai daerah ekonomi ekslusif, Kota Batam sangat potensial
bagi pengembangan perwakafan. Selain didukung infrastruktur yang
kuat, Kota Batam juga memiliki ketersediaan SDM yang cukup.
|
Kajian empiris tentang wakaf sebagai alternative dan upaya
meningkatkan kesejahteraan umat.
|
Kajian pokok adalah wakaf dan perkembangan dalam cakupan
Indonesia dan Malaysia. Sebagimana Kota Batam sebagai gambaran kecil peta
kemajuan perkembangan tentan wakaf.
|
9
|
Nilna Fauza, Rekrontruksi Pengelolaan Wakaf: Belajar
Pengelolaan Wakaf di Bangladesh dan Malaysia, Jurnal Universum Vol. 9 No. 2 Juli 2015
|
Penelitian ini bertujuan merekonstruksi pengelolaan wakaf di
Indonesia
dengan belajar dan bercermin pada negara atau
lembaga yang sudah mampu mengelola wakaf
dengan baik dan benar
|
Harta wakaf mempunyai potensi yang besar
untuk berperan membangun ekonomi
umat dan kesejahteraan masyarakat. Melaui wakaf produktif dan
wakaf tunai.
|
Kajian tentang perwakafan dua model wakaf produktif dan wakaf
tunai penerapan di Bangladesh dan malaysia
|
Peneliti berusaha memetakan dan merekonstruksi kembali tentang
perwakafa di Indoenesia dan Malaysia
|
10
|
Nurma,
Investasi Dana Wakaf, Jurnal Khatulistiwa –
Journal Of Islamic Studies. Vol. 3
No.1 Maret 2013
|
Penelitian mengenai konstribusi rekonstruktif investasi dana
wakaf sebagai intrumen pemberdayaan ekonomi Islam
|
Hasil analisis menunjukkan prioritas masalah
pengelolaan
wakaf terletak pada r wakif menyerahkan harta wakaf langsung
kepada personal bukan melalui lembaga pengelola wakaf.
|
Optimalisasi pengelolaan wakaf
|
Optimalisasi pengelolaan wakaf dalam konteks perepan peran wakaf
secara komparatif di Indonesia dan Malaysia sebagai instrument pembangunan
ekonomi Islam.
|
11
|
Nurul Huda, dkk, Akuntabilitas Sebagai Sebuah Solusi
Pengelolaan Wakaf, Jurnal Akuntansi Multiparadigma Vol. 5 No. 3, 2014
|
Penelitian menganalisis prioritas masalah dan
solusi pengelolaan waqaf dengan
menggunakan
metode AHP.
|
terdapat tiga macam
prioritas masalah dan solusi pengelolaan
wakaf yang dibagi berdasarkan pemangku
kepentingan (stakeholder) wakaf, yaitu regulator,
pengelola wakaf (Nazhir), serta wakif
(orang yang memberi wakaf)
|
Optimalisasi pengelolaan wakaf
|
Optimalisasi pengelolaan wakaf dalam konteks perepan peran wakaf
secara komparatif di Indonesia dan Malaysia sebagai instrument pembangunan
ekonomi Islam.
|
12
|
Gusva Hafita, dkk. MODEL BANK
WAKAF DI INDONESIA DALAM POTENSINYA UNTUK MENGEMBANGKAN WAKAF UANG DAN
MENGATASI KEMISKINAN. Jurnal Ekonomi
Univ. Indonesia
|
Menggagas tentang bank wakaf ini berisi tentang pengelolaan wakaf
yang saat ini ada di Indonesia, penerapan bank wakaf yang sudah sukses di
luar negeri serta model bank wakaf terbaik yang sesuai dan dapat
diimplementasikan di Indonesia untuk mengembangkan pengelolaan wakaf uang
secara optimal dan untuk mengatasi kemiskinan
|
Mengoptimalkan Fungsi Lembaga keuangan Syariah sebagai Bank Wakaf
khusus wakaf.
|
Kajian tentang wakaf
|
Sebagai data pendukung penelitian selanjutnya. Pokok kajian
perwakafan di Indonesia dan Malaysia.
|
E.
Sistematika Pembahasan
Agar
pembahasan terstruktur baik dan dapat ditelusuri dengan mudah oleh pembaca,
penulisan menggunakan sistematika berikut:
Bab I: Merupakan pendahuluan yang memaparkan fenomena pratik dan optimalisasi perwakafan di
Indonesia dan Malaysia . Penelitian dilakukan dengan cara membaca fenomena yang
ada dengan teori terkait. Selanjutnya dari fenomena dan kajian ditemukan focus
dan permasalahan penelitian kemudian dijawab dengan tujuan penelitian. Dalam
penelitian ini disebutkan bebeapa penelitian terdahul terkait pembangunan
ekonomi melalui harta wakaf sekaligus sebagai bentuk orisinilitas penelitian
ini dengan penelitian sebelumnya.
Bab II: Merupakan kajian pustaka, bagian ini
menguraikan tentang teori wakaf, mulai definisi, undang-undang wakaf dan
tinjauan hukum Islam tentang wakaf, dan pembangunan ekonomi, definisi dan skema
pembangunan ekonomi dalam Islam.
Bab III: Metode penelitian yang
digunakan pada penelitian ini. Praktik wakaf di Indoensia dan Malaysia sebagai
focus penelitian. Untuk meneumukan data sesuai dengan permasalahan penelitian,
digunakan pendekatan penelitian, metode pengumpulan data, dan teknik analisis
data yang sesui dengan karakteristik yang dibutuhkan.
Bab IV: Merupakan bab pemaparan data
dan temuan penelitian, membahas tentang paparan jawaban sistematis focus
penelitian dari hasil penelitian yang mencakup gambaran umum tentang Wakaf dan
pembangunan ekonomi di Inesonesia dan Malaysia.
Bab V : Berisi tentang diskusi hasil
penelitian, membahas tentang hasil penelitian dengan diskusi penelitiaan dan
hasil penelitian digunakan untuk mengklasifikasi dan memposisikan hasil temuan
yang menjadi focus pada bab 1 dan merelevansikan dengan teori-teori yang
dibahas di bab II, dan metodhe penelitian pada bab III. Dan semuanya dipaparkan
pada bagian ini dan sekaligus hasil penelitian didiskusikan dengan kajian
pustaka. Dan merupakan bab penutupan yang berisi tentang kesimpulan dari hasil
penelitian. Gambaran teroritis dibahas pada bagian ini dan untuk melihat posisi
teori berdasarkan temuan penelitian. Daftara Pustaka
BAB II
KAJIAN PUSTAKA
A.
Wakaf
1.
Perwakafan dalam Hukum Islam
a.
Pengertian Wakaf
Kata “Wakaf” atau “Waqf” berasal dari bahasa Arab “Waqafa”.
Asal kata “Waqafa” berarti “menahan” atau “berhenti” atau “diam di
tempat” atau tetap berdiri”. Kata “Waqafa-Yuqifu-Waqfan” sama artinya
dengan “Habasa- Yahbisu-Tahbisan” [10]
Dalam peristilahan syara‟ secara umum, wakaf adalah sejenis
pemberian yang pelaksanaannya dilakukan dengan jalan menahan (pemilikan) asal
(tahbisul ashli), lalu menjadikannya secara umum.Yang dimaksud tahbisul ashli
adalah menahan benda yang di wakafkan itu agar tidak di wariskan, dijual,
dihibahkan, digadaikan, disewakan dan sejenisnya. Sedangkan cara pemanfaatannya
adalah menggunakan sesuai kehendak pemberi wakaf tanpa imbalan. [11]
Selanjutnya pengertian lain yang diungkapkan oleh syaikh Al-
Qalyubi yang mengatakan bahwa wakaf adalah: “Ḫ absul mali yumkinu al-intifa‟u
bihi ma‟a baq‟I ainihi ala mashrafin mubahin (menahan harta yang bisa
diambil manfaatnya dari harta tersebut dengan menjaga bentuk aslinya untuk
disalurkan kepada jalan yang dibolehkan).[12]
b.
Dasar Hukum Wakaf
Secara umum
tidak terdapat ayat al-Quran yang menerangkan konsep wakaf secara jelas.Oleh
karena wakaf termasuk infaq fi sabilillah, maka dasar yang digunakan para ulama
dalam menerangkan konsep wakaf ini didasarkan pada keumuman ayat-ayat al-Quran
yang menjelaskan tentang infaq fi sabilillah. Di antara ayat-ayat
tersebut antara lain:
لَنْ تَنَالُوا الْبِرَّ حَتَّى تُنْفِقُوا مِمَّا تُحِبُّونَ وَمَا
تُنْفِقُوا مِنْ شَيْءٍ فَإِنَّ اللَّهَ بِهِ عَلِيمٌ (٩٢)
Kamu
sekali-kali tidak sampai kepada kebajikan (yang sempurna), sebelum kamu
menafkahkan sehahagian harta yang kamu cintai. dan apa saja yang kamu nafkahkan
Maka Sesungguhnya Allah mengetahuinya.[13]
Dalam literatur
kitab klasik dijelaskan bahwa pada awalnya wakaf dipraktikan pada masa kholifah
umar, yang tertera pada hadist berikut ini:
إذا مات ابن آدم انقطع عنه عمله إلا من ثلاثة من صدقة جارية
أو علم ينتفع به أو ولد صالح يدعو له
Artinya: Jika seseorang meninggal dunia, maka
terputuslah amalannya kecuali tiga perkara yaitu: sedekah jariyah, ilmu yang
dimanfaatkan, atau do’a anak yang sholeh” (HR. Muslim no. 1631).
