Selasa, 24 Desember 2019

FILSAFAT PEMIKIRAN EKONOMI ISLAM


BAB I
PENDAHULUAN
A.     LATAR BELAKANG MASALAH
Dalam literatur Islam, sangat jarang ditemukan tulisan tentang pemikiran ekonomi Islam. Buku-buku sejarah Islam sekalipun tidak menyentuh pemikiran ekonomi Islam klasik. Buku-buku sejarah Islam lebih dominan bermuatan sejarah politik. Padahal sejarah membuktikan bahwa ilmuwan muslim era klasik telah banyak menulis dan mengkaji ekonomi islam secara normatif, empiris, dan ilmiah dengan metodologi yang sistematis.
Berbagai praktek dan kebijakan ekonomi yang berlangsung pada masa Rasulullah SAW dan Khulafa’ Ar-Rasyidin merupakan dasar yang dijadikan patokan dan prinsip bagi para cendekiawan Muslim dalam melahirkan teori- teori ekonominya. Ekonomi Islam bertujuan untuk kebutuhan, keadilan, efisiensi, pertumbuhan dan kebebasan, yang merupakan objek utama yang menginspirasi pemikiran ekonomi Islam sejak zaman klasik.Pemikiran ekonomi Islam itu diilhami dan dipandu oleh Al-Qur’an dan sunnah juga ijtihad.
Objek pemikiran ekonomi Islam juga meliputi bagaimana sejarah ekonomi Islam yang terjadi dalam praktek historisnya, yakni bagaimana usaha manusia dalam menginterpretasi dan mengaplikasikan ajaran al-Qur’an pada waktu dan tempat tertentu dan bagaimana orang- orang terdahulu mencoba memahami dan mengamati kegiatan ekonomi serta menganalisa kebijakan- kebijakan ekonomi yang terjadi pada masanya. Permasalahannya adalah bagaimana umat Islam bisa menemukan kembali jejak- jejak pemikiran munculnya konsep ekonomi Islam secara teoritis dalam bentuk rumusan yang mampu diaplikasikan sebagai pedoman tindakan yang berujung pada rambu halal dan haram atau berprinsip syari’ah.
Sementara itu marak dan berkembangnya ekonomi Islam tiga dasawarsa ini telah mendorong dan mengarahkan perhatian para ilmuwan modern kepada pemikiran ekonomi Islam klasik. Karena hasil pemikiran tentang ekonomi islam klasik tersebut merupakan pionir-pionir penting yang sukses melakukan transformasi sistem ekonomi Islam ke dalam dunia modern.
Dari latar belakang masalah yang telah dipaparkan diatas, maka pemakalah ingin lebih lanjut membahas dengan judul Pemikiran Ekonomi Islam Para Filsuf Pioneer Ekonomi Islam (Studi Pemikiran Ekonomi Islam Abu Yusuf dan Abu Ubayd)

B.     RUMUSAN MASALAH
1.      Bagaimana pokok-pokokPemikiran Ekonomi Islam Abu Yusuf dan Abu Ubayd?

C.     TUJUAN PENELITIAN
1.      Mengetahui pokok- pokok pemikiran  ekonomi Islam menurut Abu Yusuf dan Abu Ubayd.

BAB II
PEMBAHASAN
1.      Abu Yusuf (113-182 H/ 731-798 M)
a.       Riwayat Hidup dan Perjalanan Intelektual
Ya’qub bin Ibrahim bin Habib bin Khunais bin Sa’ad Al-Anshari yang dikenal sebagai Abu Yusuf, lahir di Kufah pada tahun 113 H dan meninggal di Baghdad pada tahun 182 H. Dari nasab Ibunya, ia masih punya hubungan darah dengan salah seorang sahabat Rasulullah SAW, yaitu Sa’ad Al- Anshari.[1] Sejak kecil, ia mempunyai minat yang sangat kuat terhadap ilmu pengetahuan. Hal ini tampak dipengaruhi oleh suasana Kufah yang ketika itu  merupakan salah satu pusat peradaban Islam dan tempat para cendikiawan Muslim diseluruh dunia.
Abu Yusuf menimba Ilmu kepada banyak ulama besar seperti, Muhammad Atho bin as-Saib Al-Kufi, Sulaiman bin Mahran Al-A’masy, Hisyam bin Urwah, Muhammad bin Abdurrahman bin Abi Laila, Muhammad bin Ishaq bin Yassar bin Jabbar, dan Al- Hajjaj bin Arthah. Selama tujuh belas tahun Abu Yusuf menuntut ilmu kepada Abu Hanifa pendiri madzhab Hanafi tersebut. Sepeninggal gurunya, Abu Yusuf bersama Muhammad bin Al-Hasan Al-Syaibani menjadi tokoh pelopor dalam menyebarkan dan mengembangkan madzhab Hanafi.[2]
Abu Yusuf tumbuh sebagai seorang yang alim yang sangat dihormati oleh berbagai kalangan, baik ulama, penguasa maupun masyarakat umum. Disisi lain, sebagai salah satu bentuk pengakuan pemerintah atas keluasan ilmunya, Khalifah Dinasti Abbasiyah Harus Ar-Rasyid mengangkat Abu Yusuf sebagai Ketua Mahkamah Agung (Qadhi al-Qudha).[3]Diantara kitab- kita Abu Yusuf, kitab yang paling terkenal adalah kitab Al-Kharaj. Kitab ini ditulis diatas pemerintahan Khalifah Harun ar-Rasyid untuk pedoman dalam menghimpun pemasukan atau pendapatan negara dari Kharaj, Ushr, Zakat, dan Jizyah. Kitab ini dapat digolongkan sebagai publik finance dalam pengertian ekonomi modern.[4]
b.      Pemikiran Makro Ekonomi Abu Yusuf
a)      Kebijakan Fiskal Abu Yusuf
Abu Yusuf dikenal perhatiannya atas keuangan umum serta perhatiannya pada peran negara, pekerjaan umum dan perkembangan pertanian, pembahasan utamanya adalah perpajakan dan tanggung jawab ekonomi dari negara, dengan tujuan untuk menghindari kedzaliman yang menimpa rakyat serta mendatangkan kemaslahatan bagi penguasa. Abu Yusuf mempertegas bahwa ilmu ekonomi adalah bagian yang tidak terpisahkan dari seni dan manajemen pemerintah dalam rangka pelaksaaan amanat untuk mensejahterakan rakyat. Pemikiran Abu Yusuf diilhami dengan semangat keislaman, yang bertitik pada pelayanan publik. Jelasnya, kontribusi besar dalam menentukan kewajiban- kewajiban penguasa, status baitul maal, prinsip- prinsip perpajakan dan hubungan pertanian kondusif untuk kemajuan sosial.[5]
b)      Penerimaan Negara menurut Abu Yusuf
Islam sebagai agama penyempurna memiliki sistem yang terpadu, tidak hanya mengatur tata cara peribadatan saja, namun juga mengatur seluruh aspek kehidupan manusia termasuk ekonomi politik. Abu Yusuf dalam kitabnya Al- Kharaj menjelaskan pos- pos penerimaan negara secara rinci:
1)      Ghanimah yaitu segala sesuatu yang dikuasai oleh kaum muslimin dari harta orang kafir melalui peperangan. Dalam pembagiannya 1/5 atau 20% untuk Allah dan Rasul-Nya serta orang-orang miskin dan 4/5 saham bagi pengikut perang.SedangkanFay’ adalah segala sesuatu yang dikuasai muslim dari harta orang kafir tanpa melalui peperangan.
2)      Kepemilikan Umum, harus dikembalikan kepada rakyat, baik berupa harta yang dibagikan langsung, maupun berupa pelayanan negara yang dibiayai dari penjualannya. Dalam hal ini Abu yusuf menjelaskan bidang yang menjadi sumber pendapatan, yaitu bidang sungai dan perairan, tanah milik pertanian dibawah kekuasaan Persia (qathi’), dan tanah mati (ihya’ul mawat) yang tidak difungsikan dengan baik dan tanah pemerintah yang disewakan.
3)      Sedekah, adalah zakat yaitu zakat binatang ternak , zakat pertanian jika memerlukan kerja keras maka zakatnya 5%, jika tidak banyak memerlukan pembiayaan maka zakatnya 10%, zakat perdagangan bersamaan dengan usyur perdagangan, serta zakat hasil mineral atau barang tambang sebesar 20%.[6]
c)      Kebijakan Strategis Abu Yusuf
Abu Yusuf dalam membenahi sistem perekonomian, ia membenahi mekanisme ekonomi dengan jalan membuka jurang pemisah antara kaya dan miskin. Ia memandang bahwa masyarakat memiliki hak dalam campur tangan ekonomi, begitu juga sebaliknya pemerintah tidak memiliki hak, bila ekonomi tidak adil. Disini Abu Yusuf memiliki dua hal pokok penting yang harus dilakukan. Pertama, menentukan tingkat penetapan pajak yang sesuai dan simbang dalam upaya menghindari negara dari resesi ekonomi. Kedua, pengaturan pengeluaran pemerintah sesuai dengan kebijakan umum. Menurut Abu Yusuf diantara yang perlu dibenahi adalah income, expenditure dan mekanisme pasar.[7] Untuk mewujudkannya, beliau mengambil langkah sebagai berikut:[8]
1)      Perubahan sistem penetapan pajak dari sistem misahah/ wazifah menjadi sistem muqasamah. Misahah adalah sistem pemungutan pajak yang ditentukan berdasarkan pada nilai tetap, tanpa membedakan ukuran kemampuan wajib pajak atau pajak- pajak yang dipungut dengan ketentuan jumlah yang sama secara keseluruhan. Sedangkan muqasamah adalah sistem pemungutan pajak yang diberlakukan berdasarkan nilai yang tidak tetap (berubah), dengan mempertimbangkan tingkat kemampuan dan presentase penghasilan atau pajak proposional. Perubahan sistem ini dilakukan dalam rangka mencapai ekonomi yang adil.
2)      Membangun fleksibilitas sosial. Yaitu kewajiban warga negara non-muslim untuk membayar pajak. Abu Yusuf memandang bahwa warga negara sama dihadapan hukum, sekalipun beragam non-Islam. Dalam hal ini, abu Yusuf membagi tiga golongan orang yang tidak memiliki kapasitas hukum secara penuh, yaitu harbi, musta’min dan dzimmi. Kelompok musta’min dan dzimmi adalah kelompok asing yang berada di wilayah kekuasaan Islam dan membutuhkan perlindungan keamanan dari pemerintah Islam, serta tunduk dengan segala aturan hukum yang berlaku. Hal ini lebih mengarah pada tingkat keseimbangan dan nilai- nilai keadilan yang manusiawi serta persamaan hak dan juga mekanisme penetapan pajak jizyah dalam menunaikan kewajibannya sebagai warga negara. Pemahaman fleksibilitas yang dibangun Abu Yusuf juga terlihat dari sikapnya yang toleran pada non-muslim dalam memberi izin melakukan transaksi perdagangan diwilayah kekuasaan Islam. Abu Yusuf menolak pendapat yang melarang pedagang Islam untuk berdagang di wilayah dar al-harbi, guna membentuk peluang untuk kontribusi bagi pembangunan dan penyebaran taknik perdagangan ke seluruh dunis, seperti Cina, Afrika, Asia Tengah, Asia Tenggara, dan Turki.
3)      Membangun sistem politik dan ekonomi yang transparan. Menurut Abu Yusuf asas transparan dalam ekonomi merupakan bagian yang paling penting guna mencapai perwujudan ekonomi yang adil dan manusiawi. Seperti pengaturan pengeluaran negara, baik berkait dengan insidental reveneu (ghanimah dan fa’i) maupun permanen reveneu (kharaj, jiz’ah, ushr dan zakat).
4)      Menciptakan sistem ekonomi yang otonom. Untuk mewujudkan visi ekonominya, Abu Yusuf menciptakan sistem ekonomi yang otonom (tidak terikat dari intervasi pemerintah).
Abu Yusuf mengatakan bahwa tidak ada batasan tertentu tentang murah dan mahal yang dapat dipastikan. Hal tersebut ada yang mengaturnya. Prinsipnya tidak bisa diketahui. Murah bukan karena melimpahnya makanan, murah dan mahal merupakan ketentuan Allah.
c.       Pengeluaran Negara Menurut Abu Yusuf[9]
a)      Belanja Pegawai
b)      Pertahanan Militer
c)      Pemenuhan Kebutuhan Dasar Masyarakat (minimum level of living)
d)      Proyek Infrastruktur
e)      Mustahik Zakat

2.      Abu Ubaid (150- 224 H)
a.      Riwayat Hidup dan Perjalanan Intelektual
Abu Ubaid adalah bernama lengkap Al-Qasim bin Sallam bin Miskin bin Zaid Al-Harawi Al-Azadi Al-Baghdadi. Ia lahir pada tahun 150 H di kota Harrah, Khurasan, sebelah barat laut Afghanistan. Ayahnya keturunan Byzantium yang menjadi maula suku Azd. Setelah memperoleh ilmu yang memadai dikota kelahirannya, pada usia 20 tahun Abu Ubaid pergi berkelana untuk menuntut ilmu keberbagai kota seperti Kufah, Basrah dan Baghdad. Ilmu- ilmu yang dipelajarinya antara lain mencakup ilmu tata bahasa Arab, qira’at, tafsir, hadist dan fiqih. Pada masa Khalifah Harun Ar-Rasyid Abu Ubaid diangkat sebagai qadhi (hakim) di Tarsus pada tahun 192 H hingga 210 H.[10].
Menurut Abu Bakar ibn Al-Anbari, Abu Ubaid membagi malamnya menjadi tiga bagian, sepertiganya untuk tidur, sepertiganya untuk shalat malam, dan sepertiganya untuk mengarang. Baginya satu hari mengarang itu lebih utama daripada menggoreskan pedang di jalan Allah.  Menurut Ibnu Rohubah: “kita memerlukan orang seperti Abu Ubaid tetapi dia tidak memerlukan kita”. Dalam pandangan Ahmad ibn Hambal, Abu Ubaid adalah orang yang bertambah kebaikannya setiap hari.Abu Ubaid adalah seorang ulama yang cerdas dan pintar sehingga banyak ulama yang menyanjung dan memujinya. Bahkan menurut Ishaq, Abu Ubaid itu yang terpandai diantara dirinya, Syafi’i dan Ahmad bin Hambal.[11]
Selama menjadi qadhi di Tarsus, ia sering menangani berbagai kasus pertanahan dan perpajakan serta telah menyelesaikannya dengan baik.[12]Hasil karyanya ada sekitar 20, baik dalam bidang ilmu nahwu, qira’ah. Fikih, syair, dan lain- lain. Yang terbesar dan terkenal adalah Kitab Al- Amwaal dalam bidang fikih. Kitab ini merupakan suatu karya yang lengkap tentang keuangan negara dalam Islam. Buku ini juga merupakan rangkuman tradisi asli dari Nabi dan para sahabat serta tabi’in tentang masalah ekonomi.[13]
Awal pemikirannya dalam kitab al- Amwal dapat ditelusuri dari pengamatan yang dilakukan Abu Ubaid terhadap militer, politik dan masalah fiskal yang dihadapi administrator pemerintahan di propinsi- propinsi perbatasan pada masanya. Berbeda dengan Abu Yusuf, Abu Ubaid tidak menyinggung masalah kelangkaan sistematik dan penanggulangannya. Namun, kitab al- Amwal dapat dikatakan lebih kaya dari kitab al- Kharaj dari sisi kelengkapan hadist serta kesepakatan- kesepakatan tentang hukum berdasarkan atsar (tradisi asli) dari para sahabat, tabi’in dan tabi’ at-tabi’in. Isi buku ini dimulai dengan bab singkat tentang hak penguasa, lalu jenis harta yang dikelola penguasa untuk kepentingan subjek dan merujuk pada Al-Qur’an dan Hadist, serta tentang sumber penerimaan negara.
Karena itulah Abu Ubaid menjadi salah seorang pionir dari nilai- nilai tradisional, pada abad 3 H,yang berpendapat bahwa revitalisasi dari sistem perekonomian adalah melalui reformasi terhadap akar- akar kebijakan keuangan serta institusinya dengan berdasarkan al-Qur’an dan Hadist.
Dalam kitabnya Al- Amwaal, beliau tidak menyinggung tentang masalah kelemahan sistem pemerintahan serta penanggulangannya. Abu Ubaid lebih tertuju pada permasalahan yang berkaitan dengan standar etika politik suatu pemerintahan daripada teknik efisiensi pengeloaannya. Tanpa menyimpang dari prinsip keadilan dan masyarakat beradab, Abu Ubaid mengedepankan dominasi intelektualitas islami yang berakar dari pendekatannya yang bersifat holistic dan teologis terhadap kehidupan masnusia di dunia dan akhirat, baik yang bersifat individual maupun sosial.[14]
Kitab al- Amwaal merupakan sebuah mahakarya tentang ekonomi yang dibuat oleh Abu Ubaid yang menekankan beberapa issu mengenai perpajakan, hukum, serta hukum administrasi dan hukum internasional. Kitab al- Amwaal secara komprehensif membahas tentang keuangan publik Islam terutama pada bidang administrasi pemerintahan. Kitab ini juga memuat sejarah ekonomi Islam selama dua abad pertama hijriyah, dan merupakan sebuah ringkasan tradisi Islam asli dari Nabi, para sahabat dan para pengikutnya mengenai masalah ekonomi.
b.      Pemikiran  Ekonomi Abu Ubaid
a)      Filosofi Hukum dari sisi Ekonomi
Jika buku Abu Ubaid dievaluasi dari sisi filsafat hukum maka akan tampak bahwa Abu Ubaid menekankan keadilan sebagai prinsip utama. Pengimplementasian dari prinsip ini akan membawa kepada kesejahteraan ekonomi dan keselerasan sosial. Pada dasarnya ia memiliki pendekatan yang berimbang kepada hak- hak individual, publik dan negara, jika kepentingan indivisua berbenturan dengan kepentingan publik maka ia akan berpihak pada kepentingan publik.[15]
Tulisan Abu Ubaid lahir pada masa kuatnya dinasti Abbasiyah dan tidak ada masalah legistimasi, sehingga pemikirannya seringkali menekankan pada kebijakan khalifah untuk membuat keputusan dengan kehati- hatian. Khalifah diberikan kebebasan memilih diantara alternatif pandangannya asalkan dalam tindakannya itu berdasarkan pada ajaran Islam dan diarahkan pada kemanfaatan kaum Muslim, yang tidak berdasarkan pada kepentingan pribadi.[16] Contoh Abu Ubaid berpendapat bahwa zakat dari tabungan dapat diberikan kepada negara ataupun penerimanya sendiri, sedangkan zakat komoditas harus diberikan kepada pemerintah, jika tidak maka kewajiban agama diasumsikan tidak ditunaikan.[17]
Dia menyatakan bahwa imam mempunyai wewenang dalam memutuskan untuk kepentingan publik seperti membagi tanah takhlukan pada para penakhluk ataupun membiarkan kepemilikannya pada penduduk setempat atau lokal. Abu Ubaid menyebutkan bahwa Imam yang adil dapat memperluas batasan batasan yang telah ditentukan apabila mendesak kepentingan publik. Akan tetapi pembendaharaan negara tidak boleh disalahgunakan atau dimanfaatkan oleh penguasa.
Abu Ubaid membahas dalam  tarif atau presentase pajak tanah, ia menyinggung tentang pentingnya keseimbangan antara kekuatan financial dari subjek Non- Muslim, dalam financial modern  disebut “capacity to pay”. Kaum Muslimin dilarang menarik pajak terhadap tanah penduduk Non-Muslim melebihi dari apa yang diperbolehkan dalam perjanjian damai.[18]
Dengan kata lain, Abu Ubaid berupaya untuk menghentikan terjadinya diskriminasi atau penindasan dalam perpajakan serta terjadinya penghindaran terhadap pajak. Berdasarkan situasi dan kondisi Abu Ubaid mengadopsi kaidah fiqih” la yunkaru taghayyiru al-fatwa bi taghayyur al-azminah” (keberagaman aturan atau hukum karena perbedaan waktu atau periode tidak dapat dielakkan). Namun hal tersebut bisa sah apabila diputuskan melalui ijtihad yang didasarkan pada nash.[19] Beliau juga menekankan pentingnya keseimbangan antara pemenuhan hak dan pelaksanaan kewajiban.
b)      Kepemilikan terhadap Perbaikan Pertanian
Menurut Abu Ubaid kebijakan pemerintah seperti iqta’ terhadap tanah gurun dan deklarasi resmi terhadap kepemilikan individual dari tanah tandus atau tanah yang sedang diusahakan keseburannya atau diperbaiki sebagai insentif untuk meningkatkan produksi pertanian, maka tanah yang diberikan dengan persyaratan untuk ditanami, dibebaskan dari kewajiban membayar pajak. Jika dibiarkan menganggur selama 3 tahun berturut- turut akan didenda dan kemudian akan dialihkan kepemilikannya oleh Imam. Dan iqtha’ hanya berlaku pada tanah yang tidak dimiliki dan bukan jizyah, jika keadaan tanah tersebut demikian maka pengaturannya diserahkan kepada Kepala Negara.[20]
Bahkan tanah gurun yang termasuk dalam hima, dengan maksud untuk direklamasi jika tidak ditanami dalam periode yang sama dapat ditempati oleh orang lain dengan proses yang sama. Pemulihan yang sebenarnya adalah pada saat tanah tersebut ditanami dan diairi, manakala tandus, kering atau rawa- rawa. Jadi, menurut Abu Ubaid sumber dari publik seperti air, rumput pengembalaan dan tambang tidak boleh dimonopoli seperti hima ( pribadi). Semua ini hnya dapat dimasukkan dalam kepemilikan negara untuk kebutuhan masyarakat.[21]
c)      Fungsi Uang
Abu Ubaid mengakui adanya dua fungsi uang yang tidak mempunyai nilai intrinsik sebagai standar dari nilai pertukaran dan sebagai media pertukaran. Tampaknya ia mendukung terhadap teori ekonomi yang mengenai uang logam yang merujuk kepada kepentingan umum dan relatif konstan nilainya emas dan perak dibandingkan komoditas yang lainnya. Jika kedua benda tersebut dijadikan komoditas, maka nilai keduanya dapat berubah pula, karena keduanya akan memainkan peran yang berbeda sebagai barang yang harus dinilai atau sebagai standard penilaian dari barang-barang lain.[22]