Dijelaskan bahwa yang dimaksud
al-shadaqah al-jariyah pada hadist tersebut adalah wakaf. Hal ini
disebabkan benda yang diwakafkan oleh seseorang, misalnya berupa tanah
milik, pahalanya akan terus mengalir bagi wakif sepanjang tanah tersebut
dimanfaatkan sesuai dengan ajaran Islam.[14]
عن ابن عمر. ان عمر أصاب أرضا من أرض خيبر فقال:
يا رسول الله، أصيتُ أرضا بخيبر، لم أُصب مالاً قطٌ أنفس عندي منه، فما تأمرني؟ فقال: ان شئتَ حتبست أصلها وتصدقت بها.
فتصدّق بها عمر على أن لا تُباع ولا توهب تُورث في الفقراء وذوى القربى. متفق عليه
“Dari ibnu umar r. a. Bahwasanya sayyidina
Umar mendapatkan sebidang tanah dari perang khaibar, maka dia berkata: wahai
Rasulullah aku mendapatkan sebidang tanah di saat perang khaibar, yang mana aku
belum pernah memiliki harta seperti itu sebelumnya, maka Rasulullah berkata:
Jika kamu ingin tanah itu tahanlah dan kemudian sedekahkanlah. Maka umar
berkata: maka ia menyedekahkan hartanya (sebidang tanah) tersebut. artinya dia
tidak menjual, tidak mewariskan dan juga tidak menghibahkan, ia murni
menyerahkannya untuk kaum miskin dan kerabat-kerabatnya”[15]
c.
Rukun dan Syarat Wakaf.
Wakaf dinyatakan sah apabila terpenuhi rukun dan syarat wakaf.
Adapun rukun-rukun wakaf ialah:
1)
Ada yang berwakaf (wakif).
Orang yang
mewakafkan (wakif) disyaratkan memiliki kecakapan hukum.dalam
menggunakan hartanya. Kecakapan bertindak di sisni meliputi:[16]
a)
Merdeka.
Wakaf yang dilakukan oleh seorang budak (hamba sahaya) tidak sah
karena wakaf adalah pengguguran hak milik dengan cara memilikan hak itu kepada
orang lain. Sedangkan hamba sahaya tidak mempunyai hak milik untuk dirinya
dikarenakan apa yang dimiliki adalah kepunyaan tuannya.
b)
Berakal Sehat
Wakaf yang dilakukan oleh orang gila tidak sah hukumnya sebab ia
tidak berakal, tidak mumayyiz dan tidak cakap melakukan akad serta
tindakan lainnya.
c)
Dewasa.
Wakaf yang dilakukan oleh anak yang belum dewasa (baligh),
hukumnya tidak sah karena ia dipandang tidak cakap melakukan akad dan tidak
cakap pula untuk menggugurkan hak miliknya.
d)
Tidak berada di bawah
pengampuan(boros/lalai)
Orang yang berada di bawah pengampuan dipandang tidak cakap untuk
berbuat kebaikan (tabarru‟), maka wakaf yang dilakukan hukumnya tidak
sah.[17]
2) Ada
barang atau harta yang diwakafkan (mauquf bih).
Adapun
Syaratnya objek wakafharus memenuhi syarat sebagai berikut:
Yang artinya “Dan syarat-syarat barang yang diwakafkan
yaitu:Bentuknya jelas (benda materiil), harus kepunyaan seseorang dan bisa
diserahterimakan yang mana hal tersebut bisa diambil manfaatnya. dapat bertahan
dalam pada jangka waktu yang lama.”[18]
Intisari pada keterangan diatas menjelaskan bahwa objek wakaf harus
memenuhi kriteria sebagai berikut:
a)
Harta yang diwakafakan harus mutaqowwam.
Kriteria mutaqowwam dalam kitab klasik dijelaskan harta
tersebut harus bersifat benda materiil, memiliki manfaat, dan dapat bertahan
dalam jangka waktu yang lama. Kriteria objek atau harta wakaf ini disebutkan
oleh Mazhab Syafi‟i dan Hambali. Keduanya tidak membatasi apakah benda bergerak
atau benda tidak bergerak.
Ulama‟ hanafi berbeda pendapat dalam hal ini. Di katakan bahwa
harta wakaf harus berupa benda yang tidak bergerak. Selanjutnya imam Maliki
berpendapat berbeda, yang mengatakan bahwa harta wakaf tidak hanya berupa benda
materiil saja akan tetapi benda immateriil juga bisa masuk dalam katagori benda
yang dapat diwakafkan.
b)
Diketahui dengan yakin ketika
diwakafkan.
Harta tersebut harus diketahui dengan yakin („ainun ma‟luman),
sehingga tidak akan menimbulkan persengketaan. Karena itu harta yang diwakafkan
tidak sah jika tidak jelas. Seperti pernyataan yang berbunyi : “saya mewakafkan
sebagian dari tanah saya kepada orang-orang kafir di kampung saya ”,. Kata
sebagian tersebut membuat harta yang diwakafkan tidak jelas dan akan
menimbulkan persengketaan.
c)
Milik waqif.
Tidak ada terdapat perbedaan pendapat di kalangan fuqaha bahwa
wakaf tidak sah kecuali jika wakaf itu berasal dari harta pemilik wakaf
sendiri.Sebab wakaf adalah perbuatan yang menyebabkan terlepas atau terbebasnya
suatu kepemilikan menjadi harta wakaf.
Dengan demikian waqif haruslah pemilik atas harta yang
diwakafkannya. Atau seseorang dikatakan waqif jika seorang tersebut
berhak untuk melaksanakan wakaf terhadap suatu. harta, yaitu dengan dengan
diwakilkannya pemilik harta wakaf atau mendapat wasiat untuk melakukan itu.[19]
d) Terpisah,
tidak milik bersama.[20]
3. Penerima
wakaf (mauquf „alaih).
Yang di maksud
dengan mauquf „alaih adalah tujuan wakaf (peruntukan wakaf).Wakaf harus
dimanfaatkan dalam batas-batas yang sesuai dan diperbolehkan syri‟at.Oleh sebab
itu mauquf „alaih haruslah pihak kebajikan.[21]
4.
Ikrar wakaf (shighat).
Shighat wakaf
ialah ucapan, tulisan atau isyarat dari orang yang berwakaf (wakif).Dan dalam
shighat wakaf tersebut cukup dengan ijab saja dari orang yang mewakafkan harta
bendanya tanpa memerlukan qabul dari mauquf „alaih. [22]
Cara mewakafkan dengan lafadz dibedakan menjadi dua macam yaitu lafad secara sharih
(jelas) adalah: waqaftu (aku wakafkan), habbastu (aku tahan)
dan sabbaltu (aku peruntukkan bagi kepentingan umum). Dan selanjutnya
lafad kinayah adalah: tashaddaqtu (aku sedekahkan), harramtu (aku
haramkan) dan abbadtu (aku berikan selama-lamanya).[23]
Sedangkan ikrar
wakaf dengan perbuatan (tanpa perkataan atau sejenisnya), maka diisyaratkan
adanya tanda-tanda yang menunjukkan bahwasanya seseorang telah berwakaf. Jika
ada tanda-tanda yang menunjukkan bahwasanya seseorang telah berwakaf, maka
perbuatan tersebut dinyatakan sebagai wakaf, meski ia tidak berniat demikian.[24]
d.
Macam-Macam
Wakaf
Menurut para
ulama‟ secara umum wakaf dibagi menjadi dua bagian:
1)
Wakaf ahli.
Wakaf ahli (khusus) ialah wakaf yang ditujukan kepada orang-orang
tertentu, seorang atau terbilang, baik keluarga wakif maupun orang lain.Wakaf
seperti ini disebut juga dengan wakaf Durri. Apabila seseorang
mewakafkan sebidang tanah kepada anaknya, lalu kepada cucunya, wakafnya sah dan
yang berhak mengambil manfaatnya adalah mereka yang ditunjuk dalam pernyataan
wakaf.Wakaf yang demikian yang demikian disebut juga wakaf „ala aulad, yaitu
wakaf yang di khususkan untuk kepentingan dan jaminan sosial kepada lingkungan
keluarga. Dalam satu sisi wakaf ini mengandung dua kebaikan, karena memiliki
dua aspek dari amal ibadahnya dan juga kebaikan dari silaturahmi terhadap
keluarga yang diberikan harta wakaf. Akan tetapi wakaf ahli ini sering
menimbulkan masalah, seperti : bagaimana jika anak cucu yang ditunjuk sudah
tidak ada lagi? Siapa yang berhak mengambil manfaat benda wakaf tersebut?