[1]Euis Amalia, Sejarah Pemikiran,,, hlm. 115
[2]Hamdi Ibn Abdurrahman al-Junaidi, manahij al-Bahisin fi al-Iqtishad al-Islami, (Kairo: Syirkah al-Abikani, 1407 H), hlm. 130
[3]Adiwarman Azwar Karim, Sejarah Pemikiran, hlm. 232.
[4]Heri Sudarsono, Konsep Ekonomi Islam suatu Pengantar, (Yogyakarta:Ekonesia, 2004), hlm. 147.
[5]Nur Chamid, hlm. 154.
[6]Nurul Huda dan Ahmad Muti, Keuangan Publik Islam Pendekatan Al- Kaharaj Imam Abu Yusuf, (Bogor: Ghalia Indonesia, 2011), hlm. 76.
[7]Nurul Huda dan Ahmad Muti, hlm. 66.
[8]Nurul Huda dan Ahmad Muti, hlm. 66.
[9]Nurul Huda dan Ahmad Muti, Keuangan Publik Islami, hlm. 123.
[10] Adiwarman Azwar Karim,Sejarah Pemikiran Ekonomi Islam, (Jakarta: Rajawali Press), hlm. 265.
[11]Nur Chamid, Jejak Langkah Sejarah Pemikiran Ekonomi Islam, (Yogyakarta: Pustaka Pelajar), hlm. 176.
[12]Adiwarman Azwar Karim,Sejarah Pemikiran, hlm. 265.
[13]Nur Chamid, hlm. 177.
[14]Adiwarman Azwar Karim, Sejarah Pemikiran...., hlm. 266.
[15]Nur Chamid, Jejak Langkah Pemikiran...., hlm. 189.
[16]Abu Ubaid al-Qasim bin Salam, Kitab al- Amwal, (Beirut: Dar al-Fikr, 1998 M), hlm. 285.
[17]Abu Ubaid, hlm. 680.
[18]Adiwarman Azwar Karim, Sejarah Pemikiran...., hlm. 274
[19]Nur Chamid, Jejak Langkah Pemikiran...., hlm. 190.
[20]Euis Amalia, Sejarah Pemikiran Ekonomi Islam, (Jakarta: Gramata Publishing, 2010) hlm. 152
[21]Abu Ubaid al-Qasim bin Salam, hlm. 367.
[22]Euis Amalia, Sejarah Pemikiran,,, hlm. 155

Sabtu, 21 Desember 2019

RASIONALITAS ISLAM DALAM KOMSUMSI Heri Sutopo 15800002



A.    PENDAHULUAN

1.      Latar Belakang Masalah
Prilaku ekonomi masyarakat baik dalam konsumsi maupun produksi senantiasa diukur pada sisi rasionalitasnya semata. Dimensi rasionalitas ini menyemangati pelaku ekonomi untuk bertindak sesuai dengan logika kepentingan yang menjadi orientasi dalam dirinya. Sebuah prilaku dapat dianggap rasional, jika sesuai dengan standar logika yang diinginkannya. Jika ekonomi adalah upaya seseorang dalam mencari dan memenuhi kebutuhannya, maka rasionalitas ekonomi adalah bagaimana orang itu dapat mewujudkan sikap dan prilakunya itu untuk meraih kebutuhan yang diinginkannya. Jika ia tidak bisa memenuhi kebutuhan sesuai dengan keinginannya itu, maka dianggap tidak rasional.
Prilaku rasionalitas ekonomi demikian telah menjadikan motif individu sebagai panglimanya. Dalam realita di lapangan, sangat mengundang masalah serius di masyarakat. Dengan menekankan pada kepentingan pribadi semata dalam mengukur rasionalitas rawan berbenturan dengan pelaku ekonomi lain. Rasionalitas mempunyai standarnya sendiri-sendiri dalam tiap individu di masyarakat.
Secara naluriah, semua manusia menginginkan kehidupan yang bahagia dan sejahtera. Beberapa cara, dari mulai yang ideal sampai yang pragmatis, mereka tempuh untuk mencapai tujuan itu. Walaupun mereka memiliki cita-cita hidup yang sama, tetapi cara mereka mewujudkannya seringkali berbeda-beda. Bahkan tidak jarang saling berlawanan antara satu dengan lainnya. Dalam konteks jenis pencarian ekonomi, misalnya; para pedagang merasa bahagia dengan pekerjaannya. Bagi petani, pedagang merupakan jenis pekerjaan yang melelahkan. Berbeda dengan bertani, dapat dikerjakan dengan santai, tidak dikejar  target, dan pada saatnya tinggal menunggu panen. Berbeda lagi dengan para guru yang menganggap pekerjaannya lebih mulia dan “mencerdaskan”. Dan banyak lagi cara-cara lain yang dijalani manusia. Namun semuanya satu dalam tujuan, yaitu mencapai kebahagiaan dan kesejahteraan hidup.
Islam adalah agama yang mengatur kehidupan umatnya secara sempurna, bukan saja pada persoalan berkaitan dengan aqidah, akhlaq dan ibadah, namun juga persoalan mua’amalah. Slah satu aspek muamalah manusia adalah berkaitan dengan konsumsi. Konsumsi seorang muslim memiliki pola aturan dan pendekatan yang berbeda dengan seorang yang bukan muslim.
Kerangka kegiatan muammalat secara garis besar dapat dibagi dalam tiga besar, yaitu politik (Siyasah) Sosial (Ijtimai”yah) dan Ekonomi (Iqtishadiyah).[1] Dari ekonomi diambil tiga turunan yaitu konsumsi, simpanan dan investasi. Dalam kegiatan konsumsi, bekal yang dimiliki manusia adalah berupa akal dan fikiran, yang digunakan untuk manusia memilih dan menentukan fikiran terbaik dari berbagai alternative pilihan yang ada, sehingga apa yang menjadi tujuan konsumsi mereka dapat tercapai.
Pada umumnya teori perilaku konsumsi dalam ekonomi konvensional didasarkan pada pemikiran bahwa konsumsi adalah titik pangkal dan tujuan akhir dari kegiatan ekonomi masyarakat.[2] Berbeda dengan sitem Islam yang mengajarkan pola dan aturan komsumsi yang cukup seimbang tidak berlebihan yang pula tidak keterlaluan.[3]
Seorang konsumen muslim tidak hanya mencapai kepuasan dari konsumsi barang dan penggunanaan barang tahan lama, perilaku ekonomi konsumen muslim berpusat sekitar yang dikehendaki Allah Swt. Allah berfirman:
رَبِّ أَوْزِعْنِي أَنْ أَشْكُرَ نِعْمَتَكَ الَّتِي أَنْعَمْتَ عَلَيَّ وَعَلَى وَالِدَيَّ وَأَنْ أَعْمَلَ صَالِحًا تَرْضَاهُ وَأَصْلِحْ لِي فِي ذُرِّيَّتِي إِنِّي تُبْتُ إِلَيْكَ وَإِنِّي مِنَ الْمُسْلِمِينَ (١٥)
"Ya Tuhanku, tunjukilah aku untuk mensyukuri nikmat Engkau yang telah Engkau berikan kepadaku dan kepada ibu bapakku dan supaya aku dapat berbuat amal yang saleh yang Engkau ridhai; berilah kebaikan kepadaku dengan (memberi kebaikan) kepada anak cucuku. Sesungguhnya aku bertaubat kepada Engkau dan Sesungguhnya aku Termasuk orang-orang yang berserah diri".[4]
Dari sana berarti kepuasan konsumsi seorang muslim tidak hanya sebagai fungsi jumlah dari sedekah. Sebagaimana firman Allah Swt:
الْمَالُ وَالْبَنُونَ زِينَةُ الْحَيَاةِ الدُّنْيَا وَالْبَاقِيَاتُ الصَّالِحَاتُ خَيْرٌ عِنْدَ رَبِّكَ ثَوَابًا وَخَيْرٌ أَمَلا
46. harta dan anak-anak adalah perhiasan kehidupan dunia tetapi amalan-amalan yang kekal lagi saleh adalah lebih baik pahalanya di sisi Tuhanmu serta lebih baik untuk menjadi harapan.[5]
Seorang konsumen muslim mempunyai objek pengeluaran untuk sedekah. Pengeluaran ini tidak dapat dibandingkan dengan ekonomi dan Islam, pengeluaran untuk sedekah merupakan keharusan yang dilakukan tanpa memandang papakah kepuasaan maksimum dapat dicapai atau tidak. Al- Quran menegaskan istilah Tabdzir dan Israf.
إِنَّ الْمُبَذِّرِينَ كَانُوا إِخْوَانَ الشَّيَاطِينِ وَكَانَ الشَّيْطَانُ لِرَبِّهِ كَفُورًا (٢٧)
27. Sesungguhnya pemboros-pemboros itu adalah saudara-saudara syaitan dan syaitan itu adalah sangat ingkar kepada Tuhannya.[6]
Ayat lain:
 وَكُلُوا وَاشْرَبُوا وَلا تُسْرِفُوا إِنَّهُ لا يُحِبُّ الْمُسْرِفِينَ (٣١)
Makan dan minumlah, dan janganlah berlebih-lebihan[535]. Sesungguhnya Allah tidak menyukai orang-orang yang berlebih-lebihan.[7]