Untuk mengantisipasi hal tersebut agar harta wakaf kelak tetap bisa
dimanfaatkan dengan baik dan berstatus hukum yang jelas, maka sebaiknya dalam
ikrar wakaf ahli ini disebutkan bahwa wakaf ini untuk anak, cucu, kemudian
kepada fakir miskin.Sehingga apabila keluarga tidak ada lagi (punah), maka
wakaf tersebut bisa langsung diberikan kepada fakir miskin.[25]
2) Wakaf
khairi.
Wakaf yang sejak semula ditujukkan untuk kepentingan-kepentingan
umum dan ditujukan kepada orang-orang tertentu.[26]
dalam beberapa kitab fikih, disebutkan bahwa para fuqaha‟ selain Syi‟ah
Ja‟faruyah, sepakat bahwa harta wakaf yang digunakan bagi kalangan umum atau
bagi kalangan luas (tidak terbatas) seperti kaum miskin atau wakaf yang tidak
dapat digambarkan dan juga tidak dapat diperinci penerimanya cukup dengan hanya
melalui iqa‟(pelimpahan).[27]
Dalam wakaf khairi proses serah terimanya cukup
dilangsungkan dengan hanya menyebutkan ungkapan komitmen salah satu pihak.
Tidak dengan ijab ataupun transaksi ijab sebagaimana umumnya yang berlaku dalam
proses transaksi.
e.
Nazdir
Para fuqaha‟ tidak mencantumkan nadzir wakaf sebagai salah satu
rukun wakaf, hal ini mungkin karena mereka berpendapat bahwa wakaf merupakan
ibadah tabarru‟ (pemberian yang bersifat sunah saja). Padahal dalam
pelaksanaan wakaf yang dilaksanakan di mana saja, kedudukan nazdir merupakan
suatu hal yang sangat penting dan sentral.Di pundak nazdir inilah tanggung
jawab untuk memelihara, menjaga, dan mengembangkan wakaf agar wakaf dapat
berfungsi sebagaimana yang diharapkan.Nazdir inilah yang bertugas untuk
menyalurkan hasil wakaf dan memanfaatkannya untuk kepentingan masyarakat sesuai
yang direncanakan.
Sudah terlalu banyak pengelolaan harta wakaf yang dikelola oleh
nadir yang tidak profesional, sehingga banyak harta wakaf tidak berfungsi
secara maksimal dan tidak member manfaat sama sekali sebagaimana yang
diharapkan, bahkan banyak harta wakaf yang alih fungsi atau terjual kepada
pihak-pihak yang tidak bertanggung jawab.
Syarat-syarat nadzir yang tersebut dalam kitab-kitab fikih kiranya
perlu dipertahankan, yakni beragama Islam, baligh (dewasa), „akil (berakal),
memiliki kemampuan dalam mengelola wakaf (profesional), dan memiliki sifat
amanah, jujur, tabligh dan fatanah serta adil. Syarat-syarat ini
perlu ditingatkan kemampuannya agar terwujud manajemen yang baik dalam
penegelolaan wakaf.[28]
Pada akhirnya status dan kedudukan seorang pengelola harta wakaf
(nadzir) dalam sistem fikih, yang pada mulanya dikategorikan sebagai sesuatu
yang tidak harus ada, menjadi sesuatu yang harus ada.Dengan demikian penglola
harta wakaf tersebut menjadi sentral dalam pengelolaan harta wakaf agar harta
wakaf dapat berkembang untuk pemberdayaan ekonomi umat.[29]
Karena urgennya peran nadir dalam pengelolaan wakaf, maka kemudian
dalam Undang-Undang wakaf Nomor 41 Tahun 2004 peran Nazdir merupakan salah satu
hal yang harus dipenuhi. Dalam Undang- Undang wakaf tersebut nazdir bisa dikategorikan
perseorangan, organisasi atau badan hukum. organisasi atau badan hukum.[30]
Dalam hal itu disebutkan syarat sebagai berikut:
1)
Nazdir perseorangan
a)
Warga Negara Indonesia
b)
Islam
c)
Dewasa
d)
Amanah
e)
Mampu secara Jasmani dan Rohani
f)
Tidak terhalang melaukan perbuatan
hukum
2)
Organisasi
a)
Pengurus organisasi yang bersangkutan memenuhi
persyaratan
nazdir perseorangan sebagaimana syarat nazdir
perseorangan.
b)
Organisasi yang bergerak di bidang
sosial pendidikan
kemasyarakatan
dan/atau keagamaan Islam.
3)
Badan Hukum
a)
Pengurus badan hukum yang bersangkutan
memenuhi persyaratan nazdir perseorangan sebagaimana syarat nazdir
perseorangan.
b)
Badan hukum Indonesia yang di bentuk
sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku.
c)
Badan hukum yang bersangkutan
bergerak dibidang sosial, pendidikan, kemasyarakata\n dan/atau keagamaan Islam.[31]
Lebih lanjut dijelaskan secara rinci dalam Undang-undang Nomor
41tahun 2004 tentang tugas-tugas Nazdir yaitu:[32]
a)
Melakukan pengadministrasian harta
benda wakaf
b)
Mengelola dan mengembangkan harta
benda wakaf sesuai dengan tujuan, fungsi dan peruntukannya
c)
Mengawasi dan melindungi harta benda
wakaf
d)
Melaporkan pelasanaan tugas kepada
Badan Perwakafan di Indonesia
2. Perwakafan Dalam Undang-Undang Di Indonesia
a.
Pengaturan
Wakaf di Indonesia
Pengaturan sebelum kedatangan penjajah di Indonesia, wakaf
dilaksanakan berdasarkan ajaran hukum Islam yang bersumber dari kitab fikih
Syafi‟i.karena masalah wakaf adalah masalah yang sangat berkaitan dengan sosial
dan adat di Indonesia, maka pelaksanaan wakaf itu disesuaikan dengan hukum adat
setempat dengan tidak mengurangi nilai ajaran hukum Islam.[33]
Pada masa itu pengelolaan dan pemanfaatan harta wakaf masih
terfokus dengan hal-hal yang berhubungan dengan ibadah dan sangat sedikit
sekali masyarakat pada waktu itu yang berhubungan dengan masalah sosial lainnya
dengan kata lain pada masa itu wakaf belum mendapatkan pengelolaan dengan
manajemen yang baik.
Selanjutnya wakaf mulai mendapatkan pengelolaan dengan manajemen
yang baik setelah adanya Kementrian Agama pada tanggal 3 Januari 1946 karena
pada saat itu urusan wakaf tanah menjadi urusan Kementrian Agama bagian D
(ibadah sosial). Selnjutnya Kementrian Agama pada tanggal 8 oktober 1956
mengeluarkan surat EdaranNomor 5/D/1956 tenteng prosedur perwakafan Tanah.
Dengan adanya peraturan ini maka memperjelas dan mempertegas tentang kepastian
hukum tentang tanah-tanah wakaf di Republik Indonesia.[34]
Lahirnya Undang-Undang Nomor 5 tahun 1960 tentang agraria semakin
memperkokoh eksistensi dunia perwakafan di Indonesia, karena dalam pasal 49
Undang-Undang tersebut dijelaskan bahwa untuk keperluan peribadatan dan
keperluan suci lainnya dapat diberi tanah dan dikuasi lengsung oleh Negara
dengan hak pakai, perwakafan tanah milik dilindungi dan diatur oleh peraturan
pemerintah.
Dalam hal kejelasan tentang hukum wakafsebagai realisasi dari
Undang-Undang tersebut, pemerintah telah mengeluarkan Peraturan PemerintahNomor
28 Tahun 1977 tenteng perwakafan Tanah Milik. Peraturan Pemerintah tersebut
mengemukakan bahwa wakaf adalah suatu lembaga keagamaan yang dipergunakan
sebagai salah satu pengembangan kehidupan keagamaan. Setelah terbitnya
Peraturan Pemerintah Nomor 28 Tahun 1977 tenteng perwakafan Tanah milik,
eksistensi diperkuat lagi dengan lahirnya Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1989
tentang Peradilan Agama. Dalam pasal 49 Undang-Undang tersebut dikemukakan
bahwa perselisihan wakaf menjadi kewajiban lembaga Peradilan Agama yang
memutusnya.Dilanjutkan dengan sah atau tidaknya oleh seseorang atau lembaga
pemasyarakatan lainnya.
Selanjutnya sebagai hukum materiil untuk menjadi pegangan Hakim
Peradilan Agama dalam memutus sengketa wakaf ini, pemerintah juga mengeluarkan
Kompilasi Hukum Islam yang terdiri dari tiga buku.Salah satu dari tiga tersebut
adalah hukum wakaf. Kemudian juga melalui Instryksi Presiden Nomor 1 Tahun 1991
tanggal 10 juni sebagai pedoman bagi instansi yang memerlukannya dalam hukum
wakaf tersebut.
b. Wakaf dalam Undang-Undandang Nomor 41 tahun 2004
Ada dua alasan
pembentukan Undang-Undang Nomor 41 Tahun
2004 tentang wakaf. Pertama memajukan kesejahteraan umum. Untuk mencapai tujuan
tersebut, potensi yang terdapat dalam pranata keagamaan yang memiliki manfaat
ekonomis perlu digali dan dikembangkan.
Wakaf dianggap
mempunyai peran yang strategis untuk membantu sebagai kesejahteraan umum.
Sebagai pranata keagamaan yang pada awalnya hanya berfungsi sebagai sarana
ibadah dan sosial, menjadi pranata yang memiliki kekuatan ekonomi yang diyakini
dapat memajukan kesejahteraan umum.
Kedua, praktik yang
berjalan dirasa kurang tertib dan efisien. Salah satu bukti akan hal tersebut
adalah diantara harta benda wakaf tidak terpelihara dengan baik, terlantar, bahkan
beralih kepada pihak ketiga dengan cara melawan hukum. Keterlantaran dan
pengalihan benda kepada pihak ketiga terjadi karena:
a)
Kelalaian dan ketidakmampuan nadzir
dalam mengelola dan mengembangkan harta wakaf.
b)
Sikap masyarakat yang kurang peduli
atau belum memahami status harta benda wakaf yang seharusnya dilindungi sebagai
media untuk mencapai kesejahteraan umum sesuai dengan tujuan, fungsi dan
peruntukan wakaf.[35]
Selanjutnya dijelaskan bahwa salah satu tujuan adanya Undang-
Undang Nomor 41 Tahun 2004 adalah guna memperluas objek wakaf. Sementara ini
sebelum adanya Undang-Undang tersebut, objek wakaf cenderung dipahami sebagai
benda tidak bergerak, seperti tanah dan bangunan. Dalam Undang-Undang ini
ditetapkan, bahwa benda wakaf boleh benda bergerak dan boleh benda tidak
bergerak, serta benda yang berwujud (empiris) dan tidak empiris, seperti: wakaf
uang, logam mulia, surat berharga, hak kekayaan intelektual dan hak sewa.[36]
3.
Perundang-undangan
Wakaf di Malaysia
……
B.
Pembangunan
Ekonomi
1.
Konsep
Pembangunan Ekonomi
Mengenai pengertian pembangunan, para ahli memberikan definisi yang
bermacam-macam. Istilah pembangunan bisa saja diartikan berbeda antara satu
orang dengan orang lainnya, antara daerah yang satu dengan daerah yang lainnya,
negara yang satu dengan negara yang lainnya. Namun secara umum terdapat suatu
kesepakatan bahwa pembangunan merupakan proses untuk melakukan perubahan
(Riyadi dan Deddy Supriyadi Bratakusumah, 2005).
Pembangunan menurut Nugroho dan Rochman Dahuri (2004) dapat diartikan
sebagai suatu upaya yang terkoordinasi untuk menciptakan alternatif yang lebih
banyak secara sah kepada setiap warga negara untuk memenuhi dan mencapai
aspirasinya yang paling manusiawi. Sedangkan menurut Tikson (2005), pembangunan
nasional dapat pula diartikan sebagai transformasi ekonomi, sosial dan budaya
secara sengaja melalui kebijakan dan strategi menuju arah yang diinginkan.
Transformasi dalam struktur ekonomi misalnya, dapat dilihat melalui peningkatan
atau pertumbuhan produksi yang cepat di sektor industri dan jasa, sehingga
kontribusinya terhadap pendapatan nasional semakin besar. Sebaliknya,
kontribusi sektor pertanian akan menjadi semakin kecil dan berbanding terbalik
dengan pertumbuhan industrialisasi dan modernisasi ekonomi. Transformasi sosial
dapat dilihat melalui pendistribusian kemakmuran melalui pemerataan memperoleh
akses terhadap sumber daya sosial-ekonomi, seperti pendidikan, kesehatan,
perumahan, air bersih dll. Sedangkan transformasi budaya sering dikaitkan
antara lain dengan bangkitnya semangat kebangsaan dan nasionalisme, disamping
adanya perubahan nilai dan norma yang dianut masyarakat, seperti perubahan dan
spiritualisme ke materialisme/sekulerisme. Pergeseran dari penilaian yang
tinggi kepada penguasaan materi, dari kelembagaan tradisional menjadi
organisasi modern dan rasional.
Analisa pembangunan ekonomi atau lebih dikenal dengan ekonomi
pembangunan (development economic), merupakan cabang ilmu ekonomi yang khusus
membahas mengenai masalah-masalah pembangunan di negara yang sedang berkembang.
Tujuan dari analisanya adalah untuk menelaah faktor-faktor yang menimbulkan
keterlambatan pembangunan ekonomi di negara-negara sedang berkembang dan
selanjutnya mengemukakan cara-cara pendekatan yang dapat ditempuh untuk
mengatasi masalah-masalah yang dihadapi sehingga dapat mempercepat jalannya
pembangunan ekonomi di negara-negara sedang berkembang.
Beberapa pengertian dan definisi pembangunan ekonomi menurut para
ahli :
a.
Adam Smith dalam Suryana (2000: 55)
:
Pembangunan ekonomi merupakan proses perpaduan antara pertumbuhan
penduduk dan kemajuan teknologi.
b.
Simon Kuznets dalam Jhingan (2000:
57) :
Pembangunan ekonomi adalah kenaikan jangka panjang dalam kemampuan
suatu negara untuk menyediakan semakin banyak jenis barang-barang ekonomi
kepada penduduknya. Kemampuan ini tumbuh sesuai dengan kemajuan teknologi, dan
penyesuaian kelembagaan dan idiologis yang diperlukan. Definisi ini mempunyai 3
(tiga) komponen yaitu, pertama pertumbuhan ekonomi suatu bangsa terlihat dari
meningkatnya secara terus menerus persediaan barang, kedua teknologi maju
merupakan faktor dalam pertumbuhan ekonomi yang menentukan derajat pertumbuhan
kemampuan dalam penyediaan aneka macam barang kepada penduduk dan ketiga,
penggunaan teknologi secara luas dan efisien memerlukan adanya penyesuaian di
bidang kelembagaan dan ideologi sehingga inovasi yang dihasilkan oleh ilmu
pengetahuan umat manusia dapat dimanfaatkan secara tepat.
c.
Prof. Meier dalam Adisasmita (2005:
205) :
Pembangunan ekonomi bertindak sebagai proses kenaikan pendapatan
riil perkapita dalam suatu jangka waktu yang panjang.
d.
Schumpeter dalam Suryana (2000: 5)
Pembangunan ekonomi bukan merupakan proses yang harmonis atau
gradual, tetapi merupakan perubahan yang spontan dan tidak terputus-putus.
Pembangunan ekonomi disebabkan oleh perubahan terutama dalam lapangan industri
dan perdagangan. Pembangunan ekonomi berkaitan dengan pendapatan perkapita dan
pendapatan nasional.
Pendapatan
perkapita yaitu pendapatan rata-rata penduduk suatu daerah sedangkan pendapatan
nasional merupakan nilai produksi barang-barang dan jasa-jasa yang diciptakan
dalam suatu perekonomian di dalam masa satu tahun. Pertambahan pendapatan nasional dan pendapatan perkapita dari masa
ke masa dapat digunakan untuk mengetahui laju pertumbuhan ekonomi dan juga
perkembangan tingkat kesejahteraan masyarakat suatu daerah. Dalam pengertian
pembangunan ekonomi yang dijadikan pedoman adalah suatu sebagai suatu proses
yang menyebabkan pendapatan perkapita penduduk suatu masyarakat meningkat dalam
jangka panjang.
Dengan bahasa
lain, Boediono (1999: 8) menyebutkan pertumbuhan ekonomi adalah proses kenaikan
output dalam jangka panjang. Pengertian tersebut mencakup tiga aspek, yaitu
proses, output perkapita, dan jangka panjang. Jadi tanpa bermaksud menggurui,
Boediono menyatakan bahwa pertumbuhan ekonomi merupakan suatu proses, bukan
gambaran ekonomi atau hasil pada saat itu. Boediono juga menyebutkan secara
lebih lanjut bahwa pertumbuhan ekonomi juga berkaitan dengan kenaikan output
perkapita. Dalam pengertian ini teori tersebut harus mencakup teori mengenai
pertumbuhan GDP dan teori mengenai pertumbuhan penduduk. Sebab apabila kedua
aspek tersebut dijelaskan, maka perkembangan ouput perkapita bisa dijelaskan.
Kemudian aspek yang ketiga adalah pertumbuhan eknomi dalam perspektif jangka
panjang, yaitu apabila selama jangka waktu yang cukup panjang tersebut output
perkapita menunjukkan kecenderungan yang meningkat.
Dari beberapa
pendapat diatas maka dapat ditarik kesimpulan bahwa pembangunan ekonomi adalah
cara yang digunakan oleh suatu negara untuk meningkatkan pendapatan nasional.
Pembangunan
ekonomi merupakan suatu proses yang menyebabkan pendapatan per kapita penduduk
suatu masyarakat meningkat dalam jangka yang panjang, disertai dengan perubahan
ciri-ciri penting suatu masyarakat, yaitu perubahan dalam hal teknologi, pola
pikir masyarakat maupun kelembagaan. Berdasarkan kesimpulan tersebut
pembangunan ekonomi memiliki 3 sifat penting diantaranya adalah (Bannock, 2004)
:
1.
Pembangunan sebagai suatu proses
Pembangunan
ekonomi merupakan suatu proses, artinya pembangunan ekonomi merupakan suatu
tahap yang harus dijalani oleh setiap masyarakat atau bangsa. Hal ini
berlangsung secara terus menerus dan bukan merupakan kegiatan yang sifatnya
tidak disengaja.