Doktrin Al-Qur’an ini secara ekonomi dapat ditafsirkan sebagai dorongan untuk surplus dalam konsumsi dalam bentuk simpanan, dihimpun dan kemudian dipergunakan untuk investasi dalam bentuk perdagangan (Tijarah), produksi (Manufactur) dan jasa (service). Dalam konteks ini diperlukan kehadiran lembaga yang mampu menjadi perantara (Intermediary) antara unit surplus dengan unit demand sangat diharapakan.
Konsumsi adalah permintaan, sedangkan produksi adalah penyediaan. Kedua hali ini bagian penting dalam kehidupan manusia. Kedua kegiatan tersebut merupakan hal primer disamping harus memperhatikan factor ekonomi lainnya, seperti sirkulasi dan distribusi. Konsumsi bagi sebagian manusia hanya sebuah kepuasan bagi individu-individu dangan mengesampingkan nilai moral suatu agama. Maka, Islam memandang bahwa bumi dengan segala isisnya merupakan amanah Allah kepada khalifahnya agar dipergunakan dengan sebaik-baiknya bagi kesejahteraan bersama.
Semakin tinggi seseoarang memilik peradaban, semakin seorang itu terkalahkan oleh kebutuhan fisiologis karena factor-faktor psikologis, citarasa, keangkuhan dan dorongan untuk pamer. Dari semua itu dianggap fortor dominan dalam menentukan bentuk yang kongkrit dari kebutuhan fisologis. Dalam kondisi masyarakat yang primitive konsumsi sangat sederhanan, akan tetapi peradaban masyarakat modern telah mengubah factor-faktor tersebut dengan menghancurkan ketersediaan manusia akan kebutuhan-kebutuhan itu.
Peradaban materialistic dunia barat memperlihatkan bagaimana cara memperoleh kesenangan kepuasan dan membuat bermacam-macam dengan banyak kebutuhan, kesejahteraan seseorang diukur berdasarkan bermacam-macam sifat kebutuhan yang diusahakannya untuk dapat terpenuhi dan tercapai dengan upaya khusus.[8]
Dengan kemajuan zaman seperti sekarang ini, tingkat hidup yang mengandung arti meluasnya kebutuhan-kebutuhan yang menambah perasaan ketidakpuasan dan kekecewaan akan hal-hal yang sebagaimana adanya, sehingga nafsu untuk mencapai memperolah konsumsi dengan tingkat yang lebih tinggipun bertambah. Islam tidak mengakui sifat materilistik dalam konsumsi dalam masyarakat peradaban modern. Oleh karena itu, bagi seorang muslim harus rasional dalam berkonsumsi terhadap segala yang diciptakan dan dianugerahkan Allah Swt kepada manusia. Sehingga konsumen muslim dalam membelanjakan atau mengkonsumsi barang-barang atau jasa berpihan kepada yang tidak berlebih-lebihan dan tidak pula kikir atau pelit.
2.      Rumusan Masalah
a.       Apa yang dimaksud dengan rasionalitas ekonomi dalam berkonsumsi?
b.      Bagaimana rasionalitas Islam dalam berkomsumsi?

3.      Tujuan Penelitian
a.       Untuk mengetahui rasionalitas ekonomo dalam komsumsi
b.      Untuk mengetahui rasionalitas Islam dalam konsumsi



4.      Kajian Literatur
Setiap manusia berperilaku untuk memenuhi keinginannya adalah sebagai konsumen (Smith, 1776). Makna konsumen akan berbeda dalam doktrin ekonomi yang berbeda. Dalam Ekonomi konvensional mendefinisikan konsumen adalah sebagai kepuasan maksimum (maximum utilities) atas kebutuhan material, sedangkan norma dan nilai religious tidak hadir disini (Friedman, 1979). Perilaku dari konsumen konvensional bervariasi karena budaya dan karakter diberbagai bidang kehidupan (Weber, 1958). Kepentingan pribadi (self interest) dan Rasionalisme ekonomi adalah cara menentukan konsumsi dan nilai religius dipertimbangkan disini (Quiggin, 1997). Sebaliknya, ekonomi Islam menggabungkan baik positif dan normatif pada pemandangannya.
Yaitu prinsip dan mendefinisikan konsumen sebagai kepuasan maksimum dalam hal materi serta kebutuhan dan kebutuhan spiritual, di mana, norma dan nilai religius adalah faktor kuat (Chapra, 1995). Rasionalisme ekonomi Islam meliputi agama, sosial dan agama nilai budaya untuk mengatur konsumsi (Ahmad, 1992). Mannan (1984) dalam bukunya menyerukan kehadiran Konsumen sebagai orang islam. Selain faktor nilai netral (Seperti disposable income, wealth), nilai yang diisikan adalah faktor (seperti kepercayaan, agama) juga penting untuk menentukan keinginan dan tuntutan konsumen islami (Kahf, 1980, 1996). Hasan (1985, 2005) dalam kritikannya terhadap kerangka konsumsi Fahim khan (1984, 1995) dan diskusikan kemudian teori konsumen Islam berhasil dalam memodifikasi konsep kelangkaan konvensional; antara keinginan, kebutuhan, permintaan, utilitas, dan kepuasan, untuk memenuhi norma dan persyaratan Islam Zarqa (1992) menyebutkan adalah sebagai imbalan atau hukuman pada kehidupan akhirat adalah sebagai perbedaan utama antara konsumen Islam dan konvensional. Bahkan dalam Konsumen Islam harus melepaskan konsumsi beberapa konsumen barang dan jasa yang berbahaya bagi masyarakat (Siddiqi, 1988, 2001). Makanya, model konsumen Islami memastikan keadilan sosial dan ekonomi (Haider Naqvi, 1997). Selain itu, khan (2013) menjelaskan bahwa, kerangka kerja teori perilaku konsumen konvensional tidak cukup untuk menjelaskan semua aspek perilaku konsumen, sehingga teori-teori Islam paling penting disini.
Rasionalisme Ekonomi Islam telah dirancang dengan beberapa asumsi. Seorang konsumen yang dapat memuaskan dirinya dengan asumsi akan dianggap sebagai konsumen Islam. Lebih tepatnya, konsumen Islam mengacu pada perilaku konsumen yang tidak bertentangan dengan prinsip-prinsip Islam (Hamid (2009)). Asumsi utamanya adalah sebagai berikut:[9]
a.                   Sebuah perilaku konsumen Islam didasarkan pada Rasionalisme ekonomi dan ketakutan akan Allah, Pencipta dan Tuhan Yang Maha Esa. Sebuah desain konsumen dengan pola konsumsinya untuk menyenangkan hati Allah Yang Maha Kuasa. Ini adalah masalah rasa syukur; ini juga adalah merupakan ibadah (‘Ibadah).
b.                  Konsumen Islam sangat percaya pada Syariah Islam .Syariah adalah hukum ilahi yang diwahyukan Qur'an dan Sunnah. Al-Qur'an adalah kitab dari Allah mengungkapkan kepada Nabi Muhammad SAW dan Sunnah digunakan sebagai penjelas. Hadist adalah  adalah ucapan, tindakan, kebiasaan dan kejadian Nabi Muhammad (SAW).
c.                   Konsumen dianggap sebagai ekonomi dan moral Utilitas maksimum. Dia menentukan konsumsi miliknya dalam hal prinsip moral dan etis. Etika dapat didefinisikan sebagai moral Prinsip yang membedakan antara benar Dan salah dan antara baik dan buruk (Beekun, 1997).
d.                  Dia bisa mengendalikan keinginan dan permintaannya.
e.                   Utility atau Satisfaction berasal dari duniawi (kehidupan sebelum kematian) dan Surgawi (hidup setelah kematian) konsumsi.
f.                   Dia hanya mengkonsumsi berguna sekaligus menghindari bahaya dalam barang dan jasa, untuk dirinya sendiri dan untuk keseluruhan masyarakat. Apalagi menjadi kooperatif dan bertanggung jawab sosial, yang selalu memperhatikan kekurangan konsumen lain di masyarakat.
g.                  Menghabiskan di moderasi tidak sebagai kikir atau tidak boros, baik untuk di sini (duniawi) dan Akhirat (surgawi) hidup. Sadaqah (Amal atau Sumbangan) dan zakat adalah instrumen Islam untuk pengeluaran. Zakat adalah kekayaan Islam wajib dan pajak untuk mendistribusikannya di antara orang miskin dan yang membutuhkan Ini adalah pilar ketiga Islam.
h.                  Ketat pada kehalalan dan keharaman  masuk produk-produk konsumsi. Halal berarti diperbolehkan dan Hal atau kegiatan yang sah yang diizinkan oleh Syariah Haram berarti hal-hal yang melanggar hukum atau kegiatan yang dilarang oleh Syariah tidak menimbun kekayaannyadan  lebih suka memimpin yang sederhana dan moderat dalam kehidupan.

5.      Metode penelitian
Makalah ini menggunakan analisis dekskriptif pada “ Rasionalitas Islam dalam Konsumsi” menggunakan Al-Qur’an dan hadist, artikel, jurnal dan buku-buku referensi. Dan sebagai tambahan dari internet dan lain-lain.