2.
Pembangunan sebagai usaha untuk
meningkatkan pendapatan perkapita
Sebagai suatu
usaha, pemabangunan merupakan tindakan aktif yang harus dilakukan oleh suatu
negara dalam rangka meningkatkan pendapatan per kapita. Dengan demikian, sangat
dibutuhkan peran serta masyarakat, pemerintah, dan semua elemen yang terdapat
dalam suatu negara untuk berpartisipasi aktif dalam proses pembangunan. Hal ini
dilakukan karena kenaikan pendapatan perkapita mencerminkan perbaikan dalam
kesejahteraan masyarakat.
3.
Kenaikan pendapatan per kapita
berlangsung dalam jangka panjang.
Suatu
perekonomian dapat dinyatakan dalam keadaan berkembang apabila pendapatan per
kapita dalam jangka panjang cenderung meningkat. Namun, hal tersebut bukan
berarti bahwa pendapatan per kapita harus mengalamikenaikan secara
terus-menerus, tetapi pada suatu waktu tertentu dapat turun, namun turunnya
tidak terlalu besar. Namun,kondisi tersebut hanyalah bersifat sementara dan
yang terpenting bagi negara tersebut kegiatan ekonominya secara rata-rata
meningkat dari tahun ke tahun.
Ada beberapa
faktor yang mempengaruhi pembangunan ekonomi, namun pada hakikatnya
faktor-faktor tersebut dapat dikelompokkan menjadi dua yaitu faktor ekonomi dan
faktor non ekonomi (Bannock, 2004).
1.
Faktor Ekonomi
Faktor ekonomi
yang mempengaruhi pertumbuhan dan pembangunan ekonomi diantaranya adalah sumber
daya alam (SDA), sumber daya manusia (SDM), sumber daya modal, dan keahlian
atau kewirausahaan.
Sumber daya
alam yang meliputi tanah dan kekayaan alam seperti kesuburan tanah, keadaan iklim/
cuaca, hasil hutan, tambang, dan hasil laut, sangat mempengaruhi pertumbuhan
industri suatu Negara, terutama dalam penyediaan bahan baku produksi. Sementara
itu, keahlian dan kewirausahaan dibutuhkan untuk mengolah bahan mentah dari
alam, menjadi sesuatu yang memiliki nilai lebih tinggi atau disebut juga
sebagai proses produksi.
Sumber daya
manusia juga menentukan keberhasilan pembangunan nasional melalui jumlah dan
kualitas penduduk. Jumlah penduduk yang besar merupakan pasar yang berpotensi
untuk memasarkan hasil-hasil produksi, sementara kualitas penduduk menentukan
seberapa besar produktivitas yang ada. Sementara itu, sumber daya modal
dibutuhkan manusia untuk mengolah bahan mentah tersebut. Pembentukan modal dan
investasi ditujukan untuk menggali dan mengolah kekayaan. Sumber daya modal
berupa barang-barang modal sangat penting bagi perkembangan dan kelancaran
pembangunan ekonomi karena barang-barang modal juga dapat meningkatkan
produktivitas.
2.
faktor non ekonomi
Faktor non
ekonomi mencakup kondisi sosial kultur yang ada di masyarakat, keadaan politik,
kelembagaan, serta sistem yang berkembang dan berlaku.
Pembangunan
ekonomi juga memiliki dampak diantaranya terdapat dampak positif dan dampak
negatif (Bannock, 2004):
a.
Dampak positif
1.
Melalui pembangunan ekonomi,
pelaksanaan kegiatan perekonomian akan berjalan lebih lancar dan mampu
mempercepat proses pertumbuhan ekonomi.
2.
Adanya pembangunan ekonomi
dimungkinkan terciptanya lapangan pekerjaan yang dibutuhkan oleh masyarakat,
dengan demikian akan mengurangi jumlah pengangguran.
3.
Terciptanya lapangan pekerjaan
akibat adanya pembangunan ekonomi secara langsung dapat memperbaiki tingkat
pendapatan nasional.
4.
Melalui pembangunan ekonomi
dimungkinkan adanya perubahan struktur perekonomian dari struktur akonomi
agraris menjadi ekonomi industri, sehingga kegiatan ekonomi yang dilaksanakan
oleh Negara akan semakin beragam dan dinamis.
5.
Pembangunan ekonomi menuntut
peningkatan kualitas SDM sehingga dalam hal ini, dimungkinkan ilmu pengetahuan
dan teknologi akan berkembang dengan pesat, dengan demikian, akan semakin
meningkatkan kesejahteraan masyarakat.
b. Dampak
negatif
1.
Jika dalam pelaksanaan pembangunan
ekonomi tidak terencana dengan baik dapat mengakibatkan adanya kerusakan
lingkungan hidup
2.
Perubahan struktur ekonomi agraris
menjadi industri (industrialisasi) mengakibatkan berkurangnya lahan pertanian.
3.
Perubahan struktur ekonomi agraris
menjadi industri juga dapat mengakibatkan hilangnya habitat alam baik hayati
atau hewani.
Pembangunan
ekonomi dipandang sebagai proses multidimensional yang mencakup segala aspek
dan kebijaksanaan yang komprehensif baik ekonomi maupun non ekonomi. Oleh sebab
itu, sasaran pembangunan yang minimal ada dan pasti ada menurut Todaro dalam
Suryana (2000:6) adalah sebagai berikut :
1.
Meningkatkan persediaan dan
memperluas pembagian atau pemerataan bahan pokok yang dibutuhkan untuk bisa
hidup, seperti perumahan, kesehatan, dan lingkungan.
2.
Mengangkat taraf hidup termasuk
menambah dan mempertinggi pendapatan dan penyediaan lapangan kerja, pendidikan
yang lebih baik, dan perhatian yang lebih besar terhadap nilai-nilai budaya
manusiawi, yang semata-mata bukan hanya untuk memenuhi kebutuhan materi, akan
tetapi untuk meningkatkan kesadaran akan harga diri baik individu maupun
nasional.
3.
Memperluas jangkauan pilihan ekonomi
dan sosial bagi semua individu dan nasional dengan cara membebaskan mereka dari
sikap perbudakan dan ketergantungan, tidak hanya hubungan dengan orang lain dan
Negara lain, tetapi dari sumber-sumber kebodohan dan penderitaan.
Pembangunan
yang terpusat dan tidak merata yang dilaksanakan selama ini ternyata hanya
mengutamakan pertumbuhan ekonomi serta tidak diimbangi dengan kehidupan sosial,
politik yang demokratis, yang telah menyebabkan krisis moneter dan ekonomi yang
nyaris berlanjut dengan krisis moral yang memprihatinkan. Hal tersebut kemudian
menjadi penyebab timbulnya krisis nasional (tahun 90-an) yang membahayakan
persatuan dan kesatuan serta mengancam kelangsungan hidup bangsa dan negara.
Oleh karena itu, reformasi di segala bidang harus dilakukan untuk bangkit
kembali dan memperteguh kepercayaan diri dan kemampuan untuk melakukan
langkah-langkah penyelamatan, pemulihan, pemantapan, dan pengembangan
pembangunan ekonomi dengan paradigma baru yang berwawasan kerakyatan.
2.
Konsep
Pembangunan Ekonomi dalam Islam
Pembangunan
ekonomi merupakan salah satu aspek penting dalam kehidupan yang sangat
diperhatikan dalam Islam, namun tetap menempatkan manusia sebagai pusat dan
pelaku utama dari pembangunan itu. Islam sebagai agama pengatur kehidupan
berperan dalam membimbing dan mengarahkan manusia dalam mengelola sumber daya
ekonomi untuk mencapai kemaslahatan di dunia dan akhirat. Khurshid Ahmad [37]meletakkan
empat dasardasar filosofi pembangunan yang diturunkan dari ajaran Islam, yaitu:
1.
Tauhîd, yang meletakkan dasar-dasar
hubungan antara Allah-manusia dan manusia dengan sesamanya;
2.
Rubûbiyyah, yang menyatakan
dasar-dasar hukum Allah untuk selanjutnya mengatur model pembangunan yang
bernafaskan Islam;
3.
Khalîfah, yang menjelaskan status
dan peran manusia sebagai wakil Allah di muka bumi. Pertanggungjawaban ini
menyangkut manusia sebagai Muslim maupun sebagai anggota dari umat manusia.
Dari konsep ini lahir pengertian tentang perwalian, moral, politik, serta
prinsip-prinsip orgaisasi sosial lainnya.
4.
Tazkiyyah, misi utama utusan Allah
adalah menyucikan manusia dalam hubungannya dengan Allah, sesamanya, alam
lingkungannya, masyarakat dan negara.
Konsep tauhîd
meletakkan peraturan-peraturan tentang hubungan Allah dengan manusia dan
hubungan manusia dengan sesama. Konsep rubûbiyyah berarti mengakui sifat Allah
sebagai penguasa yang membuat peraturan-peraturan bagi menampung dan menjaga
serta mengarahkan kehidupan makhluk ke arah kesempurnaan. Konsep ini merupakan
undang-undang asasi dalam alam jagat yang merupakan pedoman tentang model yang
suci bagi pembanguan sumber supaya berguna, saling tolong-menolong dan saling
bersekutu di antara mereka dalam kebaikan. Konsep khilâfah menempatkan manusia
selaku khalîfah di muka bumi ini yang bertanggungjawab sebagai pemegang amanah
Allah dalam bidang akhlak, ekonomi, politik, sosial dan juga prinsip organisasi
sosial bagi manusia. Sementara konsep tazkiyyah berperan dalam penyucian
hubungan manusia dengan Allah, manusia dengan manusia dan manusia dengan alam sekitarnya.
Artinya, konsep ini mengajarkan manusia untuk membangunkan dirinya yang
akhirnya dapat membangunkan semua dimensi kehidupannya termasuk dimensi
ekonomi. Hasilnya adalah falâh.[38]
yaitu kesejahteraan kehidupan di dunia dan di akhirat.
Berdasarkan dasar-dasar
filosofis di atas selanjutnya dapat diperjelas melalui prinsip pembangunan
ekonomi menurut Islam sebagai berikut:[39]
a.
Pembangunan ekonomi dalam Islam
bersifat komprehensif dan mengandung unsur spiritual, moral, dan material.
Pembangunan merupakan aktivitas yang berorientasi pada tujuan dan nilai. Aspek
material, moral, ekonomi, sosial spiritual dan fisikal tidak dapat dipisahkan.
Kebahagian yang ingin dicapai tidak hanya kebahagian dan kesejahteraan material
di dunia, tetapi juga di akhirat.
b.
Fokus utama pembangunan adalah
manusia dengan lingkungan kulturalnya. Ini
c.
berbeda dengan konsep pembangunan
ekonomi modern yang menegaskan bahwa wilayah operasi pembangunan adalah
lingkungan fisik saja. Dengan demikian Islam memperluas wilayah jangkauan obyek
pembangunan dari lingkungan fisik kepada manausia.
d.
Pembangunan ekonomi adalah aktivitas
multidimensional sehingga semua usaha harus diserahkan pada keseimbangan
berbagai faktor dan tidak menimbulkan ketimpangan.
e.
Penekanan utama dalam pembangunan
menurut Islam, terletak pada pemanfaatan sumberdaya yang telah diberikan Allah
kepada ummat manusia dan lingkungannya semaksimal mungkin. Selain itu,
pemanfaatan sumberdaya tersebut melalui pembagian, peningkatannya secara merata
berdasarkan prinsip keadilan dan kebenaran. Islam menganjurkan sikap syukur dan
adil dan mengutuk sikap kufur dan zalim.
Konsep-konsep
Islam menginspirasi seluruh kehidupan seorang Muslim. Kepercayaan pada keesaan
Sang Pencipta alam semesta ini melimpahkan suatu kesatuan dasar pada berbagai
lapisan masyarakat. Konsep Ilâhi (Rubûbiyyah) mencegah manusia dari kesombongan
yang merupakan ciri dari peradaban modern. Konsep khilâfah dan tazkiyyah
menjadi fondasi pada kebijakan pembangunan, memberikan kepada manusia rasa
tanggung jawab dalam menjalankan urusan dunia dan memastikan bahwa kegiatan
pembangunan tidak merusak lingkungan alam yang diciptakan oleh Allah. Dengan demikian, konsep pembangunan ekonomi
didefinisikan secara komprehensif.[40]
Tujuan utama
dari pembangunan ekonomi menurut Islam adalah untuk mencapai kesejahetaraan
manusia. Manusia telah ditempatkan di bumi sebagai pelaku utama atau khalîfah
untuk menjalankan proses pembangunan. Manusia selain sebagai pelaku utama pembangunan
juga sebagai penikmat utama dari pembangunan itu, karena melalui pembangunan
manusia, dia dapat menjalankan tugas utamanya diciptakan di muka bumi ini,
yaitu beribadah.[41]
Fokus dan inti
utama pembangunan dalam Islam adalah pembangunan manusia itu sendiri termasuk
aspek sosial dan budayanya. Ini berarti Islam menganggap diri manusia
sendirilah yang merupakan tempat sebenarnya aktivitas pembangunan itu.
Pemikiran ini berangkat dari pandangan Islam yang menempatkan manusia sebagai khalîfah
yang diamanahkan oleh Allah untuk mengelola bumi sesuai dengan kehendak-Nya
(syariat Islam) yang pada suatu saat nanti (di akhirat) akan diminta
pertanggungjawaban atas pembangunan (amalan) yang telah dilakukannya.
Isyarat
Pembangunan dalm A-Qur’an;
Pembangunan
dalam pemikiran Islam bermuara pada kata ‘imârah atau ta’mîr[42]
sebagai isyarat dalam Al Quran:
وَإِلَى ثَمُودَ
أَخَاهُمْ صَالِحًا قَالَ يَا قَوْمِ اعْبُدُوا اللَّهَ مَا لَكُمْ مِنْ إِلَهٍ
غَيْرُهُ هُوَ أَنْشَأَكُمْ مِنَ الأرْضِ وَاسْتَعْمَرَكُمْ فِيهَا
فَاسْتَغْفِرُوهُ ثُمَّ تُوبُوا إِلَيْهِ إِنَّ رَبِّي قَرِيبٌ مُجِيبٌ (٦١)
dan kepada Tsamud (kami utus)
saudara mereka shaleh. Shaleh berkata: "Hai kaumku, sembahlah Allah,
sekali-kali tidak ada bagimu Tuhan selain Dia. Dia telah menciptakan kamu
dari bumi (tanah) dan menjadikan kamu pemakmurnya[726], karena itu
mohonlah ampunan-Nya, kemudian bertobatlah kepada-Nya, Sesungguhnya Tuhanku
Amat dekat (rahmat-Nya) lagi memperkenankan (doa hamba-Nya)."
[726] Maksudnya: manusia dijadikan
penghuni dunia untuk menguasai dan memakmurkan dunia.
Kemudian
dihubungan dengan penciptaan manusia di bumi sebagai khalîfah:
وَإِذْ
قَالَ رَبُّكَ لِلْمَلائِكَةِ إِنِّي جَاعِلٌ فِي الأرْضِ خَلِيفَةً
قَالُوا أَتَجْعَلُ فِيهَا مَنْ يُفْسِدُ فِيهَا وَيَسْفِكُ الدِّمَاءَ وَنَحْنُ
نُسَبِّحُ بِحَمْدِكَ وَنُقَدِّسُ لَكَ قَالَ إِنِّي أَعْلَمُ مَا لا تَعْلَمُونَ
(٣٠)
30. ingatlah
ketika Tuhanmu berfirman kepada Para Malaikat: "Sesungguhnya aku hendak
menjadikan seorang khalifah di muka bumi." mereka berkata:
"Mengapa Engkau hendak menjadikan (khalifah) di bumi itu orang yang akan
membuat kerusakan padanya dan menumpahkan darah, Padahal Kami Senantiasa
bertasbih dengan memuji Engkau dan mensucikan Engkau?" Tuhan berfirman:
"Sesungguhnya aku mengetahui apa yang tidak kamu ketahui."
Menurut Joni Tamkin tujuan kebijakan pembangunan dalam kerangka
Islam adalah:[43]
a.
Pembangunan
sumber daya insani, yaitu menjadikan manusia sebagai objektif utama dari
kebijakan pembangunan Islam. Fakus utama dilakukan pada pengembangan
pendidikan, orientasi spiritual dan pengembangan struktur hubungan yang
berbasiskan kepada kerjasama, perkongsian dan penyertaan.
b.
Pertambahan
pengeluaran yang bermanfaat, dalam hal ini diutamakan pada pengeluaran yang
mengutamakan keperluan dasar (dharûriyât) dibandingkan dengan pengeluaran atas
barang pelengkap (kamâliyât) dan barang mewah (tahsiniyât).
c.
Peningkatan
kualitas kehidupan, yaitu melalui penciptaan lapangan kerja, pengadaan sistem
jaminan sosial, dan pemeraan pendapatan.
d.
Pembangunan
yang seimbang, yaitu pembangunan yang harmoni, tidak terjadi kepincangan
pembangunan di berbagai sektor dan wilayah.
e.
Pembangunan teknologi baru
f.
Pengurangan
ketergantungan terhadap utang luar negeri
Tujuan pokok pembangunan adalah menanggulangi kemiskinan melalui
terpenuhinya segala kebutuhan pada taraf hidup sejahtera. Adapun tujuan secara
umum adalah terwujudnya keadilan distribusi, efisiensi pendayagunaan sumber
daya ekonomi, mengembangkan kemampuan produksi dan sumberdaya manusia. Kemudian
menciptakan segala sesuatu yang dikehendaki dalam maqâshid syari’ah, sebagai
hak-hak dasar setiap individu. Berupa lima maslahat pokok (al-dharuriyât
al-khams), terkait dengan segala kebutuhan dasar ekonomi yang harus terpenuhi,
demi terpeliharanya keselamatan agama, jiwa, akal, keturunan dan harta manusia.