B.     PEMBAHASAN

1.      Rasionalitas Dalam Perilaku Ekonomi
Pemahaman tentang rasionalitas ekonomi tidak bisa dilepaskan begitu saja dari pengertian ilmu ekonomi itu sendiri. Ilmu ekonomi didefinisikan secara beragam, paling populer diantaranya adalah “ilmu yang mempelajari segala aktivitas yang berkaitan dengan produksi dan  distribusi di antara orang-orang”. Definisi ini dianggap masih kurang representatif sehingga para ahli ekonomi neo-klasik, seperti Lionel Robbins, mengajukan pengertian lain bahwa inti kegiatan ekonomi adalah aspek “pilihan dalam penggunaan sumberdaya”. Dalam pemilihan ini, lanjutnya, manusia menjumpai masalah kelangkaan (scarcity). Dengan demikian, sasaran ilmu ekonomi adalah bagaimana mengatasi kelangkaan itu. Dari situ muncul definisi ilmu ekonomi yang dipegang hingga kini, yaitu “sebuah kajian tentang prilaku manusia sebagai hubungan antara tujuan-tujuan dan alat-alat pemuas yang terbatas, yang mengundang pilihan dalam penggunaannya”.[10]
Ada beberapa penekanan dari pengertian tentang, prilaku manusia, pilihan dan alat pemuas yang terbatas. Unsur “prilaku manusia” muncul sebagai bagian dari aplikasi naluriah manusia untuk mencari kesejahteraan hidup. Sehingga itu harus diwujudkan melalui aktivitas. Prilaku ini tentu merupakan cerminan dari apa yang ada dalam diri pelakunya, yang berupa kepercayaan, kecenderungan berpikir, tata nilai, pola pikir dan juga ideologi. Term “pilihan” merupakan hal yang wajar pula, sebab manusia punya rasa, idealisme, dan kecenderungan-kecenderungan serta ukuran-ukuran tertentu yang menjadi standar dalam membentuk hidupnya. Pilihan ini juga tergantung pada yang ada dibalik pelakunya. Sedangkan term “alat pemuas yang terbatas” atau kelangkaan sumberdaya, mengandung makna ambigu, bisa ya bisa tidak. Relativity is an attribute of scarcity, menurut Zubair Hasan.[11] Dalam konteks ini bahwa tujuan manusia mencari kekayaan, penilaian tersebut dapat menjadi spirit untuk mendorong manusia mencapai kekayaan dengan secepatnya. Pendek kata term terakhir ini, mengimplikasikan adanya target tertentu yang harus dikejar pelaku ekonomi.
Dalam bangunan terminologi, konsep rasionalitas ekonomi itu muncul dan setiap orang yang dapat mencari kesejahteraan hidupnya (kekayaan material) dengan cara melakukan pilihan-pilihan yang tepat bagi dirinya, dengan prinsip jangan sampai dia tidak kebagian mendapatkan pilihan itu karena terbatasnya ketersediaan, maka orang tersebut dianggap melakukan tindakan rasional. Dalam lingkup yang lebih khusus, seorang produsen dianggap rasional jika ia dapat mencapai tujuan usahanya (keuntungan) dengan cara melakukan beberapa pilihan strategi, meminimalisasi kapital dan mendapatkan keuntungan maksimum. Demikian juga konsumen, ia dianggap rasional, jika ia dapat memenuhi atau melampaui batas maksimum kepuasannya dari alat-alat pemuas yang terbatas. Oleh karena itu, rasionalitas ekonomi dapat dipahami sebagai tindakan atas dasar kepentingan pribadi  (self-interest) untuk mencapai kepuasannya yang bersifat material lantaran kawatir tidak mendapatkan kepuasan itu karena terbatasnya alat atau sumber pemuas.
Maka dari situ, konsep rasionalitas ini menjadi fondasi penting bagi suatu standar prilaku ekonomi Konsep ini menjadi prinsip pembangun suatu ilmu ekonomi. Prinsip ini dijadikan parameter suatu tindakan tepat atau tidak tepat dalam kacamata ekonomi. Apabila suatu tindakan ekonomi sesuai dengan parameter tersebut berarti tindakan itu benar, demikian juga sebaliknya.

2.   Rasionalitas dalam Perspektif Islam
Ekonomi Islam menurut Chapra adalah branch of knowledge yang membantu manusia untuk mencapai kesejahteraan manusia melalui alokasi dan distribusi dari kelangkaan sumber daya yang mengikuti maqashid syariah. Ekonomi Islam sejatinya dapat menjadi kekuatan baru dalam mewarnai kehidupan manusia. Kombinasi dimensi spiritual yang meneduhkan serta rasionalitas yang meyakinkan sangat berpotensi untuk memperbaiki kondisi kehidupan manusia. Dengan itu, kesejahteraan dan kebahagian manusia tidak semata berlaku secara individual tetapi juga yang bersifat sosial.[12]
Kemudian hal yang menjadi dasar hukum rasionalitas dalam Islam adalah rasionalitas dalam perilaku pembelian konsumen muslim harus berdasarkan aturan Islam,[13] sebagaimana dalam Al-Qur’an sebagai berikut:[14]
a.       Konsumen muslim dinyatakan rasional jika pembelajaran yang dilakukan sesuai dengan kebutuan dan kemampuan. Sesuai dengan QS. Al-Israa: 29
وَلَاتَجْعَلْ يَدَكَ مَغْلُولَةً إِلٰى عُنُقِكَ وَلاَ تَبْسُطْهَا كُلَّ الْبَسْطِ فَتَقْعُدَ مَلُو مًامَّحْسُوْرًا
Dan janganlah kamu jadikan tanganmu terbelenggu pada lehermu dan janganlah kamu terlalu mengulurkannya karena itu kami menjadi tercela dan menyesal.”
b.      Seorang konsumen muslim dapat dibilang rasional jika ia membelanjakan tidak hanya untuk barang-barang yang bersifat duniawi semata, melainkan turut pula untuk keperluan dijalan Allah SWT (fi sabilillah) sesuai dalam QS. al-Israa: 26
وَءَاتِ ذَا الْقُرْ بٰى حَقَّةُ, وَالْمِسْكِيْنَ وَابْنَ السَّبِيلِ وَلاَ تُبَذِّ رْ تَبْذِ يْرًا
Dan berikanlah kepada keluarga-keluarga yang dekat akan haknya, kepada orang miskin dan orang yang dalam perjalanan; dan janganlah kamu menghamburkan (hartamu) secara boros.”
c.       Seorang konsumen muslim yang rasional akan mempunyai tingkat konsumsi yang lebih kecil dari konsumen non-muslim dikarenakan konsumsi hanya diperbolehkan untuk barang-barang yang halal. Hal ini sesuai dengan QS. Al-Baqarah: 173