Selain itu juga menurut Umer Chapra pembangunan harus mampu mengurangi
kesenjangan antara daerah, serta memperhatikan kepentingan generasi mendatang
berkenaan dengan cara mengeksploitasi sumber daya alam yang tersedia. Strategi
dan model pembangunan yang diterapkan dalam masyarakat muslim atau negara
Muslim harus cocok dan sesuai dengan nilai-nilai yang dianut oleh komunitas
muslim tersebut. Tidak boleh terjadi pertentangan antara tujuan dan strategi
pembangunan yang diimplementasikan.[44]
BAB III
METODE PENELITIAN
1.
Pendekatan
Penelitian
Pendekatan yang digunakan dalam penelitian ini adalah pendekatan
kualitatif. Menurut Irawan ( 2006 ) peneliti kualitatif berfikir secara
induktif (grounded). Penelitian kualitatif tidak dimulai dengan
mengajukan hipotesis dan kemudian menguji kebenarannya (berfikir deduktif),
melainkan bergerak dari bawah dengan mengumpulkan data sebanyak mungkin tentang
sesuatu, dan dari data itu dicari polapola, hukum, prinsip-prinsip, dan
akhirnya menarik kesimpulan dari analisis yang telah dilakukan. Karena itu,
kalaupun ada hipotesis dalam penelitian kualitatif, hipotesis tersebut tidak
diuji untuk diterima atau ditolak.
Penelitian kualitatif menurut Guba dan Lincoln (1985. hal.198).),”Qualitative
Methods are stressed within the naturalistic paradigm is antiquantitative but
because qualitative methods come more easily to the human as instrument
Dalam penelitian kualitatif yang ditekankan adalah paradigm
natural, karena manusia sebagai instrument utama dalam penelitian yaitu pihak
Direktorat Jenderal Pajak sebagai pembuat kebijakan serta pihak lain yang
memiliki keahlian di bidang perpajakan.
Dalam penelitian kualitatif tidak memulai dengan sebuah teori untuk
menguji atau membuktikan. Berangkat dari kasus-kasus yang bersifat khusus
berdasarkan pengalaman nyata untuk kemudian dirumuskan menjadi model, konsep,
teori, prinsip, proporsi, atau definisi yang bersifat umum. Pengambilan data
pada penelitian kualitatif dilakukan secara berulang-ulang (iteration) sampai
dirasakan jenuh (redundancy) atau sampai dirasakan jawaban yang didapat
hampir sama. Seperti yang dikatakan oleh Guba dan Lincoln (1985) “The Iteration
are repeated as often as necessary until redundancy is achived.” (hal.188).
Alasan menggunakan pendekatan kualitatif karena penelitian ini
dilakukan untuk memperoleh gambaran mendalam mengenai objek penelitian yaitu
mengenai bagaimana perkemabngan dan kemajuan wakaf sebagiaman UU No.41 Tahun
2004 dikaitkan dengan studi pembangunan ekonomi melalui wakaf di Indonesia dan
Malaysia. Untuk tambahan informasi yang akurat akan wawancara mendalam dengan
pihak lembaga Badan Wakaf Indonesia dan
pihak praktisi untuk mengetahui pendapat mereka mengenai implementasi
perwakafan di Indonesia dan gambaean di Malaysia.
Sehingga hasil wawancara dan studi kepustakaan dianalisis sehingga
dapat menjawab pertanyaan penelitian. Oleh karena itu peneliti memilih
pendekatan kualitatif dalam penelitian ini.
2.
Jenis Penelitian
Jenis penelitian yang digunakan adalah penelitian deskriptif.
Pemilihan jenis ini didasarkan atas pertimbangan bahwa dalam penelitian ini
pertama-tama penulis akan menggambarkan mengenai berlangsungnya pelaksanaan perwakafan
di Indonesia dan Malaysia dengan didukung data-data dan teori tentang wakaf dan
pemabngunan ekonomi. Selanjutnya dilakukan analisis atas praktek yang ada pada
saat ini dan menyimpulkan dari hasil analisis yang dikaji oleh peneliti saat
ini.
Penelitian deskriptif menurut Neuman ( 2000 ) adalah: “descriptive
research present a picture of the a specific details of situation, social
setting, or relationship. The outcome of a descriptive study is a detailed
picture of the subject. Jadi dalam
penelitian deskriptif menggambarkan situasi, kondisi sosial ataupun hubungan
dan hasil dari penelitian deskriptif adalah gambaran subjek secermat mungkin.
3.
Metode Pengumpulan Data
Pengumpulan
data dalam penelitian ilmiah adalah prosedur yang sistematis untuk memperoleh
data yang diperlukan. Dalam penelitian kualitatif teknik pengumpulan data dapat
dilakukan melalui setting dari berbagai sumber dan cara. Metode pengumpulan
data sangat erat hubungannya dengan masalah penelitian yang ingin dipecahkan.
Untuk memperoleh data dan informasi yang dibutuhkan dalam penelitian ini
digunakan beberapa teknik dan alat pengumpulan data sebagai berikut:
a.
Studi Kepustakaan ( Library Research )
Dalam penelitian ini studi kepustakaan dilakukan dengan cara
membaca dan mempelajari sejumlah buku, literatur, jurnal ilmiah, website
internet untuk mendapatkan kerangka teori yang menjadi landasan dalam
penelitian ini. Selain itu peneliti juga mempelajari ketentuan- ketentuan
perpajakan yang terkait dengan objek penelitian untuk memahami konteks
permasalahan secara mendalam.
b.
Studi Lapangan (field research)
Studi
lapangan dilakukan dengan melakukan wawancara mendalam (dengan menggunakan
pedoman wawancara) kepada para key informan, yaitu orang-orang yang kompeten
yang memahami permasalahan yang diangkat dalam penelitian ini, yaitu:
1.
Pihak Lembaga Badan Wakaf Indonesia
a.
Pihak
Kantor BWI selaku lembaga sertifikasi dan pendataan wakaf di Indonesai . Dalam hal
ini wawancara dilakukan dengan pejabat pada Badan Wakaf Indonesia
b.
Kepala
Kantor. Wawancara dengan informan tersebut dimaksudkan untuk mendapatkan
informasi mengenai proses berlangsungnya prosedur perwakafan di Indonesia.
1.
Pihak
Akademisi
Wawancara
dengan pihak akademisi dilakukan yang berkompeten dan focus pada perwakafan . Wawancara
dengan akademisi dimaksudkan untuk meminta pandangan mengenai pelaksanaan perwakafan
di Indonesia.
2.
Pihak
Praktisi
a.
Lembaga
Pendidikan/ Pesantren dengan Status Wakaf dengan kemandirian Ekonominya.
b.
YPPWPM
Gontor: Yayasan Pemeliharaan Perluasan Wakaf Pondok Modern Gontor.
c.
Dan
saterusnya.
4.
Teknik Analisis Data
Analisis data dapat didefinisikan sebagai proses mencari dan
mengatur secara sistematis bahan-bahan yang telah di peroleh , yang seluruhnya
dikumpulkan untuk meningkatkan pemahaman terhadap fenomena yang diteliti atau
membantu peneliti untuk mempresentasikan temuan penelitian. ( Bogdan, Bikken
sebagaimana dikutip Irawan, 2006)
Peneliti mengumpulkan data-data dan menganalisis data yang dikumpulkan
dari lapangan kemudian mengambil kesimpulan untuk menjawab pokok permasalahan
yang telah dirumuskan sebelumnya..
Dalam melakukan penelitian terhadap fenomena yang diteliti adalah
bagaimana perkembangan wakaf di Indonesia dan Malaysia dan wakaf sebagai
instrument pembangunan ekonomi . kemudiaan dari pertanyaan kepada para informan
kunci yang memiliki pengetahuan memadai mengenai fenomena yang akan diteliti
serta membandingkanya dengan teori yang ada. Dari abstraksi data-data empiris
yang diperoleh dari lapangan , peneliti akan menarik kesimpulan.
DAFTAR PUSTAKA
Ali
Rama dan Makhlani, PEMBANGUNAN EKONOMI DALAM TINJAUAN MAQÂSHID SYARI’AH, Diterbitkan
di Jurnal Penelitian dan Kajian Keagaamaan, Balitbang Kemenag: Dialog, Vol. 1,
No. 1, Juni 2013, h. 31-46.
Al-Qur’an
Al-Karim\
Asmak
Ab Rahman, PERANAN WAKAF DALAM PEMBANGUNAN EKONOMI UMAT ISLAM DAN APLIKASINYA
DI MALAYSIA, Jurnal Syariah, Jil. 17, Bil. 1 (2009) 113-152
Ausaf
Ahmad, “Economic Development in Islamic Development Revisited”, dalam Development
and Islam: Islamic Perspectives on Islamic Development, (New Delhi:
Institute of Objective Studies, 1998), hal. 52.
Buletin
Al-Awqaf, Wakaf
Wujudkan Kemandirian Ekonomi, edisi 2 Tahun 2015
Cholil
Nafis, Menggali Sumber Dana Umat Melalui Wakaf Uang, Makalah tidak
diterbitkan, 2007.
Direktorat
Pemberdayaan Wakaf Direktorat Jendral Bimbingan Masyarakat Islam Departemen
Agama RI , Fiqih Wakaf,
Farid
wadjdy& Mursyid , Wakaf & Kesejahteraan Umat (Yogyakarta:
Pustaka Pelajar, 2007)
Hendi
Suhendi, Fiqh Muamalah (Jakarta: Raja Grafindo Persada, 2002)
Imam
muhammad bin isma‟il, subulussalam, surabaya al hidayah, juz 3 hal 88. Sulaiman Rasjid, Fiqih Islam, (Bandung:
Sinar Baru Algensindo, 2012), h. 340.