إِنَّمَا حَرَّمَ عَلَيْكُمُ الْمَيْتَةَ وَالدَّمَ وَلَحْمَ الْخِنْزِيرِ وَمَا أُهِلَّ بِهِ لِغَيْرِ اللَّهِ
فَمَنِ اضْطُرَّ غَيْرَ بَاغٍ وَلا عَادٍ فَلا إِثْمَ عَلَيْهِ إِنَّ اللَّهَ غَفُورٌ رَحِيمٌ (١٧٣)
Sesungguhnya Allah hanya mengharamkan bagimu bangkai, darah, daging babi, dan binatang yang (ketika di sembelih) disebut (nama) selain Allah. Tetapi barang siapa dalam keadaan terpaksa sedang ia tidak menginginkanya dan tidak melampaui batas, maka tidak ada dosa baginya. Sesungguhnya Allah maha pengampun lagi maha penyayang.
Dalam ketentuannya, jelas Islam memiliki keunikan tersendiri dalam hal syariah. Berbeda dengan sitem lainnya, Islam mengajarkan pola konsumsi yang moderat, tidak berlebihan, tidak keterlaluan, disebutkan dalam Al-Qur’an dengan tadzir dan kemuadziran.[15]
Sebagai Konsumen muslim tentunya ajaran Islam tidak menganjurkan pemenuhan keinginan yang terbatas dalam bidang konsumsi. Islam menyarankan agar manusia dapat bertindak secara moderat dan sede rhana.
Konsumsi sendiri pada hakikatnya adalah memberlanjakan sesuatu untuk memenuhi kebutuhan. Dalam pembelanjaannya seorang konsumen muslim dapat dibagi dalam dua jenis: pertama yaitu pembelanjaan dalam rangka untuk memenuhi kebutuhan lahiriayah (duniawi) dan keluarga. Kedua untuk memenuhi kebutuhan bathiniyah (akhirat).
Demikian norma-norma ekonomi yang diajarkan Islam dalam rincian sebagai berikut:
a.       Etika Konsumsi dalam Islam
Islam adalah agama yang sarat dengan etika, dalam Naqvi (1985)[16], mengungkapkan bahwa etika dalam Islam dapat dikelompokkan enam aksioma pokok, yaitu: tauhid, keadilan, kebebasan berkehendak dan pertanggungjawaban, halal, dan sederhana.
b.      Nilai dan Moral Pada Konsumen Muslim
Yusuf Qardhawi mengatakan bahwa nilai dan moral pada konsumen muslim dijabarkan menjadi tiga pilar utama:
1.      Pembelanjaan pada hal-hal baik
2.      Memerangi kemegahan, pemborosan dan kemubadziran
3.      Penerapan undang-undang dengan penyuluhan dan pengarahan, hal ini tersirat dalam surat Al-A’raf ayat 32;
قُلْ مَنْ حَرَّمَ زِينَةَ اللَّهِ الَّتِي أَخْرَجَ لِعِبَادِهِ وَالطَّيِّبَاتِ مِنَ الرِّزْقِ
قُلْ هِيَ لِلَّذِينَ آمَنُوا فِي الْحَيَاةِ الدُّنْيَا خَالِصَةً يَوْمَ الْقِيَامَةِ
 كَذَلِكَ نُفَصِّلُ الآيَاتِ لِقَوْمٍ يَعْلَمُونَ (٣٢)
Katakanlah: "Siapakah yang mengharamkan perhiasan dari Allah yang telah dikeluarkan-Nya untuk hamba-hamba-Nya dan (siapa pulakah yang mengharamkan) rezki yang baik?" Katakanlah: "Semuanya itu (disediakan) bagi orang-orang yang beriman dalam kehidupan dunia, khusus (untuk mereka saja) di hari kiamat.[17]" Demikianlah Kami menjelaskan ayat-ayat itu bagi orang-orang yang mengetahui.

c.       Prioritas Konsumsi
Seorang dalam konsumsinya akan selalu memperhatikan ajaran Islam yang berkaitan dengan aspek-aspek pencapaian kebahagiaan dunia dan akhirat, setiap muslim akan selalu berhati-hati dalam konsumsinya, baik yang dikonsumsi merupakan barang halal dan baik bersih menurut ajaran Islam dan konsumen muslim tidak akan melakukan permintaan terhadapa barang yang ada dengan sama banyak sehingga pendapatannya habis. Akan tetapi manusia mempuanyai kebutuhan jangka pendek (dunia) dan kebituhan jangka panjang (akhirat) yang harus dipenuhi.

3.            Konsep dan Aplikasi Rasionalitas Konsumen Muslim
Konsep rasionalitas dalam buku ekonomi konvensional, berbagai persyaratan yang pendapatnya perlu dilakukan perubahan dalam ekonomi Islam agar dapat diaplikasikan oleh konsumen muslim, yaitu:[18] pada perluasan konsep rasionalitas dengan pendapat tentang self-interest rationality yang diperkenalkan oleh Edgeword ialah konsep yang lebih baik dalam artian kita berasumsi bahwa individu mengejar banyak tujuan, bukan hanya memperbanyak kekayaan secara moneter. Kedua pendapat bahwa teori modern tentang keputusan rasional tidak disepakati secara menyeluruh. Dalam nilai Islam terdapat dua cara untuk mendistribusikan pendapat yaitu zakat dan infak.
Perbedaan dengan sistem ekonomi konvrnsional (umum), terkait dengan perilaku konsumen rasional dalam ekonomi konvensional, perilaku konsumen muslim rasional mencapai maksimum dalam mengkonsumsi sejumlah barang atau membelanjakan pendapatannya untuk amalan shaleh sesuai perintah Allah Swt.berupa zakat, infak, dan shadaqah serta pengeluaran untuk saudaranya yang membutuhkan.
Pengeluaran ZIS dan untuk saudaranya inilah yang diyakini akan memperolah pahala, imbalan, dan berkah yang lebih besar.[19] Dan kemudian memperroleh pahala dunia akhirat. Dengan pertimbangan perilaku dan keseimbangan konsumen muslim dapat dirumuskan secara matematis fungsi tujuan muslim rasionalis sebagai berikut:[20]
U=a+f (Xi,Yj,Zks)
            Di mana:
U   = Total utilitas yang dicapai konsumen kerena mengkonsumsi barang Xi dan barang tahan lama Zj.
Xi  = Jumlah barang ke-I yang dikonsumsi pada periode tertentu.
Yj  = Jumlah barang ke-j yang direlakan untuk dikonsumsi saudaranya yang membutuhkan.
Zk  = Jumlah barang tahan lama ke-k yang dikonsumsi pada periode tertentu.
a    = Jumlah pengeluaran untuk ZIS dan utilitas yang diterima sebagai akibat dari dikeluarkannya zakat sebagai A.
Pendapatan konsumen muslim tidak dibelanjakan sesumanya tetapi sebagian diperuntukkan pengeluaran dalam bentuk ZIS (zakat, infak dan shadaqah). Kemudaian Islam mengajarkan agar pengeluaran dalam membelanjakan hartanya disesuaikan dengan kebutuhan atau keperluan yang memang diperlukan menurut prioritasnya dan dilarang untuk dihambur-hamburkan dengan secara bebas karena merupakan pemborosan dan kemubadziran.
4.      Rasionalitas dan Tujuan Konsumsi Perspektif Islam
Dalam teori konsumen adalah kepuasan merupakan tujuan dari konsumsi dalam mengkonsumsi barang atau jasa dan merupakan teori pokok dalam analisis mikro ekonomi. Kepuasan merupakan bagian dari teori perilaku konsumen. Seorang konsumen mengkonsumsi barang dan jasa akan dianggap memperoleh kepuasan dalam kerangka rasionalitas. Sehingga manusia dianggap rasional adalah yang beruasaha mencapai kepuasan maksimum (maximum utility) dalam kegiatan konsumsinya.[21]
Sedangkan tujuan konsumsi dalam Islam adalah memperoleh mashlahah terbesar. Sehingga ia dapat mencapai kebahagiaan di dunia dan akhirat.[22] Kaidah konsumsi dalam Islam, telah tegas dinyatakan dalam Al-Qura’an dan Hadits Rasulullah, dijelaskan bahwa seorang muslim akan mencapai tingkat konsumsi yang baik atau mencapai kepuasan maksimal dalam konsumsi, apabila konsumsi dilakukan sesuai dengan ajaran Islam. Sebagaimana ayat-ayat Al-Qur’an yang telah disebutkan dipembahasan sebelumnya. Dalam hadits dicontohkan sebagai berikut; Makanlah, minumlah, berpakaianlah, dan bersedekahlahlah tanpa kecongkakan dan berlebih-lebihan karena sesungguhnya Alah suka melihat nikmat-Nya (HR. Ahmad, Nasai Ibnu Majah, Al-hakim, dishahihkan jami’ As-Shaghir.)

5.      Kesimpulan dan Saran
Dalam mengalokasikan kebutuhan manusia yang tidak terbatas, dimana berhadapan dengan sumber daya yang terbatas, setiap individu menggunakan prinsip rasionalitas dalam mencapai kepuasan yang maksimum. Rasionalitas merupakan pengembangan dari asumsi bahwa manusia ialah homo economicus. Hal ini berarti bahwa setiap individu paling mengetahui kepuasan yang maksimum bagi dirinya. Akan tetapi dalam perpektif Islam mengajarkan bahwa rasionalitas konsumsi bukan hanya untuk tujuan kepuasan lahiriah (duniawi) saja akan tetapi sebagaimana disebutkan adalah untuk mashlah jangka panjang dengan membelanjakan untuk kepentingan manusia setelah mati yaitu akhirat, yang diyakini seorang muslim sebagi hari penghitungan pahala, amal baik dan buruk dan hari pembalasan. Maka manusia bukan hanya sebagai pelaku ekonomi saja akan tetapi disempurnakan dalam diri manusia lahir batinnya dengan nilai-nilai Islam (Islamic man/ homo Islamicus).
Rasionalitas ajaran Islam dalam Ekonomi dicerminkan dalam perilaku konsumen muslim dalam membelanjakan pendapatannya harus berdasarkan aturan Islam. Konsep rasionalitas dalam buku ekonomi konvensional, berbagai persyaratan yang pendapatnya perlu dilakukan perubahan dalam ekonomi Islam sehingga dapat diaplikasikan oleh konsumen muslim.
Dalam ajaran Islam tidak semua barang dan jasa dapat dikonsumsi, bagi seorang konsumen muslim hanya diperbolehkan mengkonsumsi barang dan jara yang halal. Dengan dibatasi dengan keperluan dan berdifat sederhana. Sebagaimana ajaran Rasulullah tentang mengkonsumsi makanan khususnya, pola konsumsi seorang muslim hendaknya sepertiga untuk makanan sepertiga untuk minum dan sepertiga untuk yang lainnya.
Maka, sebagai tujuan dari konsumen muslim yang rasional bahwa seorang muslim melakukan konsumsi pengeluaran dari pendapatannya harus mempertimbangkan perbuatan israf dan tabdzir. Mashlah adalah tujuan dari suatu kegiatan ekonomi bagi seorang muslim khususnya dalam konsmsi. Sehingga bukan tujuan kepuasan duniawi saja akan tetapi juga tujuan akhirat yang dalam waktu tertentu dan barang tahan lama yang dimiliki dengan pengeluaran zakat, infaq serta shadaqah sebagai bekal di kehidupan akhirat. 
6.      Saran
Keunikan dan yang menjadi pembeda konsep ekonomi Islam adalah terletak pada orientasinya yang tidak hanya pada pemenuhan kehidupan dunia akan tetapi sebagi bekal kehidupan akhirat. Oleh karena itu, keseimbangan antara aktivitas ibadah dengan pemenuhan hidup hendaknya harus seimbang dan makalah yang dibuat ini dapat memberikan manfaat bagi yang membacanya baik akademis maupun praktis.
Saya akui masih banyak kekurangan dan jauh dari kesempurnaan semoga peneliti selanjutnya dapat melengkapi dan menyempurnakan.










7.      Daftar Pustaka
Karim,Adiwarman, Ekonomi Mikro Islami, (Jakarta: IIT-Indonesia,2002), hlm. 31.
Antonio, M. Syafi’i. Bank Syariah dari Teorika Praktek. (  Jakarta: Gema Insani Press, 2001) h. 106.
Arif, Suyoto, Konsumen Rasional Dalam Perspektif Islam. Jurnal Ekonomi Islam. Vol. 2 No. 3 2014 ISID Gontor.
Hossain,Basharat, Economic Rationalism and Comsumption: Islamic Perspective. International Journal Of Economics, Fiinance and Management> Vol.3 No.6, Oct, 2014. Page, 273
Rahardjo,Dawam, Islam dan Transformasi Sosial-Ekonomi, Yogyakarta: Lembaga Studi Agama dan Filsafat (LSAF), cetakan pertama, 1999, 57.
Departemen Agama RI, Al-Hidayah: Al-Qur’an Tafsir Per Kata Tajwid Kode Angka, (Tangerang: Kalim, 2011)
Gilarso, T. Pengantar Ekonomi bagian Mikro. Jilid 1 (Yogyakarta: Kanisius, 1993) h.77
Kahf, Monzer, The Demand Side or Consumer Behavior: an Islamic Perspective,http://monzer.kahf.com/papers/english/demand_side_or_consumer_behavior.pdf
Mannan,  Teori dan Praktek Ekonomi Islam, (Yogyakarta: Dana Bakti Wakaf, 1995). H.29
Naqvi, Syed Nawab Haidar, Etika dan Ilmu Ekonomi, Suatu Sitesis Islami. (Bandung: Mizan, 1985).h. 78
Syed Omar Syed Agil, Rationality in Economic Theory, dalam Sayid Tahir et. al..ed. Reading in Microeconomics: an Islamic Perspective (Selangor: Longman Malaysia, 1992), hlm. 44.
Umer Chapra dalam Adiwarman A. Karim, Ilmu Ekonomi Islam dari buku; The Future of Economic; An Islamic Perspective, Landscape Baru Perekonomian Masa Depan, Jakarta, SEBI, 2001, hlm. 397.
Qardhawi, Yusuf, Peran Nilai dan Moral Dalam Ekonomi Islam. (Jakarta: Rabbani Press, 1993).h.111
Hasan,Zubair, Introduction to Microeconomics, An Islamic Perspective, Malaysia: Prentice Hall, Cet. I, 2006,


[1] Antonio, M. Syafi’i. Bank Syariah dari Teorika Praktek. (  Jakarta: Gema Insani Press, 2001) h. 106.
[2] Gilarso, T. Pengantar Ekonomi bagian Mikro. Jilid 1 (Yogyakarta: Kanisius, 1993) h.77
[3] QS: 7:31
[4] QS: 46:15
[5] QS: 18:46
[6] QS: 17:27
[7] QS: 7: 31
[8] Yusuf Qardhawi, Peran Nilai dan Moral Dalam Ekonomi Islam. (Jakarta: Rabbani Press, 1993).h.111
[9] Basharat Hossain,  Economic Rationalism and Comsumption: Islamic Perspective. International Journal Of Economics, Fiinance and Management> Vol.3 No.6, Oct, 2014. Page, 273
[10] Dawan Rahardjo, Islam dan Transformasi Sosial-Ekonomi, Yogyakarta: Lembaga Studi Agama dan Filsafat (LSAF), cetakan pertama, 1999, 5-7.
[11] Zubair Hasan, Introduction to Microeconomics, An Islamic Perspective, Malaysia: Prentice Hall, Cet. I, 2006,

[12] Umer Chapra dalam Adiwarman A. Karim, Ilmu Ekonomi Islam dari buku; The Future of Economic; An Islamic Perspective, Landscape Baru Perekonomian Masa Depan, Jakarta, SEBI, 2001, hlm. 397.
[13] Syed Omar Syed Agil, Rationality in Economic Theory, dalam Sayid Tahir et. al..ed. Reading in Microeconomics: an Islamic Perspective (Selangor: Longman Malaysia, 1992), hlm. 44.
[14] Departemen Agama RI, Al-Hidayah: Al-Qur’an Tafsir Per Kata Tajwid Kode Angka, (Tangerang: Kalim, 2011)
[15] Mannan,  Teori dan Praktek Ekonomi Islam, (Yogyakarta: Dana Bakti Wakaf, 1995). H.29
[16] Naqvi, Syed Nawab Haidar, Etika dan Ilmu Ekonomi, Suatu Sitesis Islami. (Bandung: Mizan, 1985).h. 78
[17] Maksudnya: perhiasan-perhiasan dari Allah dan makanan yang baik itu dapat dinikmati di dunia ini oleh orang-orang yang beriman dan orang-orang yang tidak beriman, sedang di akhirat nanti adalah semata-mata untuk orang-orang yang beriman saja.
[18] Adiwarman A. Karim, Ekonomi Mikro Islami, (Jakarta: IIT-Indonesia,2002), hlm. 31.
[19] QS: 2: 261
[20] Arif, Suyoto, Konsumen Rasional Dalam Perspektif Islam. Jurnal Ekonomi Islam. Vol. 2 No. 3 2014 ISID Gontor.
[21]             Kahf, Monzer, The Demand Side or Consumer Behavior: an Islamic Perspective, http://monzer.kahf.com/papers/english/demand_side_or_consumer_behavior.pdf
[22]             QS: 28:77

SOAL BAHASA ARAB SAT KELAS 10 DAN 11 ( SUSULAN/ REMEDIAL/PERBAIKAN NILAI)

 ASSALAMULAIKUM WRWB BAGI SISWA-SISWI YANG BELUM SEMPAT MENGIKUTI UJIAN BAHASA ARAB KELAS 10 DAN 11 DAPAT MENDOWNLOAD SOAL PADA LINK BERIKUT...