Irfan
Shauqi Beik, Ekonomi Pembangunan Syariah, Jakarta: Rajawali Pres, 2016.,hal.13
Jaih
Mubarok, Wakaf Produktif,h.58-59
Joni
Tamkin, “Pemikiran Pembangunan Ekonomi Berteraskan Islam”, Juranl Ushuluddin,
Vol. 27, Th. 2008, hal. 98-101.
Kurshid
Ahmad, “Pembangunan Ekonomi Dalam Perspektif Islam”, dalam Etika Ekonomi
Politik, (Surabaya: Risalah Gusti, 1997), hal. 8.
Muhammad
Abid Abdullah al-Kabisi, Hukum Wakaf, ( Jakarta, Dompet Dhauafa
Republika, 2004), h. 41
Muhammad
Abid Abdullah al-Kabisi, Hukum Wakaf, h. 251
Muhammad
Fu’ad Abdul Baqi, Sahih Muslim, Bandung, Maktab dahlan, tt, hlm. 1255
Rachmadi
Usman Hukum Perwakafan di Indonesia (Jakarta: Sinar Grafika, 2009), h.
134
Rozalinda, https://rozalinda.wordpress.com/2010/05/04/perkembangan-perwakafan-di-indonesia/ diakses pada 31, Mei 2017-05-31
Saifullah,
Ekonomi Pembangunan Islam, (Bandung: Gunungdjati Press, 2012), hal 44.
Suhrawardi
Lubis, “Potensi Wakaf Untuk Kemandirian Umat” dalam Suhrawardi K. Lubis, Wakaf
dan Pemberdayaan Umat, (Jakarta: Sinar Grafi ka, 2010)
Syaih
muhammad bin shalih al-utsmani, panduan wakaf hibh dan wasiat,
Syihabuddin
ar Ramly, Nihayah al-Muhtaj (Beirut Darul-al Fakir., tt) juz 5 hal .
360-361.
Umar
Chapra, Islam dan Pembangunan Ekonomi, edisi terjemahan (Jakarta: Gema
Insani, 2000), hal. 5.
Wahbah
Zuhaili, Al-Fiqhu al-Islami wa ‘Adillatuhu, Damaskus: Dar al-Fikr alParadigm
Baru Wakaf Di Indonesia, (Jakarta: Direktorat Pemberdayaan Wakaf Direktorat
Jendral Bimbingan Masyarakat Islam Departemen Agama RI), 1
[1] Rozalinda, https://rozalinda.wordpress.com/2010/05/04/perkembangan-perwakafan-di-indonesia/ diakses pada 31, Mei 2017-05-31
[3]
Buletin Al-Awqaf, Wakaf
Wujudkan Kemandirian Ekonomi, edisi 2 Tahun 2015
[4] Republika,
Selasa , 2 Juli 2008
[5] QS. 2: 92
[6]
Cholil Nafis, Menggali Sumber Dana Umat Melalui Wakaf Uang, Makalah
tidak diterbitkan, 2007.
[7]
Suhrawardi Lubis, “Potensi Wakaf Untuk Kemandirian Umat” dalam Suhrawardi K.
Lubis, Wakaf dan Pemberdayaan Umat, (Jakarta: Sinar Grafi ka, 2010),
hlm. 116.
[8]
Asmak Ab Rahman, PERANAN WAKAF DALAM PEMBANGUNAN EKONOMI UMAT ISLAM DAN
APLIKASINYA DI MALAYSIA, Jurnal Syariah, Jil. 17, Bil. 1 (2009) 113-152
[9] Irfan Shauqi
Beik, Ekonomi Pembangunan Syariah, Jakarta: Rajawali Pres, 2016.,hal.13
[10]
Wahbah
Zuhaili, Al-Fiqhu al-Islami wa ‘Adillatuhu, Damaskus: Dar al-Fikr al-
Mu’ashir,
2008, hlm, 151.
[11] Paradigm Baru Wakaf Di Indonesia,
(Jakarta: Direktorat Pemberdayaan Wakaf Direktorat Jendral Bimbingan Masyarakat
Islam Departemen Agama RI), 1
[12] Muhammad Abid
Abdullah al-Kabisi, Hukum Wakaf, ( Jakarta, Dompet Dhauafa Republika,
2004), h. 41
[13] QS.2:92
[14] Muhammad Fu’ad Abdul Baqi, Sahih
Muslim, Bandung, Maktab dahlan, tt, hlm. 1255
[15] Imam muhammad
bin isma‟il, subulussalam, surabaya al hidayah, juz 3 hal 88.
[16] Sulaiman
Rasjid, Fiqih Islam, (Bandung: Sinar Baru Algensindo, 2012), h.
340.
[17] Direktorat
Pemberdayaan Wakaf Direktorat Jendral Bimbingan Masyarakat Islam Departemen
Agama RI, Fiqih Wakaf, h. 22-23
[18] Syihabuddin ar
Ramly, Nihayah al-Muhtaj (Beirut Darul-al Fakir., tt) juz 5 hal .
360-361.
[19] Muhammad Abid
Abdullah al-Kabisi, Hukum Wakaf, h. 251
[20] Direktorat
Pemberdayaan Wakaf Direktorat Jendral Bimbingan Masyarakat Islam Departemen
Agama RI , Fiqih Wakaf, h. 26-29
[21] Direktorat
Pemberdayaan Wakaf Direktorat Jendral Bimbingan Masyarakat Islam Departemen
Agama RI , Fiqih Wakaf, h. 46
[22] Direktorat
Pemberdayaan Wakaf Direktorat Jendral Bimbingan Masyarakat Islam Departemen
Agama RI, Fiqih Wakaf, h. 55
[23] Syaih muhammad
bin shalih al-utsmani, panduan wakaf hibh dan wasiat (jakarta: pustaka
imam syafi‟i, 2008), h. 13
[24] Syaih muhammad
bin shalih al-utsmani, panduan wakaf hibh dan wasiat, h. 9
[25] Direktorat
Pemberdayaan Wakaf Direktorat Jendral Bimbingan Masyarakat Islam Departemen
Agama RI , Fiqih Wakaf, h. 14-15
[26] Hendi Suhendi,
Fiqh Muamalah (Jakarta: Raja Grafindo Persada, 2002),h. 244-24
[27] Rachmadi Usman
Hukum Perwakafan di Indonesia (Jakarta: Sinar Grafika, 2009), h.
134
[28] Rachmadi Usman
,Hukum Perwakafan di Indonesia. h. 135
[29] Farid
wadjdy& Mursyid , Wakaf & Kesejahteraan Umat (Yogyakarta:
Pustaka Pelajar, 2007), h. 163
[30] Farid
wadjdy& Mursyid , Wakaf & Kesejahteraan Umat (Yogyakarta:
Pustaka Pelajar, 2007), h. 164
[31] Farid
wadjdy& Mursyid , Wakaf & Kesejahteraan Umat (Yogyakarta:
Pustaka Pelajar, 2007), h. 164- 165
[32] Suhrawardi,Wakaf
& Pemberdataan Umat (Jakarta : Sinar Grafika, 2010), h. 151
[33] Suhrawardi,Wakaf
& Pemberdataan Umat (Jakarta : Sinar Grafika, 2010), h. 151
[34] Ibid, hal.
155
[35] Jaih Mubarok, Wakaf
Produktif, h. 57
[36] Jaih Mubarok, Wakaf
Produktif,h.58-59
[37]
Kurshid Ahmad, “Pembangunan Ekonomi Dalam Perspektif Islam”, dalam Etika
Ekonomi Politik, (Surabaya: Risalah Gusti, 1997), hal. 8.
[38]
Kata falâh
dan turunannya telah diucapkan sebanyak 40 kali dalam Al Quran. Falâh menurut
Umar Chapra adalah “real well-being of all the people living on earth,
irrespective of their race, colour, age, sex or nationality.
[39]
Ali
Rama dan Makhlani, PEMBANGUNAN EKONOMI DALAM TINJAUAN MAQÂSHID SYARI’AH, Diterbitkan
di Jurnal Penelitian dan Kajian Keagaamaan, Balitbang Kemenag:
Dialog, Vol. 1, No. 1, Juni 2013, h. 31-46.
[40]
Ausaf
Ahmad, “Economic Development in Islamic Development Revisited”, dalam Development
and Islam: Islamic Perspectives on Islamic Development, (New Delhi:
Institute of Objective Studies, 1998), hal. 52.
[41] Lihat QS. Al-Dhâriyyat :
56.
[42] Saifullah, Ekonomi Pembangunan Islam,
(Bandung: Gunungdjati Press, 2012), hal 44.
[43]
Joni
Tamkin, “Pemikiran Pembangunan Ekonomi Berteraskan Islam”, Juranl Ushuluddin,
Vol. 27, Th. 2008, hal. 98-101.
[44]
Umar
Chapra, Islam dan Pembangunan Ekonomi, edisi terjemahan (Jakarta: Gema
Insani, 2000), hal. 5.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar